Alih-alih menjadi panglima dan mengoptimalkan Kementerian Kesehatan dalam memerangi pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo untuk kesekian kalinya menggunakan resep lama: membentuk tim baru. Pembentukan tim yang dipimpin Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan itu semakin menunjukkan betapa karut-marutnya manajemen pemerintah dalam menangani pagebluk.
Bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo, Luhut mendapat tugas mengendalikan wabah corona di sembilan provinsi dengan angka penularan tinggi. Kesembilan provinsi itu adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Utara, dan Papua. Dalam dua pekan, tim ini diberi target menurunkan kasus harian, angka kematian, serta meningkatkan angka kesembuhan di sembilan provinsi itu.
Penunjukan Luhut dan Doni ini memberi kesan tim sebelumnya gagal, sehingga perlu dilakukan tambal sulam. Pada awal pandemi, Jokowi membentuk Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang dipimpin Doni Monardo. Presiden kemudian membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Percepatan Ekonomi Nasional yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Di luar itu, masih ada Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di daerah. Selain tumpang-tindih, pembentukan tim ad hoc hanya memperpanjang rantai komando dan bisa memperlambat pengambilan keputusan.
Dalih penunjukan Luhut dan Doni untuk mengawal Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum juga tidak relevan. Semestinya, untuk mengawasi penerapan aturan itu di sembilan provinsi, Jokowi cukup memerintahkan Menteri Dalam Negeri atau Kepala Kepolisian RI. Menteri Dalam Negeri punya wewenang mengkoordinasikan kepala daerah. Kepala Polri bisa memerintah para kepala kepolisian daerah.
Adapun Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi tak memiliki rantai komando sampai ke para pemimpin di wilayah. Begitu pula dengan Menteri Koordinator Perekonomian. Dengan demikian, tak ada jaminan bahwa para kepala daerah akan tunduk kepada tim-tim ad hoc tersebut. Wajar kalau ada anggapan bahwa keberadaan tim ad hoc itu sia-sia dan memboroskan anggaran saja.
Kalau urusannya hanya mengkoordinasikan penanganan Covid-19 di level kementerian, Jokowi cukup mengoptimalkan kementerian koordinator yang ada. Selanjutnya, biar menteri-menteri di bawahnya yang bekerja, sesuai dengan tugas dan kompetensinya masing-masing dalam menangani pandemi. Misalnya, Menteri Kesehatan yang harus berada di barisan terdepan dalam memerangi wabah.
Bila para menteri itu gagal menjalankan tugasnya, Presiden seharusnya tidak membentuk tim baru untuk menutupi kegagalan tersebut. Presiden punya hak prerogatif untuk mengganti menteri-menteri yang tak becus bekerja itu. *
Editorial
Tambal Sulam Tim Pandemi
Alih-alih menjadi panglima dan mengoptimalkan Kementerian Kesehatan dalam memerangi pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo untuk kesekian kalinya menggunakan resep lama: membentuk tim baru.
Edisi, 18 September 2020

Reporter: Tempo
