maaf email atau password anda salah


Dabbah

Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Cerpen-cerpennya tersiar di sejumlah media massa.

arsip tempo : 171433023939.

Dabbah. tempo : 171433023939.

Dabbah
Kiki Sulistyo

I

Ia sudah berdiri di pulau karang itu. Seperti tiga hari sebelumnya. Tiap kali ombak hampir mencapai kakinya, ia mundur setindak. Laut memang tak begitu ganas, karenanya ia berani menyeberang. Pilihan orangtuanya menghabiskan masa liburan di kawasan itu membuatnya merasa sedikit beruntung. Mungkin itu adalah keputusan terbaik: liburan pertama sepanjang tiga belas tahun usianya di suatu kawasan yang jauh dan sepi. Meski begitu, sesungguhnya ia tidak menyukai kedua orangtuanya.  

Ayahnya seorang tukang kayu yang jarang bicara. Air mukanya selalu memperlihatkan ada hal rumit yang sedang dihadapi. Sebaliknya, ibunya, seorang perancang busana, sangat suka bicara. Seolah-olah, kalau sedikit saja ia menutup mulutnya, dunia akan berakhir seketika. Saat mereka sekeluarga tiba dua hari lalu, orangtuanya menatap laut dari kejauhan seakan-akan laut sedang mengancam mereka. 

Ia sendiri kerap mereka-reka cerita bagaimana kedua orangtuanya bertemu, menjalin hubungan, kemudian menikah. Ia merasa ada perjanjian di antara mereka, dan perjanjian itu melibatkan sesuatu yang tidak biasa. Ia bahkan bisa merasakan bahwa sesungguhnya dirinya tidak pernah diharapkan lahir. Kedua orangtuanya telah mengerahkan segala cara untuk menghancurkan janin yang kelak lahir sebagai dirinya: seorang anak perempuan dengan kepala gepeng dan muka compang-camping; dengan tangan yang demikian panjang dan lidah yang demikian pendek sehingga ia tak pernah bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Ia tak diperbolehkan belajar di sekolah umum. Beberapa orang dibayar untuk menjadi guru pribadinya. Mereka datang ke rumah seminggu sekali, mengajarkannya membaca, berhitung, ilmu alam, atau memperkenalkannya pada ajaran agama. “Semua anak akan ketakutan, dan kau akan mencelakakan mereka!” seru ibunya ketika ia terus bertanya kenapa ia tidak diperbolehkan sekolah seperti anak-anak lainnya. Ia tidak mengerti maksud ibunya, meski ia menduga itu ada hubungannya dengan kebiasaannya memotong-motong binatang kecil dengan pisau.   

Setiap kali ia sampai pada bayangan tentang perjanjian yang dilakukan orangtuanya, ia segera menepis bayangan itu. Ia tahu bayangan itu muncul karena ia sering mendengar cerita dari guru agamanya tentang orang-orang yang menjual jiwanya kepada iblis. Cerita itu pasti telah mempengaruhinya. Tidak ada bukti bahwa orangtuanya telah menjual jiwanya kepada iblis. Orangtuanya tidak bisa dianggap hidup berlimpah, meski sanggup membayar beberapa orang untuk menjadi guru. Mereka juga bukan sosok terkenal; pelanggan mereka cuma orang-orang biasa. 

Akan tetapi, bayangan tentang perjanjian itu datang kembali setelah ia bertemu dengan seseorang yang membuatnya membeku sekaligus menyala-nyala pada saat yang sama. 

Tiga hari lalu, ia berjalan-jalan menyusuri pantai setelah sehari sebelumnya cuma diam di rumah yang mereka tempati selama liburan. Mungkin ada anak-anak yang seusia dengannya di sekitar sana sehingga ia punya kawan bermain. Namun, pantai demikian sepi. Ia memandang ke segala arah dan menyimpulkan: tidak banyak orang yang tinggal di kawasan itu. Ia mulai berpikir seminggu ke depan akan jadi hari-hari yang paling membosankan, sampai kemudian ia melihat pulau karang itu: merah mengapung seperti onggokan daging mentah. Letaknya tidak terlalu jauh dari pantai. Namun, ia tetap harus menyeberangi air demi mencapainya. Ia berkeliling mencari tahu apakah ada jalan lain. Lantas, di bawah sebatang pohon, ia melihat sebuah perahu karet. Mula-mula ia hanya memperhatikan pohon tempat perahu diikat. Daun-daunnya panjang dan bercabang di ujungnya. Ia belum pernah melihat pohon seperti itu. Namun, sesaat kemudian, perhatiannya tertuju pada perahu karet. Ia bisa menyeberang dengan perahu itu, tapi ia ragu apakah ia boleh memakainya. Namun, karena tak ada seorang pun yang bisa diminta pendapat, tanpa ragu lagi ia lepaskan ikatan perahu itu lalu ia seret ke laut. Ia menyeberang ke pulau karang dengan menjadikan kedua tangannya sebagai dayung.

Dari pulau karang, ia kembali memandang ke segala arah. Hamparan laut seperti tak memiliki batas; seakan laut itu terus meluas. Di seberang sana cuma ada kekosongan. Ia bayangkan ada seorang anak seperti dirinya juga sedang memandang ke seberang, yakni tempat ia berada kini, dan bertanya-tanya adakah seorang anak di seberang sana? Disebabkan oleh pikiran itu, ia tangkupkan kedua telapak tangannya sampai membentuk lingkaran lalu ia dekatkan ke mulutnya. “Ooooiiiiii!” ia berseru berkali-kali. Suaranya nyaris tak terdengar, dihantam suara ombak yang membentur-bentur karang, seolah suaranya segera lenyap sesaat setelah dilontarkan. 

Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara siulan. 

Ia kembali berseru dan siulan itu kembali membalas. Ia yakin itu memang suara siulan, bukan suara angin atau desis air. Ketika memandang ke bawah, ia melihat ada sesuatu bergerak di air dan mendekat ke arahnya. Ia merasa gentar. Itu pasti seekor hiu. Ia ingin berteriak memanggil orangtuanya, tapi ia tahu jarak pantai dari rumah cukup jauh. Tidak mungkin suaranya akan terdengar. 

Lalu sebuah kepala muncul dari dalam air. Kepala seseorang.


II

Kalau kami bisa selamat dari semua ini, kami bersumpah akan menikah dan hidup biasa saja. Aku akan bekerja sebagai tukang kayu, dan ia akan bekerja sebagai perancang busana. 

Kami benar-benar sudah kehabisan tenaga ketika sampai di pulau itu. Setelah berputar-putar tak tentu tujuan, akhirnya kami menemukannya. Ia berdiri di depan sebuah gua. Rambutnya panjang sampai menyentuh tanah. Wajahnya tak bisa digambarkan begitu saja; berubah-ubah seakan tak ingin dikenali. Ia memang punya tangan, tapi ia tak punya kaki. Ia berdiri dengan tubuhnya, seperti seekor ular.

Tiga bulan sebelumnya, aku menyaksikan apa yang telah dinujumkan dalam kitab suci. Waktu itu malam tahun baru. Tepat pukul 00:00. Pijar-pijar kembang api meletup-letup di angkasa bersama sorak-sorai dan bunyi terompet. Aku sendirian di kamar, memandang keluar lewat jendela. Saat itu aku melihat di langit barat sebuah benda terang meluncur turun dari langit. Tidak bisa kupastikan benda apa itu.

Pagi harinya aku menonton siaran berita di televisi, memutar radio, dan membaca koran. Mungkin ada berita tentang benda yang jatuh dari langit. Mungkin ada kecelakaan pesawat. 

Karena peristiwa itu, aku kemudian bertemu dengannya. Ia tinggal di gedung yang sama denganku, satu lantai di atas lantai tempat aku menyewa kamar. Ia juga melihat benda yang meluncur turun dari langit itu.

“Tidak ada berita apa-apa,” ucapnya setelah tahu bahwa kami sama-sama melihat benda itu. 

“Menurutmu itu apa?” tanyaku. Ia tak menjawab. Kedai kopi di lantai dasar gedung sepi pengunjung. Cuma kami berdua yang duduk di sana. Hari masih pagi, dan itu adalah hari pertama tahun baru.

“Dabbah…” jawabnya nyaris berbisik. Aku sama sekali tidak terkejut, seakan aku sudah mengetahui jawaban itu akan keluar dari mulutnya. Setelah itu aku tahu kami juga punya banyak kesamaan lain. 

Sebagaimana orangtuanya, orangtuaku juga sudah mati. Kami juga sama-sama tak punya saudara. Ketika aku bertanya bagaimana kedua orangtuanya mati, ia menjawab: kecelakaan pesawat. Hal yang sama juga dialami orangtuaku. Pesawat yang sama. Waktu yang sama. Orangtua kami juga meninggalkan warisan sehingga kami merasa tak perlu bekerja. Uang warisan cukup untuk kami menjalani hidup. 

Suatu malam aku bermimpi didatangi kedua orangtuaku. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak bisa kupahami, tapi di tangan mereka masing-masing ada bayi merah yang menggeliat-geliat. “Mereka satu barisan,” katanya setelah aku menceritakan soal mimpi itu. Saat itu kami sama-sama telanjang di kamarku. Dalam ketelanjangan, kulihat ia seperti manusia pertama yang dari tubuhnya masih berpendar cahaya surga. Cahaya yang dibentuk dari sumpah setia. Sumpah yang membuat alam semesta terus memperluas dirinya, membentang tanpa batas. Dan kami merasakan semesta itu ada dalam diri kami. Tanpa perlu dikatakan, aku tahu ia juga mengalami mimpi yang sama.

Kami juga sama-sama percaya bahwa tak lama lagi peristiwa besar akan terjadi di dunia. Kami meyakini, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab, Dabbah akan dilepaskan dari belenggu, kemudian dilontarkan kembali ke bumi dan saat itu dunia akan memulai kehancurannya. Terhadap kemungkinan itu, kami pun menginginkan hal yang sama: kami ingin mengabdi kepadanya, kami ingin berada dalam barisannya. Maka kami pun mulai mencari di mana kira-kira Dabbah berada. Selama tiga bulan pencarian kami—melalui penelusuran berbagai data serta dugaan-dugaan tanpa alasan—kami pun sampai di pulau itu.

Dan di hadapan binatang itu, semua keinginan kami porak-poranda. Kami seperti calon serdadu yang gembira membayangkan keseruan perang lantas terkencing-kencing ketika telah sungguh-sungguh tiba di medan pertempuran. 


III

Sekarang ia tak lagi menghindar dari ombak. Kakinya basah sampai ke lutut. Ia merasakan air garam yang kasar berusaha menyeret kakinya masuk ke air. “Ooooiiii!” Ia kembali berseru. Lantas suara siulan mulai terdengar. 

Tiga hari lalu, ia mengira yang muncul dari laut itu adalah seseorang. Namun, saat itu, setelah sebentar membeku karena tak percaya apa yang dilihatnya, ia tahu bahwa itu bukan sepenuhnya seseorang. Ia tampak seperti seseorang, tapi ia juga tampak seperti binatang. Ia punya tangan, kepala, dan rambut. Akan tetapi, ia tak punya kaki. Ia merangkak dengan tangan, menyeret tubuh bagian bawahnya ke atas karang, lalu tegak bertumpu di tubuhnya yang memanjang bagai seekor ular.

Sekarang, binatang yang muncul dari laut itu terkikik, suaranya seperti keluar dari moncong seekor reptil. Anak perempuan itu ingat, suatu kali ia bermimpi berada di sebuah pulau yang mirip pulau karang itu. Suasana gelap, tapi bukan gelap seperti malam, melainkan gelap yang lain; seakan saat itu siang hari tapi matahari telah ditumbuk dan dihancurkan. Di hadapannya, berdiri sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, telanjang. Ia merasa begitu tinggi dan sepasang manusia itu gemetar di bawahnya. Ia mengajukan permintaan kepada sepasang manusia itu. Ah, bukan. Bukan permintaan, melainkan perintah. Ia perintahkan sepasang manusia itu untuk menyerahkan sekerat daging yang melekat di diri mereka. Sekerat daging yang menyebabkan asal mula segala sesuatu. Dengan suara bergetar karena gentar, sepasang manusia itu bersumpah akan melaksanakan perintahnya, tapi bukan saat itu. Nanti, saat mereka sudah memperoleh keturunan. Ketika sang keturunan sudah cukup besar untuk bisa berkata-kata; untuk bisa bersumpah setia. 

Mengingat mimpi itu, ia mulai merasa tubuhnya menyala-nyala. Binatang di hadapannya telah meniupkan api ke dalam dirinya. Api yang tidak membakar; api yang dingin dan mengikat, seperti sumpah. Lantas, sekonyong-konyong langit jadi merah, seolah matahari telah benar-benar ditumbuk dan sinarnya berhamburan bagai serpih yang pelan-pelan padam. 

Lalu ia menjulurkan kedua tangannya ke arah binatang itu.   

Di sana, di telapak tangannya, dua potong lidah menggeliat-geliat seperti anak-anak ular yang baru ditetaskan.**  


Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kumpulan cerpennya, Bedil Penebusan, merupakan salah satu buku prosa rekomendasi majalah Tempo (2021) serta nomine Penghargaan Sastra Kemendikbudristek (2023).

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 April 2024

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan