Saatnya Berbenah Program KIP Kuliah
Cerita viral mahasiswa Undip penerima KIP Kuliah yang kerap memamerkan barang mahal di media sosial merupakan momentum untuk mengevaluasi program ini.
“VIRAL dahulu, proses kemudian” seakan-akan menjadi jurus pemerintah dalam mengatasi komplain atas kebijakan ataupun program, termasuk mengenai penyaluran bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, yang dianggap tak tepat sasaran. Cara menangani persoalan semacam ini menunjukkan ada hal yang tidak beres dalam kebijakan tersebut, termasuk tiadanya mekanisme pengaduan dalam program yang dilaksanakan.
Keriuhan mengenai penyaluran KIP Kuliah yang dianggap tidak tepat sasaran menyeruak setelah pengguna media sosial X menyoroti mahasiswa Universitas Diponegoro yang dianggap mampu tapi menerima KIP Kuliah. Indikasi mahasiswa tersebut dianggap mampu adalah dia di media sosialnya memamerkan gawainya yang relatif mahal, tas bermerek, dan foto-foto pelesiran. Padahal KIP Kuliah, bantuan dana biaya kuliah dan biaya hidup dari awal hingga lulus, diperuntukkan bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Sang mahasiswa berdalih, saat dulu mendaftar KIP Kuliah, ekonomi keluarganya tergolong kurang mampu. Seiring berjalannya waktu, mahasiswa itu mengaku memiliki penghasilan dengan menjadi pemengaruh di media sosial, sehingga taraf hidupnya membaik. Dalam kebijakan KIP Kuliah, memang ada ketentuan, jika di kemudian hari ditemukan perubahan kemampuan ekonomi penerima, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat menghentikan bantuan tersebut. Sebelum itu, Kementerian dan kampus akan memverifikasi kelayakan penerima lebih dulu.
Dalam hal ini, Kementerian Pendidikan cenderung menyorongkan masalah kepada kampus. Padahal momentum ini bisa digunakan untuk mengevaluasi program KIP Kuliah agar tak menyisakan celah bagi kemungkinan program salah sasaran. Salah satunya, tidak ada layanan khusus pengaduan yang berakibat pada tiadanya kejelasan mekanisme pengiriman tim verifikasi untuk mengecek perubahan kondisi mahasiswa.
Perlu dicatat bahwa dugaan program ini salah sasaran bukan hanya terjadi di Undip, tapi juga di sejumlah kampus lain di Indonesia. Karena itu, mekanisme pengaduan perlu ada agar penanganan persoalan tidak sporadis ataupun setelah viral di media sosial.
KIP Kuliah merupakan transformasi dari program Bidikmisi yang diluncurkan pada 2010. Bidikmisi menjadi KIP Kuliah pada 2020, lalu disempurnakan pada 2021 menjadi KIP Kuliah Merdeka. Kementerian Pendidikan memperbaiki data penerima program, di antaranya dengan menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, data Program Keluarga Harapan, hingga menerapkan verifikasi oleh petugas lapangan dari kampus. Namun verifikasi ini tak 100 persen dilaksanakan. Sampai 2023, setidaknya sudah ada 700 ribu lebih mahasiswa yang menerima KIP Kuliah, dengan jumlah pendaftar setiap tahun mencapai lima kali lipat kuota penerima.
Agar program tersebut berjalan sesuai dengan tujuan, yakni meningkatkan akses dan kesempatan belajar di perguruan tinggi secara lebih merata bagi masyarakat yang kurang atau tidak mampu secara ekonomi, pemerintah perlu mengevaluasi kriteria penerima. Setelah itu, pemerintah mengumumkan nama penerima KIP Kuliah secara terbuka. Ketika ada transparansi nama penerima, masyarakat bisa berkontribusi dalam pengawasannya dengan membuat laporan jika ada penerima yang dianggap tidak tepat sasaran.
Konsekuensinya, pemerintah wajib menindaklanjuti laporan tersebut dengan memverifikasi data ataupun dengan mengecek ke lapangan. Ini sesuai dengan konsep William N. Dunn mengenai lima tahap proses kebijakan, yakni agenda setting, perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan, dan perbaikan kebijakan. Demi memecahkan masalah publik, proses kebijakan tersebut perlu bergulir hingga ke tahap terakhir, termasuk dalam program KIP Kuliah.