maaf email atau password anda salah


Salah Obat BUMN Sakit

Pemerintah menambah penyertaan modal 16 BUMN rugi senilai Rp 44,24 triliun. Akar masalah tidak diurus. 

 

arsip tempo : 172350381224.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172350381224.

KEPUTUSAN pemerintah menyuntikkan modal baru bagi badan usaha milik negara yang merugi berpotensi sia-sia. Sudah lama kebijakan serupa tidak pernah menyehatkan perusahaan negara yang sakit selama akar masalah yang menggerogotinya tidak diatasi lebih dulu.

Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat yang mengurusi keuangan telah menyetujui penyertaan modal negara (PMN) tunai dan nontunai senilai Rp 44,24 triliun untuk 16 BUMN. Nilai PMN untuk anggaran 2025 itu hampir dua kali lipat dibanding anggaran PMN 2024 yang sebesar Rp 27,4 triliun untuk 17 BUMN. Artinya, beban anggaran yang mesti dipikul negara juga makin besar.

Namun persoalan utama bukan semata bertambahnya beban anggaran. Masalah yang lebih serius adalah tidak ada jaminan bahwa suntikan modal tersebut bakal membuat BUMN memiliki kinerja lebih baik. Apalagi sejumlah BUMN yang mendapat tambahan dana tersebut dalam kondisi tidak sehat.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara selalu berdalih bahwa suntikan PMN itu untuk meningkatkan kinerja perusahaan agar kembali sehat. Faktanya, selalu saja ada BUMN yang sakit meski setiap tahun anggaran PMN yang disuntikkan cenderung meningkat. 

Tengok saja pada 2023, terdapat 15 BUMN yang sakit dan tujuh BUMN yang bubar. Padahal, sepanjang 2021-2022, pemerintah menyuntikkan PMN hingga Rp 109,7 triliun. Alih-alih menyehatkan, PMN itu justru membuat pemborosan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Sejatinya, PMN yang diberikan kepada BUMN merupakan bentuk investasi pemerintah. Investasi untuk memperkuat modal perusahaan pelat merah agar bisa meningkatkan kinerja supaya menghasilkan dividen lebih besar dan berkontribusi terhadap pembangunan nasional. Tapi suntikan PMN ini jelas bukan solusi untuk mengobati BUMN yang sakit jika sumber persoalan utama di perusahaan pelat merah tersebut tidak diselesaikan. Setidaknya ada dua sumber penyakit di BUMN, yaitu korupsi dan politisasi. 

Persoalan korupsi di BUMN seolah-olah tidak pernah habis. Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch sepanjang 2016-2021, terdapat 119 kasus korupsi di BUMN yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 47,9 triliun. Pun pada periode akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, sejumlah skandal korupsi BUMN mewarnai. Dari kasus korupsi tata niaga timah PT Timah Tbk hingga korupsi proyek jalan tol Trans Sumatera yang dikerjakan PT Hutama Karya. Maraknya korupsi di BUMN terjadi karena buruknya pengawasan dan transparansi perusahaan. 

Kondisi itu diperparah oleh politisasi BUMN. Selama ini pemerintah memperlakukan BUMN seperti sapi perah untuk bagi-bagi susu kekuasaan terhadap partai politik atau kelompok pendukung rezim. Salah satu yang paling nyata adalah bagi-bagi kursi komisaris BUMN yang bahkan kerap kali tanpa mempedulikan kapasitas mereka. Akibatnya, fungsi pengawasan yang semestinya dilakukan oleh komisaris tidak bisa berjalan optimal.

Praktik nepotisme dan rangkap jabatan juga masih marak di BUMN. Kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran pada 2023 menemukan banyak pejabat BUMN yang merangkap jabatan, dengan 45 persen berasal dari birokrasi atau aparatur sipil negara. Padahal rangkap jabatan jelas berpotensi menurunkan kinerja perusahaan dan dilarang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Selama semua sumber persoalan itu tidak diselesaikan, BUMN akan terus berpotensi sakit. Tanpa perbaikan dan pembersihan racun di tubuh BUMN, penyaluran PMN hanya akan seperti menabur keju ke sarang tikus, sekadar menyuburkan para pencoleng.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 12 Agustus 2024

  • 11 Agustus 2024

  • 10 Agustus 2024

  • 9 Agustus 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan