Bahaya Sharenting bagi Anak
Sharenting merupakan praktik orang tua yang mempublikasikan konten tentang anak mereka di media sosial.
Avit Hidayat
Senin, 26 Februari 2024
MENGABADIKAN momen ketika anak pertama kali berjalan atau berulang tahun adalah hal yang lumrah dilakukan para orang tua. Keberadaan media sosial, seperti Instagram, memudahkan orang tua membagikan momen-momen tersebut melalui akun mereka. Bahkan banyak anak yang sudah memiliki akunnya sendiri meski Instagram memiliki kebijakan usia minimal pengguna, yaitu 13 tahun.
Penempatan informasi berupa foto-foto anak dan kegiatan mereka bersama teman dan keluarga di media sosial oleh orang tua disebut dengan istilah sharenting, yang umumnya dilakukan oleh orang tua tanpa seizin anak dan lebih sering dilakukan oleh ibu daripada ayah.
Aktivitas sharenting ini rentan risiko, di antaranya penculikan, pengambilan foto tanpa izin, serta berpotensi melanggar hak privasi anak. Hal itu juga bisa berdampak pada risiko keamanan lebih berat.
Untuk menghindari risiko tersebut, orang tua perlu memiliki literasi digital yang baik. Literasi digital merujuk pada kemampuan untuk mengakses, mengorganisasi, memahami, menyatukan, mengkomunikasikan, mengevaluasi, serta menciptakan informasi dengan aman dan layak melalui teknologi digital.
Namun benarkah literasi digital yang baik dapat mengurangi risiko sharenting?
Ilustrasi sharenting atau membagikan momen kehidupan anak ke dalam jejaring sosial. Shutterstock
Sharenting adalah Fenomena Kota Besar
Pada 2022 kami menyurvei 385 ibu di Jawa Timur yang memiliki anak usia maksimal 12 tahun. Kami memilih Jawa Timur sebagai lokasi penelitian karena merupakan provinsi dengan skor keamanan digital paling rendah, walaupun Pulau Jawa memiliki infrastruktur paling baik di Indonesia.
Responden kami paling banyak berusia 20-an, dengan usia anak yang beragam dari 1-12 tahun. Domisili para ibu ini tersebar di 31 kota di Jawa Timur. Tapi mayoritas tinggal di kota besar, yaitu Surabaya, Malang, dan Kediri, seperti terlihat pada grafik di bawah. Hal ini menunjukkan bahwa sharenting menjadi praktik umum di kalangan ibu-ibu urban.
Pendidikan para ibu yang menjadi responden kami mayoritas lulusan sarjana sebanyak 63,8 persen dan lulusan SMA atau SMK 29,3 persen. Sisanya berpendidikan magister 5,9 persen, doktor 0,5 persen, dan sekolah dasar 0,25 persen. Walaupun tingkat pendidikan dan usia responden beragam, aktivitas sharenting yang dilakukan relatif tidak berbeda.
Ilustrasi sharenting atau membagikan momen kehidupan anak ke dalam jejaring sosial. Shutterstock
Sadar Risiko tapi Tetap Melakukannya
Hasil survei kami menunjukkan bahwa para ibu di Jawa Timur memiliki persepsi risiko yang tinggi tentang privasi anak di Instagram. Artinya, mereka menyadari adanya kemungkinan pelanggaran privasi yang mengintai anak ataupun perangkat mereka, seperti pencurian data dan foto, perundungan, ataupun hacking.
Namun masih ada tiga indikator dari kompetensi keamanan—kemampuan penggunaan fitur-fitur keamanan di perangkat digital—yang diabaikan para ibu. Indikator ini melingkupi: (1) Tidak keluar dari akun Instagram sehingga masih memungkinkan risiko hacking dan pencurian akun; (2) Menunjukkan foto anak, yang berarti mengabaikan risiko pencurian foto anak dan pengenalan identitas anak di bawah umur oleh orang asing; (3) Masih mengaktifkan kolom komentar pada unggahan terkait anak yang membuka peluang perundungan dan berisiko memberi dampak negatif pada mental ibu dan anak.
Selain itu masih ditemui normalisasi pembuatan konten yang abai terhadap privasi anak. Misalnya, secara bebas menyebutkan nama anak dan nama sekolahnya. Atau membagikan informasi tentang anak tanpa memandang usia anak mereka. Responden kami tetap membagikan aktivitas anak mereka yang sudah berusia praremaja atau 12 tahun tanpa bertanya lebih dulu sehingga privasi anak menjadi privasi kolektif.
Privasi kolektif ini berarti bahwa privasi anak juga akan dimiliki oleh audiens dari akun Instagram ibu, baik itu audiens yang melihat story, reels, maupun feeds-nya. Hal ini menunjukkan bahwa ibu secara sepihak memutuskan bahwa mereka adalah co-owner dari privasi anak, persis seperti yang dicirikan sebagai sharenting dalam kehidupan keseharian keluarga.
Riset kami juga menemukan 42,7 persen responden ternyata mengizinkan anaknya memiliki akun Instagram sendiri walaupun tidak sesuai dengan kebijakan Instagram yang mengharuskan berusia minimal 13 tahun.
Rekomendasi
Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa hubungan antara literasi digital dan aktivitas sharenting sangat lemah. Secara spesifik, survei kami menunjukkan bahwa faktor kompetensi keamanan hanya berkorelasi sebesar 14,4 persen dengan persepsi risiko ibu terhadap privasi anak-anak.
Namun temuan ini tetap membuktikan adanya hubungan di antara keduanya. Maka, rendahnya angka korelasi tersebut justru bisa dibaca sebagai pengingat tingginya kekhawatiran orang tua tentang isu privasi tidak serta-merta membuat kegiatan sharenting di Instagram menjadi lebih jarang terjadi.
Ke depan, manajemen risiko sharenting memerlukan riset lanjutan untuk memetakan solusi serta adanya gerakan sosial untuk semakin meningkatkan kesadaran para ibu. Bukan hanya atas risiko sharenting, tapi juga risiko pengabaian hak privasi anak.
Artikel ini ditulis oleh Birgitta Bestari Puspita, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta; dan Paulus Angre Edvra, asisten peneliti Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media). Terbit pertama kali di The Conversation.