Ketika pertama kali memimpin rapat Kabinet Indonesia Maju setahun yang lalu, Presiden Joko Widodo pernah menegaskan bahwa semua pembantunya tak boleh punya visi dan misi sendiri-sendiri. Yang ada, menurut Jokowi, adalah visi dan misi presiden. Karena itulah, pergantian enam menteri yang diumumkan Presiden di Istana Negara, kemarin, sejatinya tidak menjanjikan perubahan mendasar dari gagasan pembangunan yang menekankan peran negara (developmental state) yang diusung Jokowi sejak enam tahun lalu.
Apalagi, dari enam nama yang diumumkan Presiden, hanya Budi Gunadi Sadikin dan Muhammad Lutfi yang tidak berafiliasi dengan partai politik. Empat menteri baru lainnya merupakan perwakilan berbagai partai politik pendukung pemerintah. Tri Rismaharini, yang menggantikan Menteri Sosial Juliari Batubara, merupakan kader tulen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meski berlatar belakang pengusaha, Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, Wahyu Sakti Trenggono, juga berafiliasi dengan kubu banteng.
Sandiaga Uno, yang menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggantikan Wishnutama, adalah perwakilan Partai Gerindra di Kabinet Indonesia Maju. Sedangkan penunjukan Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor Yaqut Cholil menggantikan Fachrul Razi di Kementerian Agama adalah representasi Nahdlatul Ulama dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Keberadaan para menteri yang mewakili unsur partai politik tersebut menegaskan posisi Jokowi yang terikat dengan perjanjian bagi-bagi kekuasaan dengan koalisi partai pendukungnya. Meski di atas kertas memiliki hak prerogatif menentukan sendiri siapa saja pembantunya di kabinet, Presiden tak mau ambil risiko memilih menteri murni berdasarkan pertimbangan kompetensi dan rekam jejak. Padahal publik sudah dikecewakan oleh kinerja dua menteri dari partai politik: Edhy Prabowo (Gerindra) dan Juliari Batubara (PDIP), yang kini menjadi tersangka korupsi.
Ramai disebut-sebut bahwa reshuffle perdana kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin ini didorong oleh buruknya kinerja enam menteri yang diganti. Penting untuk dicatat, kekecewaan khalayak ramai sebenarnya tidak hanya terkait dengan enam menteri tersebut. Buruknya penanganan masalah hak asasi manusia di Papua, misalnya, terkait dengan kinerja sejumlah menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Pemerintah jelas kewalahan merespons tuntutan rakyat di Papua yang tak puas atas pendekatan keamanan dan ekonomi semata.
Di sektor ekonomi, keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja menimbulkan kekhawatiran di kalangan buruh dan pegiat lingkungan. Dengan peraturan baru itu, pemerintah menggelar karpet merah untuk pengusaha dan investor dengan mengesampingkan pertimbangan konservasi dan kepentingan buruh. Protes masif para mahasiswa dan pemuda ketika omnibus law disahkan adalah sinyal ketidakpuasan masyarakat atas kinerja menteri-menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
Sayangnya, semua kekecewaan masyarakat itu tak diakomodasi dalam kebijakan perombakan kabinet kemarin. Presiden Jokowi hanya mengganti sejumlah menteri yang di matanya tak menunjukkan kinerja memuaskan, namun mengabaikan protes publik mengenai soal yang lebih mendasar. Selama ketidakpuasan khalayak itu tak direspons dengan memadai, reshuffle kemarin memang belum menawarkan solusi.
Editorial
Ganti Menteri Bukan Solusi
Ketika pertama kali memimpin rapat Kabinet Indonesia Maju setahun yang lalu, Presiden Joko Widodo pernah menegaskan bahwa semua pembantunya tak boleh punya visi dan misi sendiri-sendiri.
Edisi, 23 Desember 2020

Tempo
