Pemerintah mesti mengkaji ulang rencana pembentukan lembaga pengelola investasi (LPI). Selain hadir pada saat yang tidak tepat di tengah ketidakpastian perekonomian global, keberadaan lembaga investasi itu berpotensi membuka ruang bagi para penjarah uang negara beroperasi secara mudah.
Hal itu bisa terlihat dari isi rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai lembaga pengelola investasi yang baru dirilis pemerintah. Aturan turunan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu mencerminkan tata kelola pemerintahan yang tidak akuntabel. Sejumlah pasal dalam rancangan tersebut mengabaikan standar baku bagaimana sebuah lembaga investasi bekerja.
Misalnya, celah korupsi di Pasal 53 yang mengatur kewajiban LPI menyusun laporan keuangan yang diaudit oleh kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh dewan direktur berdasarkan persetujuan dewan pengawas. Klausul ini menjadi penegasan atas Pasal 161 Undang-Undang Cipta Kerja, yang menyebutkan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan LPI dilakukan oleh akuntan publik. Ini mengherankan, mengingat modal awal LPI berasal dari anggaran negara dan lembaga ini pun akan mengelola aset-aset milik badan usaha milik negara (BUMN), sehingga kewenangan pemeriksaan dan audit seharusnya ada pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Lepasnya audit BPK dari LPI memiliki konsekuensi yang jelas mengkhawatirkan. Lembaga itu bisa dianggap sebagai entitas yang tidak mengelola keuangan negara. Padahal sudah jelas LPI sepenuhnya dibiayai negara dan mendapat jaminan dari negara. Dampak lain adalah, jika LPI mengalami kerugian akibat investasi, ini bisa tidak akan dicatat sebagai kerugian negara. Hal ini menutup celah pengusutan unsur korupsi atau penggelapan kekayaan negara oleh lembaga penegak hukum.
Potensi persoalan juga muncul pada Pasal 71, yang menyebutkan LPI wajib menanggung kerugian atas tindakan dewan pengawas, direksi, pegawai, hingga mantan pegawai. LPI memikul tanggung jawab para nakhodanya, sepanjang mereka dianggap tidak lalai dan dinilai sudah mengelola investasi dengan iktikad baik dan kehati-hatian. Klausul ini memancing munculnya moral hazard dan ketidakhati-hatian, yang menjadi risiko besar bagi LPI selaku pengelola dana superjumbo milik negara dan investor.
Karena itu, pemerintah tak bisa melonggarkan pengawasan LPI hanya demi menarik pemodal. Dengan pengawasan yang lemah, LPI seperti diberi keleluasaan untuk menggadaikan kekayaan negara di tangan investor dan juga berpeluang menjadi bancakan, seperti kasus 1Malaysia Development Berhad (1MDB), lembaga investasi milik Malaysia, yang menyeret perdana menterinya.
Sebelum terlambat, tanpa pembenahan aturan terutama dalam hal pengawasan dan tanggung jawab, pembentukan LPI berpeluang hanya memberi mudarat. Tanpa transparansi dan pengawasan yang ketat, keputusan pengelolaan investasi sangat rentan dimanipulasi dan berujung pada kasus korupsi.