Selamat Mencoblos, Waspadai Kecurangan
Pemilu di luar negeri kisruh. Bisa menjadi cerminan pemilu di dalam negeri.
BESOK kita memilih presiden dan wakil presiden; anggota legislatif nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; serta anggota Dewan Perwakilan Daerah. Nasib Indonesia lima tahun ke depan akan ditentukan oleh pilihan 204.806.222 pemilih di bilik suara. Pemilihan Umum 2024 terasa menegangkan karena sejak mula diwarnai pelbagai pelanggaran etika, hukum, dan konstitusi oleh politikus, penguasa, hingga penyelenggara pemilu.
Ada banyak kekhawatiran kecurangan pemilu oleh penguasa dan aparatur negara yang tak netral karena anak presiden aktif berlaga sebagai kandidat wakil presiden. Film dokumenter Dirty Vote di YouTube, yang menyajikan analisis tiga ahli hukum tata negara, menguar potensi-potensi dan desain kecurangan yang menguntungkan kandidat tertentu. Praktik curang itu sudah terlihat dalam pemungutan suara di luar negeri.
Ada 1.750.474 kertas suara yang disebar ke seluruh penjuru dunia untuk melayani hak memilih warga negara Indonesia di negara lain. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar pemungutan suara di 100 kota di sejumlah negara pada 5-11 Februari 2024. Tapi, di Malaysia, Migrant Care—organisasi swadaya buruh migran—menemukan jual-beli kertas suara dan ribuan kertas suara yang sudah berlubang sebelum diserahkan kepada pemilih.
Rupanya, makelar mencuri kertas-kertas suara di kotak pos alamat tinggal warga Indonesia. KPU memang mengirim kertas-kertas suara itu ke alamat surat warga negara kita di sana. Kertas-kertas suara itu, menurut laporan yang diterima Migrant Care, kemudian dijual para makelar kepada calon anggota legislatif seharga Rp 81-163 ribu per lembar.
Malaysia adalah negara dengan jumlah penduduk Indonesia terbanyak. Ada sekitar 800 ribu warga Indonesia yang bekerja di negeri jiran ini. Migrant Care menghitung setidaknya 150 ribu pemilih belum masuk daftar pemilih tetap (DPT) di Malaysia. Walhasil, tempat pemungutan suara (TPS) di beberapa lokasi membeludak karena data dan jumlah pemilih riil tak sesuai.
Belum lagi daftar pemilih tetap ganda. Di Malaysia, terdapat DPT ganda sebanyak 3.238 pemilih. Sedangkan di New York, Amerika Serikat, nama ganda sebanyak 198.
Angka-angka itu memang kecil. Tapi, jika mengurus 0,85 persen pemilih di luar negeri saja kacau balau, manajemen KPU di dalam negeri bisa terukur. Hingga Januari lalu, Badan Pengawas Pemilu menemukan masih banyak daerah yang belum menerima kotak dan surat suara serta segelnya. Distribusi ke daerah-daerah terpencil terhambat oleh akses, informasi, letak geografis, bahkan cuaca.
Kelemahan-kelemahan itu makin menguatkan kekhawatiran akan mudahnya para pencoleng memanipulasi hasil pemilihan. Apalagi KPU kini mengandalkan sepenuhnya teknologi dan jaringan Internet untuk distribusi hasil coblosan. Aplikasi Sirekap menggantikan formulir C1 seperti pemilu sebelumnya yang dikirim dari 823.220 TPS dalam waktu bersamaan. Tak hanya memerlukan server yang besar, distribusi data digital ini juga mensyaratkan jaringan Internet yang stabil.
Meski lebih efektif dan hemat, pemakaian Internet rawan menjadi pintu masuk intersepsi manipulasi data pemilihan. Di sinilah mengapa undang-undang mengatur agar lembaga negara, aparatur negara, dan aparatur hukum harus netral. Tanpa netralitas, mereka bisa memakai sumber daya negara untuk memanipulasi data pemilih dengan memotong jalur komunikasi dan informasi melalui jaringan maya itu.
Masalahnya, Presiden Joko Widodo tanpa malu menyatakan berpihak karena anaknya menjadi calon wakil presiden. Selama masa kampanye, ia memanfaatkan jabatan presiden untuk kunjungan kerja membagi-bagikan bantuan sosial. Para menteri dan pembantunya mengklaim bantuan itu sebagai “bansos Jokowi” sehingga publik diharapkan memilih anaknya.
Maka, setelah kita melawan di bilik suara dengan tidak memilih kandidat yang didukung penguasa culas dan pelanggar hukum, cara berikutnya menyelamatkan demokrasi dan masa depan Indonesia adalah mengawal serta memastikan hasil pemilihan sampai ke KPU dan bisa diakses publik. Para pemilih harus memastikan data yang dikirim melalui Sirekap benar dan mendokumentasikannya secara manual.
Aplikasi-aplikasi penyimpan data hasil pemilihan yang dibuat lembaga independen bisa menjadi sumber data patokan untuk mencegah manipulasi data di KPU. Apa boleh buat, di negara yang politikus dan penguasanya mabuk kekuasaan, orang banyak harus lebih sibuk memastikan demokrasi tak mati dan Indonesia masih ditopang oleh publik yang masih percaya pemilu adalah cara mencegah orang jahat terus berkuasa.