Putu Setia
Minuman keras dengan akronim miras sesungguhnya istilah salah kaprah. Apa bahayanya es lilin atau es batu dan sejenisnya yang padat keras itu? Yang berbahaya adalah minuman mengandung alkohol. Jadi, akronimnya bisa mikol. Cuma, masalahnya, tidak semua mikol berbahaya, bergantung pada seberapa besar kadar alkoholnya dan seberapa banyak kita meminumnya.
Minum berlebihan bisa membuat mabuk. Dampak lanjutannya, orang mabuk suka berbuat onar, bahkan meninggal. Sudah banyak korbannya, dan ini yang selalu disampaikan para pemuka agama. Miras pun harus dilarang. Bahkan dinyatakan haram.
Di negara maju, miras tidak dilarang. Selain karena punya musim dingin sehingga tubuh perlu dihangatkan dengan miras, mereka bisa mengendalikan diri seberapa banyak mereka harus meneguk miras. Dalam budaya Nusantara, pengendalian diri minum miras ini sudah dikenal lama. Leluhur kita di masa lalu tak suka main larang, tapi mengingatkan bagaimana etika meminumnya. Apalagi miras dengan berbagai nama di setiap daerah punya kekhasan tertentu dan selalu dikaitkan dengan adat dan budaya.
Kepercayaan Nusantara tak melarang miras. Yang dilarang adalah mabuknya. Dengan begitu, dibuatlah aturan bagaimana agar masyarakat tidak mabuk miras. Penjualannya dibatasi, produksinya dikendalikan, dan etika meminumnya disebarkan.
Cobalah ingat “pitutur orang Jawa” tentang bagaimana etika orang jika disuguhi minuman keras. Minum satu cangkir kecil (disebut sloki) dinamai Eka Padma Sari. Artinya, kenikmatan yang luar biasa seperti kumbang mengisap madu. Minum dua sloki disebut Dwi Amertani. Artinya, betul-betul menyehatkan.
Minum sloki yang ketiga tidak dianjurkan karena berbahaya. Itu disebut Tri Kawula Busana. Sudah mulai hilang kesadaran yang minum. Minum sloki yang keempat disebut Catur Wanara Rukem. Ini sudah kayak monyet yang berebut buah, saling sikut dan saling ejek. Mabuknya sudah berat. Ada sepuluh tingkatan primbon minum itu, yang kelima sampai sepuluh tak usah lagi disebut bahayanya. “Pitutur orang Jawa” ini sampai sekarang diingat orang Bali, cuma namanya sedikit diganti. Misalnya Tri Kawula Busana menjadi Tri Raja Busana. Lalu dirumuskan lagi dalam ajaran yang disebut Sapta Timira (tujuh jenis kemabukan), yang harus dihindari. Salah satunya disebut sura, mabuk karena minum. Jadi, tuak, arak, dan brem (nama miras versi Bali) tak pernah dilarang. Mabuklah yang dilarang.
Meski pada era modern metuakan (minum tuak) lebih banyak dikenal di Bali Timur, di bekas Kerajaan Karangasem, pemda Provinsi Bali aktif mengkampanyekan miras lokal ini. Tujuannya agar mutunya bisa bersaing dengan miras impor, minuman konsumsi wisatawan mancanegara. Kalau miras impor bisa digantikan oleh arak yang sudah modern, petani enau pun sejahtera. Karena itu, butuh investasi besar.
Ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, sebagian orang Bali gembira. Pada lampiran butir 31, 32, dan 33 dimuat tentang pembukaan investasi miras untuk empat provinsi: Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua. Sayangnya, kegembiraan itu tak sampai seumur jagung. Lampiran perpres itu dicabut atas desakan tokoh-tokoh agama.
Tata kelola miras pun kembali seperti tahun-tahun lalu. Izin produksi tetap berlaku, perdagangan masih dikuasai miras impor, dan pemerintah menikmati cukai miras yang mencapai triliunan rupiah. Miras, seperti halnya rokok, tetap menjadi komoditas yang kontroversial. Dibenci tapi dinikmati cukainya. Mudah-mudahan ujaran Presiden Jokowi yang mengajak kita “membenci impor” juga termasuk membenci miras impor. Cintai miras lokal—bagi peminum yang terkendali.