Narasi Basi Hantu PKI
Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) selalu muncul dalam dua keadaan ini: menjelang peringatan tragedi 30 September 1965 dan musim pemilihan umum. Sehingga ada kesan kuat isu kebangkitan PKI ini sarat kepentingan politik, terutama untuk melorotkan pamor pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tapi, apa pun motifnya, narasi yang berulang-ulang seperti ini menyesatkan dan merupakan tindakan pembodohan publik.
Isu mengenai PKI kembali muncul baru-baru ini. Hal ini berawal dari tudingan wartawan Hasril Chaniago kepada Arteria Dahlan, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—partai penyokong Jokowi—dalam acara Indonesia Lawyer Club di TV One pada 8 September lalu. Hasril menuding Arteria Dahlan cucu kader PKI. Isu ini kian hangat setelah Gatot Nurmantyo mengaku dicopot sebagai Panglima TNI oleh Presiden Jokowi karena mengeluarkan perintah nonton bareng film gerakan 30 September 1965. Gatot kini deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang banyak diisi tokoh oposisi terhadap Jokowi.
Masih gentayangannya hantu komunisme di Indonesia karena masih ada pihak-pihak yang mendapat keuntungan politik dan ekonomi dari maraknya stigma ini. Apalagi ada sebagian masyarakat yang masih percaya pada isu kebangkitan PKI. Mereka yang paling mudah tersengat adalah kelompok kanan yang memiliki sejarah panjang melawan komunisme. Menurut hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting yang dilansir kemarin, dari 1.203 responden, sebanyak 14 persen masih percaya akan isu kebangkitan PKI tersebut.
Pertanyaan besarnya adalah sampai kapan isu ini terus diproduksi? Sebagai sebuah partai, PKI sudah lama mati. Tapi memorinya sebagai hantu yang mengerikan terus-menerus ditampilkan di hadapan publik. Pada era saat ini yang penuh dengan informasi sesat dan hoaks, upaya memanipulasi publik dengan isu seperti itu memang jauh lebih mudah. Orang-orang yang mengambil keuntungan dari isu kebangkitan PKI ini tampaknya meyakini bahwa kebohongan yang diulang-ulang akan dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Celakanya, setelah 20 tahun lebih reformasi bergulir di negeri ini, pemerintah dan para aparatnya masih kerap menggunakan hantu PKI ini sebagai sistem kontrol yang ampuh. Sebut saja tindakan razia buku kiri dan pembubaran diskusi, seminar, atau pemutaran film tentang tragedi 1965. Ada kesan kuat pemerintah melakukan tindakan itu untuk menyampaikan pesan kepada publik bahwa mereka pun anti-PKI. Tindakan memilih bermain aman seperti ini tentu sangat disesalkan.
Ketakutan akan bangkitnya PKI adalah komoditas politik yang seharusnya sudah dikubur puluhan tahun lalu. Sebagai ideologi, komunisme di seluruh muka bumi sudah lumpuh. Tak ada alasan untuk mencemaskan kebangkitannya. Karena itu, upaya menghentikan narasi kebangkitan PKI harus diawali komitmen bersama para elite politik untuk mengakhiri permainan politik menggunakan stigma ini. Ketimbang mengurusi isu ancaman PKI yang merupakan ilusi semata, mereka sebaiknya memikirkan bersama melawan hantu yang sesungguhnya tengah dihadapi saat ini: Covid-19. *