Putu Setia
@mpujayaprema
Hari ini, kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak dimulai. Ada 9 daerah yang memilih gubernur, 224 yang memilih bupati, dan 37 yang memilih wali kota. Tentu beserta wakil-wakilnya. Bayangkan, betapa banyaknya orang yang berkampanye.
Namun lebih baik kita lupakan kampanye pilkada di masa pandemi Covid-19 ini. Ada kampanye yang tak kalah penting. Kampanye menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Kampanye remeh-temeh, yakni urusan memakai masker scuba.
Ada seseorang yang berkampanye lewat video pendek tentang masker scuba yang masih dijajakan di pinggir jalan. Bahwa pemerintah mulai melarang pemakaian masker scuba dengan alasan tak efektif menangkal virus corona, itu karena pemerintah panik. Juga sering kurang akal melawan Covid-19. Rakyat selalu disalahkan, padahal para menteri yang menjadi bagian pemerintah sering juga salah. Rakyat sudah patuh, disuruh memakai masker, ya, beli masker di pinggir jalan.
Masker scuba itu tak perlu dibuang hanya karena disebut kurang efektif oleh pemerintah. Asalkan kita memakainya dengan benar. Ambil satu masker dan pasang dengan baik. Ambil selembar tisu wajah, tempelkan di masker itu. Ambil lagi satu masker untuk menutup tisu itu. Nah, sudah teruji lebih baik dibanding masker kain dua lapis. Repot? Ya jelas, tapi kan sudah telanjur hanya punya jenis masker itu.
Inilah kampanye yang lebih bermutu ketimbang kampanye pilkada. Urusan pilkada, bagi orang desa yang kebanyakan pemakai masker scuba, sudah final. Tak ada pilkada-pilkadaan di masa pandemi yang masih mengganas. Mereka sama sekali tak menentang keputusan pemerintah. Justru mereka konsisten dengan ajakan Presiden Jokowi: “Kesehatan yang utama.”
Cara berpikir mereka pun polos saja. Jika Prof Azyumardi Azra menyatakan golput sebagai bentuk solidaritas kepada para dokter yang menjadi korban Covid-19, orang desa itu lugu saja menolak pilkada. Bagi mereka, pilkada, seperti halnya pemilihan umum, adalah pesta demokrasi. Yang namanya pesta itu penuh keceriaan. Petugas di tempat pemungutan suara berpakaian aneh-aneh, ada yang berdandan ala pocong, wayang orang, busana adat, dan sebagainya. Orang pada girang. Lalu pemilih bawa makanan dan dibagi-bagi. Pas penghitungan suara, ditandai canda saling meledek. Dangdut diputar sambil berjoget.
Pilkada di masa pandemi ini sudah tak mungkin seperti pesta. Kalaupun mereka memaksakan diri hadir untuk nyoblos, itu disertai ketakutan. Tak ada yang berani salaman. Mau mencoblos harus membawa paku sendiri, takut jika paku panitia sudah ketularan virus. Ragu mencelupkan jari ke tinta, sudah berapa jari tercelup di sana. Mau lihat penghitungan suara, melanggar keramaian.
Lagi pula, orang-orang desa banyak yang masih percaya simbol. Ketua Komisi Pemilihan Umum terpapar Covid-19. Ada banyak calon yang juga terpapar, bahkan sampai meninggal. Ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, meminta pilkada dibatalkan. Belum ada respons, Menteri Agama terpapar corona. Semua simbol itu menancap di benak orang desa, yang menandakan pilkada sudah harus ditunda. Bahwa simbol ini berbau takhayul, itu bisa diperdebatkan.
Kalau pilkada dipaksakan, sementara pandemi tak juga melandai turun, berapa banyak yang akan mencoblos? Hasil pilkada akan jauh dari legitimasi yang diharapkan, meskipun bisa saja itu dianggap sah. Aneh memang jika pilkada seolah-olah menggiring masyarakat untuk berisiko tertular Covid-19. Karena itu, kampanye terbaik dalam beberapa bulan ini, selain menggunakan masker, adalah ikuti ajakan Jokowi: “Kesehatan yang utama.”