Bekas luka tembak pada enam jenazah anggota Front Pembela Islam (FPI)—seperti dijelaskan keluarganya di depan Komisi III DPR—menunjukkan betapa brutalnya aparat yang menghabisi nyawa mereka. Para pengawal Rizieq Syihab itu diduga ditembak dari jarak dekat, pada bagian tubuh yang mematikan, serta lebih dari dua kali tembakan.
Kepolisian berdalih menembak keenam orang itu lantaran mereka menyerang dan mengancam keselamatan nyawa aparat. Polisi pun mengklaim terjadi baku tembak, sehingga aparat mengambil tindakan tegas dan terukur—klaim yang dibantah pihak FPI.
Sejumlah saksi mata menuturkan, setidaknya empat dari enam anggota FPI itu masih bisa berjalan ketika polisi melumpuhkan mereka di Kilometer 50 jalan tol Jakarta-Cikampek. Katakanlah baku tembak sempat terjadi sebelum pengawal Rizieq itu menyerah. Tapi polisi seharusnya meringkus mereka, memeriksanya, dan menyeretnya ke pengadilan. Sebab, di negara hukum, seorang penjahat sekalipun berhak mendapatkan peradilan yang adil (fair trial).
Penjelasan polisi sejauh ini tak membuat terang pelbagai kejanggalan. Karena itu, wajar bila muncul spekulasi bahwa anggota FPI itu telah menjadi korban pembunuhan di luar jalur hukum alias extrajudicial killing—kejahatan yang menabrak undang-undang dan kovenan internasional tentang hak asasi manusia (HAM).
Di atas kertas, Peraturan Kepala Polri Nomor 1 Tahun 2009 telah menjabarkan dalam situasi apa polisi bisa menembak pelaku kejahatan. Polisi hanya boleh menembak ketika nyawa aparat atau masyarakat terancam. Penembakan hanya dibolehkan ketika polisi tak punya pilihan. Itu pun tujuan utamanya hanya untuk melumpuhkan, bukan membunuh. Lebih jauh lagi, Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 mengatur semua tindakan anggota kepolisian harus tunduk pada prinsip dan standar HAM.
Faktanya, pelanggaran oleh polisi terus berulang. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sepanjang Juli 2019-Juni 2020, polisi diduga terlibat dalam 921 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM. Korbannya: 304 orang tewas dan 1.627 orang luka-luka. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga mencatat, selama 2019, terjadi 67 kasus extrajudicial killing—dalam 66 kasus, pelakunya diduga polisi.
Anehnya, pernyataan Presiden Jokowi di Istana Bogor kemarin tak menunjukkan empati kepada korban dan keluarganya. Jokowi menyatakan bahwa aparat dilindungi hukum dan harus tegas dalam menegakkan hukum. Tak ada perintah Presiden agar Polri mengusut dugaan pelanggaran oleh anggotanya. Jokowi justru meminta keluarga korban memperjuangkan sendiri keadilan yang seharusnya dijamin oleh negara.
Negara sejatinya wajib menghentikan kekerasan oleh aparat yang semakin tak terkendali. Bila tak pernah dibuat terang, serta pelakunya tak dihukum, kasus extrajudicial killing bisa terus berulang. Siapa pun bisa menjadi korban.
Editorial
Kekerasan yang Berulang
Bekas luka tembak pada enam jenazah anggota Front Pembela Islam (FPI)—seperti dijelaskan keluarganya di depan Komisi III DPR—menunjukkan betapa brutalnya aparat yang menghabisi mereka. Negara harus menghentikan kekerasan oleh aparat yang terus berulang.
Edisi, 14 Desember 2020

Tempo
