Rancangan peraturan itu masih memberikan kewenangan yang sangat luas kepada TNI dalam penanganan terorisme, yaitu penangkalan, penindakan, dan pemulihan, yang bertolak belakang dengan undang-undang yang menjadi payung hukumnya. Misalnya kewenangan lembaga itu melakukan penangkalan. Padahal dalam Undang-Undang Terorisme secara jelas disebutkan TNI merupakan bagian dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang tugas pokoknya melakukan tindakan preventif atas terjadinya tindak terorisme, yang salah satunya berupa langkah penangkalan.
Rancangan peraturan presiden itu juga mengatur penanggulangan terorisme oleh TNI melalui operasi lainnya. Frasa “operasi lainnya” yang tanpa batasan jelas dan berisiko multitafsir itu berpotensi memberikan ruang yang besar bagi TNI untuk melakukan operasi di luar yang diatur undang-undang.
Perpres yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Terorisme itu semestinya mengatur secara mendetail peran TNI dalam kerangka operasi militer selain perang. Rancangan itu justru melembagakan penggunaan militer, yang seharusnya diatur sebagai kekuatan terakhir dalam penanganan terorisme. Peran militer seharusnya memakai prinsip limitasi yang ketat, bukan malah dilonggarkan. Jangan sampai kehadiran tentara menjadi teror baru bagi masyarakat seperti yang terjadi di daerah operasi militer.
Keganjilan lain adalah soal sumber dana TNI dalam melaksanakan tugas memerangi terorisme, yang berpotensi terjadi tumpang-tindih penganggaran. Perpres itu membolehkan TNI mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. Padahal, selama ini, setiap operasi TNI dibiayai dengan kas negara melalui Kementerian Pertahanan.
Pemerintah semestinya mafhum bahwa revisi undang-undang terorisme yang mereka buat bersama Dewan Perwakilan Rakyat masih menuai polemik hingga sekarang, karena melegitimasi keterlibatan TNI mengurus terorisme yang sejatinya merupakan kewenangan Kepolisian Republik Indonesia. Beragam kekhawatiran publik tentang semakin lebarnya ruang bermain tentara itu semestinya dijawab dengan menerbitkan peraturan teknis yang mendetail dan menutup berbagai potensi penyimpangan, bukan malah memberikan kebijakan serupa cek kosong.