maaf email atau password anda salah


Menjadi Korban KDRT karena Orientasi Seksual

Paman melakukan KDRT setelah mengetahui saya adalah lesbian. 

arsip tempo : 172814404025.

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Shutterstock. tempo : 172814404025.

Halo kakak di Klinik Hukum bagi Perempuan. Perkenalkan nama saya, Meytha. Saya tinggal di Jakarta, menumpang di rumah bibi (adik almarhum bapak saya). Saya adalah perempuan yang memiliki orientasi seks kepada sesama perempuan (lesbian). Orientasi seks saya inilah yang kemudian membuat saya menjadi korban kekerasan secara fisik.

Sekitar sepuluh hari lalu, paman (suami dari bibi) baru mengetahui bahwa saya seorang lesbian. Dia marah kemudian melakukan kekerasan fisik. Saya menderita luka parah dan harus menjalani perawatan selama empat hari di rumah sakit. Biaya perawatan saya tanggung sendiri karena bibi tidak punya uang.

Sekarang saya sudah kembali ke rumah bibi dan bertemu dengan paman. Namun dia seperti tidak menyesali perbuatannya terhadap saya. Saya ingin keadilan. Saya sudah bicara kepada ibu di kampung untuk memperkarakan paman secara hukum. Namun, kata pacar saya, sudah terlambat untuk melapor ke polisi karena saya tidak memiliki bukti berupa visum. Apalagi luka saya juga sudah sembuh. 

Selain itu, menurut pacar saya, orientasi seksual saya akan terungkap dalam pemeriksaan di kepolisian. Dengan demikian, saya justru bisa saja dipersalahkan oleh polisi karena saya seorang lesbian. Saya jadi bingung. Upaya hukum apa yang bisa dilakukan agar saya mendapat keadilan? Jika tidak memungkinkan untuk melapor ke polisi karena masalah visum dan orientasi seksual, minimal paman bisa dihukum ganti rugi uang atas biaya rumah sakit yang saya keluarkan. Tapi bagaimana caranya?

Mohon bantuan dan saran. Terima kasih.

Meytha, 19 tahun
Jakarta 
 

------------

Halo Meytha, terima kasih sudah menghubungi kami. Perkenalkan, saya Sri Agustini, salah satu pengasuh Klinik Hukum bagi Perempuan. Saya akan menjawab pertanyaan tentang masalah yang kamu hadapi. Semoga jawaban saya dapat membantu kamu dalam mencari keadilan.

Pertama, perlu saya jelaskan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh paman kepada kamu merupakan lingkup dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Adapun ruang lingkup KDRT meliputi pihak-pihak di bawah ini:

1. Suami, istri, dan anak.
2. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga, baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan, maupun yang menetap dalam rumah tangga.
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam rumah tangga tersebut.

Sifat KDRT juga sangat khas, yaitu terjadi dalam hubungan relasi personal, di mana pelaku merupakan orang yang dikenal baik dan dekat dengan korban. Misalnya, kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istri, ayah kepada anak, paman kepada keponakan, atau kakek kepada cucu.

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Shutterstock

Adapun definisi KDRT, yang disebutkan dalam Pasal 1 UU PKDRT, adalah, “... perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Dalam hal ini, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh paman kepada kamu telah memenuhi definisi KDRT, yaitu perbuatan berbasis gender serta mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan bahkan ekonomi karena biaya rumah sakit harus kamu tanggung seorang diri.

Selanjutnya, mengenai upaya hukum, apakah kamu bisa melaporkan paman ke kepolisian tanpa visum et repertum karena luka fisik telah hilang?

Dalam kasus KDRT, visum et repertum memang merupakan alat bukti penting untuk membuktikan bahwa kamu mengalami kekerasan fisik. Namun, jika alat bukti itu tidak ada dan luka fisik atau tanda kekerasan telah hilang, kamu tetap dapat melaporkan pelaku kepada polisi. Keterangan kamu sendiri sebagai saksi/korban bisa menjadi alat bukti yang sah. Kamu juga bisa memperkuat dengan alat bukti lain, misalnya keterangan saksi yang melihat kejadian, keterangan terlapor, keterangan ahli, surat medis dari rumah sakit, foto-foto bekas luka, atau petunjuk lainnya.

Dasar hukumnya adalah Pasal 55 UU PKDRT yang menyatakan bahwa “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.”

Kedua, menyangkut motif KDRT karena kamu lesbian, kamu tidak akan dipersalahkan oleh polisi/penyidik. Jadi, walaupun motif digali saat pemeriksaan, motif tidaklah penting. Sebab, pokok perkara atau materiilnya adalah perbuatan tersangka kepada kamu, yaitu memenuhi unsur sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum.

Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Shutterstock

Perlu kamu ketahui juga, dalam pemeriksaan saksi/korban, saksi lainnya, ataupun tersangka di kepolisian, profesionalitas polisi harus diutamakan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian), yang pada dasarnya mengamanatkan dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 7/2006) dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 8/2009).

Dalam Perkap 7/2006, khususnya Pasal 7, telah dijelaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasi, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:

a. Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan.
b. Menyalahi dan/atau menyimpang dari prosedur tugas.
c. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat.
d. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan.
e. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat.
f. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan.
g. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak di bawah umur.
h. Merendahkan harkat dan martabat manusia.

Dengan demikian, kamu tidak perlu takut untuk melapor kepada polisi. Jika menemukan polisi yang bersikap diskriminatif—atas dasar orientasi seksual—saat kamu melaporkan KDRT, laporkan perbuatan tercela polisi tersebut ke Sentra Pelayanan Propam di gedung utama Mabes Polri.

Ketiga, mengenai keinginan untuk mendapatkan ganti rugi materiil atas biaya pengobatan, bisa dilakukan melalui gugatan perdata perbuatan melawan hukum (gugatan PMH) ke pengadilan negeri di wilayah tergugat (wilayah tempat tinggal paman). Dalam hal ini, kamu menggugat paman atas perbuatan melawan hukum.

Sifat dari perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata adalah, “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Adapun unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan pada Pasal 1365 KUHPerdata adalah:

1. Harus ada perbuatan
2. Perbuatan itu harus melawan hukum
3. Ada kerugian
4. Ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum dan kerugian
5. Ada kesalahan

Jika dianalisis dari perkara yang kamu hadapi, seluruh unsur perbuatan melawan hukum terpenuhi, yakni:

1. Ada perbuatan KDRT yang dilakukan paman kepada kamu.
2. Perbuatan KDRT paman kepada kamu merupakan perbuatan yang dilarang UU PKDRT dan sifatnya melawan hukum.
3. Ada kerugian materiil dan imateriil yang kamu terima, yakni secara materiil kamu harus membiayai biaya pengobatan dan secara imateriil kamu mengalami luka fisik dan psikis.
4. Dari poin 2 dan 3 terlihat jelas hubungan sebab-akibat antara perbuatan paman dan kerugian yang kamu alami.
5. Kesalahan paman kamu sangat jelas dan dapat dibuktikan, yaitu telah melakukan tindakan pidana berupa KDRT. Dalam hal ini, surat laporan polisi dapat dijadikan bukti kesalahan.

Keempat, karena usia kamu masih 19 tahun dan posisi kamu jauh dari ibu, sebaiknya kamu meminta pendampingan hukum dari lembaga bantuan hukum (LBH)—yang biasa mendampingi perempuan korban kekerasan—untuk menyelesaikan persoalan ini. Misalnya, LBH APIK Jakarta atau Advokat Gender Kolektif.

Demikian penjelasan saya, semoga masalah yang kamu hadapi dapat segera diselesaikan, dan kamu didampingi oleh advokat/pengacara yang memiliki perspektif gender serta sexual orientation, gender identity, expression, and sex characteristic (SOGIE-SC). Pendampingan ini penting untuk memastikan dan menjamin kamu mendapatkan keadilan sebagaimana yang diharapkan.

Salam
Sri Agustini
Advokat LBH APIK Jakarta

Konten Eksklusif Lainnya

  • 5 Oktober 2024

  • 4 Oktober 2024

  • 3 Oktober 2024

  • 2 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan