maaf email atau password anda salah


Badan Auditor Negara Cabang DPR

Politikus kembali mendominasi anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang baru dipilih DPR. Besar potensi konflik kepentingan.

arsip tempo : 172651264122.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172651264122.

DOMINASI politikus dalam jajaran anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang baru terpilih makin memupuskan harapan perbaikan performa lembaga auditor negara. Selama ini kehadiran anggota yang berlatar belakang politikus lebih banyak berdampak negatif bagi BPK. Alih-alih meningkatkan citra dan kinerja lembaga auditor negara itu, mereka justru memperburuknya.

Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan telah mengumumkan hasil seleksi anggota BPK periode 2024-2029, setelah melakukan uji kepatutan dan kelayakan pada 2-4 September 2024. Mereka memilih 5 dari 75 kandidat yang mendaftar, yakni Akhsanul Khaq, Bobby Adhityo Rizaldi, Budi Prijono, Daniel Lumban Tobing, dan Fathan Subchi.

Tiga dari lima anggota BPK yang dipilih itu merupakan politikus. Bobby berasal dari Partai Golkar, Daniel dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Fathan dari Partai Kebangkitan Bangsa. Adapun Budi Prijono merupakan Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan dan Akhsanul Khaq sebelumnya adalah Auditor Utama I BPK. Kelima anggota BPK pilihan DPR ini akan bergabung dengan empat anggota yang sudah ada, yang dua di antaranya juga berlatar belakang politikus. 

Hasil pemilihan ini membuktikan sejumlah kasus korupsi yang telah menyeret nama anggota BPK berlatar belakang politikus gagal membuka nurani DPR. Karena itu, berlebihan bila kemudian kita berharap BPK akan menjadi lebih baik dengan kehadiran para anggota baru tersebut.

Risiko utama dari kehadiran politikus di BPK adalah timbulnya konflik kepentingan. Mereka bisa menggunakan kewenangannya untuk menutupi borok kementerian, lembaga, ataupun pemerintah daerah yang dipimpin kolega politik mereka. Mereka juga bisa memanfaatkan audit untuk menjatuhkan lawan politik, dan penyimpangan seperti ini sudah berkali-kali terjadi. 

Pada periode 2019-2024, tiga anggota BPK yang berlatar belakang politikus terseret kasus korupsi. Rizal Djalil, bekas anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, divonis 4 tahun penjara pada April 2021 karena menerima suap dalam proyek sistem air minum di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 

Selain itu, ada Achsanul Qosasi, anggota BPK yang merupakan kader Partai Demokrat, yang pada 20 Juni 2024 dinyatakan terbukti menerima suap dalam proyek pembangunan base transceiver station. Perkara terbaru menjerat Pius Lustrilanang, anggota BPK dari Partai Gerakan Indonesia Raya, yang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap laporan keuangan dan proyek Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. 

Ketiga kasus itu memiliki benang merah, yaitu para anggota yang berlatar belakang politikus terjerat kasus korupsi kakap dengan modus jual-beli status hasil audit. Para anggota BPK lancung itu telah menjadikan lembaga audit, yang merupakan ujung tombak pemberantasan penyelewengan anggaran negara, tempat barter korupsi. Perilaku mereka ini mencoreng dan merusak kredibilitas BPK. Hasil audit BPK kini tak lagi dipercaya dan hanya dianggap formalitas yang tidak lagi menggambarkan kondisi sesungguhnya di lembaga-lembaga pemerintahan. 

Demi mengembalikan kredibilitas dan integritas BPK, perlu ada pembenahan serius dalam proses seleksi anggotanya. Lembaga ini semestinya diisi para auditor yang independen dan profesional dengan reputasi mumpuni, bukan pecundang yang gagal mendapatkan kembali tiket menjadi anggota DPR. Hanya dengan proses seleksi yang independen dan transparan bisa muncul anggota BPK yang berkualitas. Untuk mewujudkan itu, Undang-Undang tentang BPK harus segera direvisi. 

Usulan revisi undang-undang ini sudah diajukan pemerintah kepada DPR pada akhir 2019, tapi hingga kini tak jelas kabarnya. Rancangan undang-undang tersebut memuat sejumlah perubahan positif, termasuk mensyaratkan calon anggota BPK tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik paling singkat setelah dua tahun. Pasal krusial lain adalah pembentukan panitia seleksi independen yang ditunjuk oleh presiden. Sayang, gagasan progresif lain, seperti lembaga pengawas independen untuk BPK, belum terakomodasi di dalamnya. 

Melihat kredibilitas lembaga yang tengah berada di titik nadir, revisi Undang-Undang BPK seharusnya menjadi prioritas. Namun semuanya memang bergantung pada niat baik pemerintah dan DPR. Perkara niat baik itu saat ini agak susah diharapkan. Bisa dimengerti bila para politikus Senayan ogah-ogahan membahasnya. Ketika mereka telanjur mapan tinggal di rumah yang kotor, mengapa harus menyetujui usulan untuk menghadirkan "sapu bersih" yang akan mengganggu kenyamanan mereka.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 16 September 2024

  • 15 September 2024

  • 14 September 2024

  • 13 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan