maaf email atau password anda salah


Bagai Pungguk Merindukan Family Office

Program menggaet investasi asing keluarga ultrakaya lewat family office berpotensi jadi usaha sia-sia. Banyak pekerjaan rumah yang belum selesai.

arsip tempo : 172039516799.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172039516799.

RENCANA pemerintah meluncurkan skema investasi family office kurang realistis dan diragukan keberhasilannya. Selama problem utamanya belum kita benahi, kemudahan serta insentif berlimpah yang diberikan pemerintah hanya akan berujung sia-sia.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan rencana menarik investasi melalui family office itu pada Juni 2024. Gagasan ini mendapat restu Presiden Joko Widodo, bahkan sudah dibahas dalam rapat kabinet pada 1 Juli 2024.

Family office adalah perusahaan pengelola kekayaan keluarga ultrakaya yang memiliki harta Rp 800 miliar hingga di atas Rp 1 triliun. Layanan mereka sejatinya sangat komprehensif, disesuaikan dengan kebutuhan unik kliennya, dari manajemen investasi, perencanaan warisan, layanan pajak, filantropi, hingga tata kelola keluarga.

Untuk membuat family office menarik, Indonesia akan membentuk wealth management center di Bali atau di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur. Lewat skema investasi ini pemerintah akan berusaha merayu agar uang keluarga ultrakaya itu dikelola di Indonesia. Uang tersebut akan bebas pajak, tapi mereka diharuskan berinvestasi dan investasinya itu akan dikenai pajak.

Pemerintah mengklaim prospek family office sangat menjanjikan. Saat ini ada sekitar Rp 179 ribu triliun dana kelolaan family office di dunia. Sejumlah negara Asia sudah lebih dulu menyediakan layanan ini, seperti Singapura, Hong Kong, dan Uni Emirat Arab. 

Singapura, misalnya, memiliki 1.500 family office dengan total kekayaan yang dikelola mencapai Rp 1.068 triliun. Wajar Indonesia berharap bisa menjadi alternatif tujuan baru bagi family office, menyusul ketegangan geopolitik di Hong Kong dan perubahan regulasi investasi di Singapura yang membuat risiko serta ketidakpastian investasi di sana meningkat.  

Masalahnya, usaha menggaet orang superkaya ini agar menaruh uangnya di Indonesia tidak mudah. Bagi sebuah bisnis, lokasi kantor tidak penting. Mereka bisa menjalankan bisnis atau mengelola kekayaan dari mana saja. Karena itu, dalam konteks ini, yang lebih pas dilakukan pemerintah adalah bagaimana mengupayakan agar mereka memilih Indonesia sebagai tujuan investasi. Itu memang tidak mudah dilakukan.

Banyak hal yang akan membuat investor, apalagi yang supertajir, berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pertama, ada keterbatasan instrumen investasi. Produk-produk perbankan atau pasar keuangan Indonesia masih belum cukup canggih untuk mampu melayani kebutuhan khusus orang superkaya. Sektor riil di Indonesia juga masih kurang menarik bagi investor.

Kedua, faktor kepastian hukum. Di Indonesia, hal ini masih jadi tanda tanya besar. Maraknya praktik korupsi, suap, markup, dan perburuan rente membuktikan itu. Kesetaraan hukum masih menjadi masalah. Faktanya, hukum di Indonesia masih mudah dibengkokkan untuk kepentingan kelompok tertentu dan belum bisa berlaku setara bagi semua orang. Kontrak-kontrak bisa dilanggar semaunya. Penguasa juga bisa sewenang-wenang mengubah aturan demi kepentingan sendiri atau kroninya. Investor mana yang mau datang kalau tidak ada perlindungan hukum?  

Di luar itu juga masih ada prasyarat penting lain yang belum dimiliki Indonesia dalam memikat investor premium: keamanan data. Bobolnya Pusat Data Nasional Sementara membuktikannya. Mana mungkin keluarga ultrakaya yang selalu mengutamakan privasi bersedia mempercayakan investasi—juga data mereka—dalam sistem yang keamanannya masih rentan?

Maka, niat pemerintah menggaet investasi asing keluarga ultrakaya lewat family office bagai “pungguk merindukan bulan”. Program ini diluncurkan sebagai buah “keputusasaan” karena investor mancanegara tak kunjung datang ke Indonesia. Proyek IKN yang membutuhkan modal lebih dari Rp 400 triliun awalnya diklaim akan dibiayai oleh investasi asing. Namun hingga kini belum ada satu pun investor kakap yang meliriknya. 

Masalah utamanya adalah pemerintah sangat bernafsu memetik hasil tanpa lebih dulu membereskan pekerjaan rumahnya, yakni menciptakan iklim investasi yang kondusif. Bila iklim investasi sudah baik, Indonesia sudah pasti akan kebanjiran investasi, terlepas dari ada-tidaknya family office di dalam negeri.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 8 Juli 2024

  • 7 Juli 2024

  • 6 Juli 2024

  • 5 Juli 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan