maaf email atau password anda salah


Tolak Penunjukan Gubernur Jakarta oleh Presiden

USULAN penunjukan gubernur Jakarta oleh presiden merupakan langkah mundur demokrasi.  

arsip tempo : 173058287352.

Tempo/Imam Yunni. tempo : 173058287352.

GAGASAN Dewan Perwakilan Rakyat agar Gubernur Jakarta ditunjuk oleh presiden selayaknya ditolak. Usulan yang tercantum dalam Pasal 10 rancangan revisi UU DKJ inisiatif DPR tersebut mengkhianati cita-cita reformasi.

Revisi undang-undang yang mencederai demokrasi ini merupakan konsekuensi dari pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) pada 15 Februari 2022, yang menetapkan ibu kota Indonesia baru di Kalimantan Timur. Dengan adanya ketentuan tersebut, UU DKI Jakarta harus diubah maksimal dua tahun sejak diundangkan. Artinya, batas akhir perubahan tersebut jatuh pada 15 Februari 2024. Adapun rancangan revisi UU DKJ telah disepakati sebagai inisiatif Dewan pada 5 Desember lalu. 

Draf RUU DKJ versi DPR ini terdiri atas 12 bab dan 72 pasal. Dalam draf itu diatur kekhususan Jakarta yang diberi otonomi khusus dan berperan sebagai pusat perekonomian nasional, kota global, serta kawasan aglomerasi.

Dari rangkaian pasal dalam draf RUU tersebut, Pasal 10 menjadi yang paling kontroversial. Pasal tersebut mengatur bahwa Provinsi Daerah Khusus Jakarta dipimpin oleh gubernur dan dibantu oleh wakil gubernur. Gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.

Saat sidang pengesahan, delapan fraksi di DPR mendukung RUU tersebut menjadi inisiatif DPR dan hanya Partai Keadilan Sejahtera yang menolak. Belakangan, lewat media massa, mayoritas fraksi di DPR balik arah dan menyatakan menolak isi Pasal 10 rancangan revisi undang-undang tersebut. Tersisa Partai Gerindra yang tak berubah pendiriannya.

Menilik tenggat yang ditetapkan UU IKN yang sudah mepet, pembahasan RUU DKJ dipastikan akan ngebut dibahas DPR dan pemerintah. Masyarakat harus mengawalnya dan memastikan usulan ketentuan, terutama Pasal 10, menyangkut penunjukan gubernur oleh presiden tak diloloskan. Karena itu, pembahasan harus transparan dan melibatkan partisipasi publik. 

Pemerintah dan Dewan tak boleh lagi mengulangi kesalahan sebelumnya ketika membahas sejumlah produk undang-undang tanpa partisipasi publik yang bermakna. Sebut saja proses pembahasan revisi UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Apalagi sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait dengan pengujian UU Cipta Kerja yang mengharuskan adanya partisipasi publik secara bermakna dalam setiap proses legislasi ataupun pengambilan kebijakan.

Gagasan penunjukan gubernur oleh presiden dalam perubahan UU DKJ harus dicoret karena bertentangan dengan konstitusi. Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 jelas mengatur pemilihan gubernur yang dilakukan secara demokratis. Usulan itu juga mengingkari Pasal 1 ayat 2 UUD yang mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat serta bertentangan dengan semangat amendemen UUD untuk membatasi kekuasaan presiden.

Usulan gubernur oleh presiden ini benar-benar langkah yang kebablasan. Belakangan ini masyarakat ramai mengkritik penunjukan langsung ratusan pejabat sementara kepala daerah karena menunggu pilkada serentak. Kini sentralisasi kekuasaan seperti yang dikritik itu justru seperti hendak dilembagakan di Jakarta. Ada bahaya besar bagi kemaslahatan masyarakat dalam praktik seperti ini. Ketika hak rakyat untuk memilih dicabut, gubernur yang ditunjuk presiden itu akhirnya bisa menjadi boneka presiden.

Usulan penunjukan gubernur oleh presiden ini mengingatkan kita pada wacana kepala daerah dipilih DPRD dengan dalih, salah satunya, untuk penghematan biaya, yang bergulir pada 2018. Bila RUU DKJ dengan usulan gubernur yang ditunjuk ini lolos menjadi undang-undang, bukan tak mungkin hal itu akan dijadikan preseden agar daerah-daerah lain mengikuti konsep yang sama, yakni pemilihan kepala daerah secara tidak langsung.

Ini tentu tak boleh dibiarkan. Pemilihan Gubernur Jakarta secara langsung—juga kepala daerah lain—penting dilanggengkan demi menjaga hak-hak konstitusi masyarakat. Pilkada langsung yang ada saat ini sudah sesuai dengan semangat otonomi daerah karena membuat masyarakat berkesempatan memilih pemimpin sesuai dengan rekam jejaknya dan tak hanya menjadi pihak pasif yang menerima sosok titipan dari pusat. 

Usulan agar Gubernur Jakarta diangkat presiden merupakan cerminan dari pikiran picik para politikus yang menolak mekanisme checks and balances serta pertanggungjawaban kepada publik. Saat ini pemilihan secara langsung menjadi satu-satunya cara paling beradab yang dimiliki publik untuk memilih pemimpin yang masih memiliki akal sehat.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 November 2024

  • 1 November 2024

  • 31 Oktober 2024

  • 30 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan