Pembekuan BEM FISIP Universitas Airlangga: Penjelasan Dekan Bagong Suyanto
Penjelasan Dekan FISIP Unair Bagong Suyanto soal alasan pembekuan pengurus BEM FISIP Unair.
Bagong Suyanto
Rabu, 30 Oktober 2024
ARTIKEL karya mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), Alvin Halashon Sianipar berjudul “Kekeliruan Pembekuan BEM FISIP Unair” menarik didiskusikan lebih lanjut. Dalam artikel yang terbit di Koran Tempo edisi 29 Oktober 2024 itu, Alvin menggugat sikap Dekanat FISIP Unair yang dianggap otoriter dan tidak mampu memilah hal yang penting dan yang bukan.
Alvin juga menganggap keputusan saya selaku Dekan FISIP Unair membekukan kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP memperlihatkan tiadanya dukungan kampus terhadap mahasiswa yang sedang belajar berpikir kritis dan bebas seperti orang dewasa. Hal ini, dalam artikel tersebut, merupakan implikasi dari pola pembungkaman struktural yang terjadi di lingkungan kampus.
Artikel itu juga menekankan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi civitas academica semestinya dijamin penuh kampus. Sebab, suara mahasiswa adalah representasi sikap kritis untuk terus mengingatkan arti penting berdemokrasi dan memanfaatkan kekuasaan dengan benar.
Saya sepenuhnya setuju atas apa yang dikatakan Alvin. Sudah selayaknya kebebasan berpendapat dijamin dan disediakan ruang yang seluas-luasnya, termasuk di lingkungan kampus. Pembekuan kepengurusan (sebagian) BEM FISIP Unair terpaksa saya lakukan karena sejumlah alasan.
Pertama, saya menganggap penggunaan kata "bajingan" dalam karangan bunga ucapan selamat kepada presiden dan wakil presiden terpilih merupakan diksi kasar. Buat saya, hal ini bukanlah bentuk satire, melainkan sarkasme.
Dalam diskusi antara Dekanat dan pengurus BEM FISIP terungkap alasan mereka menggunakan diksi "bajingan" karena elite politik yang mereka kritik juga melakukan hal yang sama. Penggunaan diksi yang kasar, dalam pandangan pengurus BEM, adalah kulminasi dan akumulasi atas ketidakpuasan mereka terhadap perilaku elite yang sudah kelewat batas.
Saya sebetulnya tidak melarang mahasiswa memilih gaya berpolitik tertentu, termasuk dalam memilih diksi mana yang mereka anggap tepat, asalkan hal itu tidak dilakukan atas nama BEM FISIP Unair. Alasan ini saya kemukakan karena, dalam komunitas mahasiswa yang plural seperti di FISIP Unair, klaim bahwa ekspresi tersebut merepresentasikan aspirasi semua mahasiswa FISIP tidak sepenuhnya benar. Spektrum gerakan mahasiswa FISIP Unair sangatlah luas, dan masing-masing memiliki hak yang sama untuk memilih gaya berpolitik, dari soft hingga yang hard.
Sah-sah saja seorang aktivis mahasiswa memilih diksi yang sangat keras atau memaki pihak yang diserang, sepanjang hal itu dilakukan secara pribadi. Lain soal ketika penggunaan diksi yang keras kemudian diklaim sebagai representasi sebuah lembaga atau organisasi seperti FISIP Unair.
Tidak sedikit dosen di FISIP Unair yang menulis dan memiliki pandangan bahwa seorang aktivis seyogianya tidak terjebak pada penggunaan hate speech (ujaran kebencian) dalam menyuarakan aspirasinya. Saya pribadi merasa tidak nyaman ketika menyatakan tidak setuju atas penggunaan hate speech, tapi saya membiarkan praktik ini dilakukan mahasiswa saya. Saya tidak ingin perilaku pengurus BEM FISIP ini kemudian dicontoh adik-adik kelasnya. Hal ini tidak boleh terulang pada mahasiswa angkatan di bawahnya.
Keputusan saya membekukan sebagian pengurus BEM bukan keputusan yang mudah. Saya mengambil keputusan ini bukan karena saya memiliki kekuasaan normatif untuk membekukan organisasi mahasiswa dan meminta mereka tidak berkegiatan serta menyalurkan aspirasi. Saya mengambil keputusan ini juga didasari pertimbangan Dekanat sebagai pengganti orang tua mahasiswa di kampus. Lewat keputusan ini saya berniat mencegah mahasiswa saya menanggung risiko yang lebih besar.
Sebagai seorang akademikus, saya tentu menghargai dan mengapresiasi keberanian mahasiswa yang tegak lurus memperjuangkan aspirasi politiknya. Keberanian mahasiswa untuk melontarkan kritik pada ketidakadilan dan penyelewengan kekuasaan tentu patut diapresiasi. Tapi, sebagai orang tua, saya tampaknya memilih langkah yang aman untuk menyuarakan aspirasi.
Saya khawatir jika ada pihak yang tidak puas dan melakukan langkah di luar koridor hukum. Bagaimana kondisi para mahasiswa jika ada pihak yang tidak terima kemudian melakukan aksi balas dendam? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kadang berkecamuk di pikiran sebagian orang. Di era setelah reformasi, yang di dalamnya hukum betul-betul menjadi panglima, tentu kekhawatiran orang-orang itu berlebihan. Tapi kegelisahan orang tua memang berbeda dengan cara berpikir anak muda yang serba idealis.
Sebagai dekan saya sudah mencabut surat pembekuan pengurus BEM FISIP Unair. Keputusan ini saya ambil berkat saran dari sejumlah kolega senior dan para dosen di lingkungan FISIP Unair. Bagi kami, pencabutan surat keputusan itu bukan masalah sama sekali.
Dialog dari hati ke hati antara jajaran Dekanat dan pengurus BEM FISIP Unair paling tidak telah membuka kesadaran dan empati masing-masing pihak terhadap apa yang terjadi di balik hiruk-pikuk pembekuan BEM FISIP Unair.
Memahami apa yang dipikirkan dan diperjuangkan pengurus BEM memang tidak mudah. Namun, seperti saran Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro, kebebasan akademik harus dijaga di lingkungan kampus. Dengan catatan kebebasan akademik itu harus dijalankan dengan akuntabilitas.
Apa yang dikatakan Satryo harus dipahami dengan cermat. Kebebasan akademik yang dimiliki para insan cendekia tetap harus diimbangi dengan pertanggungjawaban atas apa yang disampaikan. Inilah sebetulnya kunci sekaligus acuan bagi kita untuk memanfaatkan kebebasan akademik yang ada secara bertanggung jawab.