Pemerintah mesti mengkaji ulang rencana komersialisasi vaksinasi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) kepada sebagian masyarakat. Selain mengabaikan aspek perlindungan untuk segenap bangsa, yang menjadi amanat konstitusi, komersialisasi tersebut berpotensi mengancam efektifivitas program vaksinasi virus corona.
Kementerian Kesehatan telah menetapkan target vaksinasi Covid-19 sebanyak 107 juta jiwa, yang merupakan 60 persen dari jumlah penduduk berusia 18-59 tahun yang bebas penyakit penyerta (komorbid). Dari 107 juta orang itu, sebanyak 32 juta mendapat vaksin gratis, yaitu tenaga kesehatan, petugas pelayanan publik, aparat keamanan, dan sebagian penerima bantuan iuran pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Timbul persoalan karena 75 juta orang lainnya harus melakukan vaksinasi mandiri alias membeli vaksin sendiri.
Ketika kondisi ekonomi sedang terpuruk karena pandemi, sulit berharap munculnya kesadaran masyarakat melakukan vaksinasi mandiri. Aspek sukarela berisiko gagalnya program tersebut, karena sulit memenuhi cakupan vaksinasi yang optimal. Kunci keberhasilan vaksinasi adalah tercapainya kekebalan kelompok atau herd immunity. Ada tiga syarat terpenuhinya kekebalan kelompok, yakni vaksin yang memiliki efektivitas minimal 90 persen, angka reproduksi virus maksimal 1, dan cakupan vaksinasi 90 persen dari target.
Dengan menggratiskan vaksin bagi seluruh masyarakat, pemerintah bisa mengendalikan program vaksinasi seperti diharapkan. Tidak ada lagi alasan masyarakat untuk menolak vaksinasi atas pandemi Covid-19, yang sudah ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai bencana nasional non-alam. Keharusan menanggung biaya vaksin juga sejalan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, yang menegaskan bahwa vaksinasi, termasuk imunisasi, khusus pada kondisi wabah penyakit, ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
Mau tidak mau, pemerintah mesti menambah anggaran kesehatan, terutama untuk membeli vaksin Covid-19 yang pada 2020 dialokasikan sebesar Rp 34,23 triliun. Guna memenuhi target yang ditetapkan, Indonesia masih membutuhkan 214 juta dosis vaksin senilai Rp 44 triliun.
Alasan keterbatasan anggaran semestinya tidak perlu ada jika pemerintah menjadikan program vaksinasi sebagai prioritas utama di atas pelbagai program pemerintah yang lain. Sejumlah kebijakan lampau yang lebih mengutamakan pertimbangan ekonomi ketimbang aspek kesehatan jangan sampai terulang. Dalam situasi perang melawan Covid-19, anggaran untuk kesehatan seharusnya mengalahkan segala urusan lain.
Salah satu solusi yang bisa ditempuh pemerintah adalah tunda atau hentikan proyek-proyek infrastruktur ambisius yang sudah dicanangkan pemerintah. Bukankah Presiden Jokowi sudah memilih mendahulukan aspek kesehatan ketimbang pemulihan ekonomi?