maaf email atau password anda salah


Agar Penyiksaan Warga Papua Tak Ada Lagi

Kekerasan oleh aparat bersenjata yang berulang di Papua merupakan buah dari pendekatan keamanan yang terus dilestarikan.

arsip tempo : 171420607919.

Agar Penyiksaan Warga Papua Tak Ada Lagi. tempo : 171420607919.

PENYIKSAAN warga sipil asli Papua oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia yang videonya viral di media sosial akhir-akhir ini merupakan tindakan biadab. Selain mengoyak rasa kemanusiaan kita, perbuatan keji itu berpotensi kian mengobarkan konflik yang tak berkesudahan di Papua.



Dalam video itu, terlihat seorang pria Papua yang belakangan diketahui bernama Defianus Kogoya ditempatkan di sebuah drum. Darah mengucur dari mulut serta hidungnya. Defianus, yang dianggap bagian dari kelompok kriminal bersenjata Organisasi Papua Merdeka, dituding berencana membakar puskesmas di Distrik Omukia, Puncak, Papua Tengah. Alih-alih menginvestigasi rencana tersebut, prajurit TNI dari Yonif 300/Raider membawa Defianus ke Pos Gome, juga di Kabupaten Puncak, dan menyiksanya hingga tewas. Saat disiksa dengan kejam itu, Defianus pun dimaki dengan cacian rasis. 

Markas Besar TNI memang telah menyatakan bahwa 13 dari 40-an prajurit TNI di Pos Gome itu ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan dan ditahan. Namun masalah tak selesai sampai di sana. Kematian Defianus merupakan kasus yang terdokumentasikan dari sekian kekerasan akibat pendekatan berbasis keamanan dalam menyelesaikan konflik di Papua. Selama pendekatan represif ini tak dikoreksi, kasus serupa akan terus terjadi. Mereka yang memiliki aspirasi berbeda akan selalu dianggap musuh yang harus ditumpas.

Berdasarkan data Amnesty International, sepanjang Februari 2018 hingga 2022, ada 105 korban dugaan pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) di Papua dan Papua Barat. Adapun Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mencatat pada 2022 setidaknya ada 32 peristiwa kekerasan oleh aparat terhadap warga asli Papua. Angka kejadian itu meningkat pada 2023 menjadi 44 peristiwa dengan jumlah korban 527 orang. Terus berulangnya kekerasan oleh aparat bersenjata ini tidak lepas dari pemberlakuan pendekatan keamanan tadi.

Dengan korban yang jatuh sebanyak itu dan konflik yang berlarut-larut, pemerintah semestinya belajar bahwa pendekatan keamanan tidak bisa menyelesaikan persoalan. Pemerintah harus meninggalkan pendekatan yang top-down ini dan menggantinya dengan pendekatan yang bisa merangkul semua pihak—warga Papua—untuk terlibat dalam mengakhiri konflik di sana. Sesulit apa pun, dialog harus terus diikhtiarkan.

Selain pendekatan keamanan, faktor lain yang menyebabkan kekerasan oleh aparat terus terjadi adalah tidak adanya hukuman yang adil dan maksimal bagi pelaku. Sejumlah tentara yang terlibat kasus kekerasan ataupun pidana lainnya dihukum ringan, bahkan dibebaskan. Misalnya, dalam kasus pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Kabupaten Intan Jaya serta persidangan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Paniai.

Karena itu, penetapan tersangka dan penahanan terhadap para penyiksa Defianus saja tidaklah cukup. Mereka perlu diseret untuk diadili di peradilan umum guna menyudahi impunitas. Selama ini, tentara yang terlibat kejahatan umum diproses di peradilan militer yang tertutup. Akibatnya, proses hukumnya tidak memenuhi prinsip peradilan yang jujur dan adil (fair trial) yang mengedepankan transparansi. Jangan salahkan jika peradilan militer cenderung dianggap sebagai “bunker” bagi anggota militer yang terlibat kejahatan. 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan