maaf email atau password anda salah


APROBI

Pajak Karbon Kendalikan Pencamaran Lingkungan

Kalangan industri menyatakan pengenaan carbon tax dikhawatirkan akan menurunkan daya saing.

arsip tempo : 171424295339.

Diskusi online Carbon Tax, Siapkah Kita?, Selasa, 29 Juni 2021.. tempo : 171424295339.

Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon untuk mengendalikan pencemaran lingkungan. Tarif yang diusulkan sebesar Rp 75 perkilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Rencana ini tertuang dalam perubahan kelima Undang-undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara Kementerian Keuangan Oza Olavia, mengatakan niatan penerapan pajak karbon dikarenakan kondisi pemanasan global yang sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut dia, Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap dampak buruk perubahan iklim tersebut. “Jadi, perlu ada upaya-upaya dari pemerintah. Maka pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca,” kata ujarnya dalam webinar Dialog Industri bertajuk “Carbon Tax, Siapkah Kita?” yang diselenggarakan Media Tempo pada Selasa, 29 Juni 2021 dan bisa disaksikan di kanal Youtube Tempo.co, Facebook Live Tempo Media dan Saluran Digital TV Tempo.

Turut hadir dalam diskusi Anggota DPR RI Komisi XI Andreas Eddy Susetyo, Technical Advisor Asosiasi Semen Indonesia Lusy Widowati, Ketua Komite Perpajakan APINDO Siddhi Widyaprathama dan dimoderatori Direktur Tempo.co Tommy Aryanto.

Diketahui, ada lima sektor yang menjadi fokus aksi mitigasi (penurunan emisi gas rumah kaca) dalam Nationally Determined Contributions atau NDC. Yakni energi, limbah, industrial processes and production use (IPPU), pertanian dan kehutanan.

Oza Olavia mengatakan, selain pajak karbon dalam upaya mengurangi efek gas rumah kaca tersebut, pemerintah melakukan beberapa upaya lain, seperti green building dan peta jalan keuangan berkelanjutan. Menurut dia , pajak karbon adalah alternatif pembiayaan bagi pemerintah meski bukan tujuan satu-satunya.

Oza menjelaskan belanja pemerintah untuk menangani efek gas rumah kaca cukup besar di lima tahun terakhir, yakni sebesar Rp 89,6 triliun. “Tapi ini juga baru 34 persen pendanaan aspek mitigasnya. Jadi yang dibutuhkan Rp 266 triliun pertahunnya. Jadi dicari pendanaan yang lain untuk mencapai target pengendalian perubahan iklim,” kata dia.

Perihal besaran pajaknya sendiri, Oza menuturkan akan terlebih dulu berkonsultasi dengan lintas kementerian dan pihak-pihak terkait. Meskipun role model penerapan pajak karbon sudah terdapat di beberapa negar lain. “Kalau lihat benchmark-nya negara lain mengenai ini, tentu ditetapkan tidak tinggi dulu. Jadi secara gradual seiring dengan evaluasi. Jadi, diperhitungkan awal kami masih melakukan kajian. Kami tidak melihat jumlahnya tapi melihat potensi keseluruhan ini,” ujarnya.

Anggota DPR RI Komisi XI Andreas Eddy Susetyo, mengaku DPR sudah resmi menerima usulan perubahan Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan kelima dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum saat rapat di komisi XI pada senin, 28 Juni 2021.

“Tahapannya saat ini sudah membentuk panitia kerja dan mulai minggu depan, kami akan mengundang semua pihak yang terlibat dalam revisi undang-undang termasuk pajak karbon. Seperti semua asosiasi baik Gaikindo, Kadin, Apindo, Asoiasi Semen Indonesia,” ujar Andreas.

DPR, kata Andreas, mendukung penuh kebijakan karbon ini asal benar-benar bersemangat menjaga lingkungan hidup. Sehingga bisa mengendalikan emisi gas rumah kaca, mengubah perilaku ekonomi dan meningkatkan penerimaan negara. “Tapi jangan sampai pemerintah hanya berniat memperoleh pendapatan dengan dalih penyelamatan lingkungan,” kata dia.

DPR meminta pemerintah membuat desain kebijakan yang tentunya di satu sisi bisa mencapai tujuan tersebut, tetapi tidak menimbulkan distorsi ekonomi.

Di sisi lain, pelaku industri semen sendiri khawatir mengenai rencana kebijakan pajak karbon tersebut. Technical Advisor Asosiasi Semen Indonesia Lusy Widowati menyampaikan penerapan pajak karbon ini di luar kesanggupan industi semen.

“Kami tahu industri semen kelebihan pasokan 55 juta ton, utilitasi pabrik hanya berkisar rata-rata 62 persen dan pabrik baru bahkan hanya 50 persen. Kondisi ini diperberat dengan pandemi. Sehingga pertumbuhan semen pada 2020 menunjukkan minus 10,4 persen,” kata Lusy.

Pajak karbon ini, ujar Lusy, tentunya akan menurunkan daya saing kami di pasar regional dan global. “Di ASEAN kami punya competitor semen besar, Thailand, Malaysia, Vietnam. Mereka tidak menerapkan pajak karbon,” ujarnya.

Lusy mengatakan, jika pajak karbon senilai Rp 75 perkilogram, maka, beban pajak yang harus dibayarkan industri semen sekitar US$ 3,5 dolar atau Rp 50 ribu per ton. Harga ini hampir 10 persen dari harga jual klinter ekspor industri semen.

“Bayangkan kami punya ekspor 12 juta ton, maka tambahan biaya pajak saja hampir 45 juta dolar, tidak termasuk dari kenaikan biaya produksi dari bahan bakar fosil sebagai bahan bakar utama pabrik semen,” kata Lusy.

Dia mengatakan di dalam negeri pajak yang dibayarkan dikhawatirkan akan menjadi beban masyarakat karena semen akan naik. “Sehingga potensi masyarakat semakin turun untuk membangun rumah dan proyek-proyek infrastruktur akan meningkat,” ujar Lusy.

Pelaku industri semen, menurut Lusy, lebih sepakat pada kebijakan perdagangan karbon dibanding pajak karbon. “Kami sepakat dengan pemerintah bahwa tidak hanya pajak karbon yang bisa dijadikan isntrumen sebagai pengurangan emisi gas rumah kaca. Perdagangan karbon lebih sesuai untuk diterapkan untuk industri dan mendorong pengurangan emisi,” tuturnya.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan