Ancaman Ujaran Kebencian dalam Iklan Politik

Platform digital milik Meta rentan menjadi sarana penyebaran ujaran kebencian melalui iklan politik. Berbahaya bagi demokrasi.

M. Hafizh Nabiyyin

Senin, 7 Oktober 2024

PEMILIHAN kepala daerah atau pilkada sudah di depan mata. Pilkada ini akan dilaksanakan serentak di 545 daerah. Keberagaman konteks lokal tiap daerah memberi tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemilu ataupun pihak lain yang berkepentingan. 

Salah satu persoalan yang harus diantisipasi dalam pelaksanaan pilkada 2024 adalah maraknya ujaran kebencian di media sosial. Saat ini media sosial berperan sangat krusial sebagai ruang diskursus publik, termasuk mempengaruhi situasi di ruang fisik. Belakangan, medium penyebaran ujaran kebencian pun mulai berkembang.

Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, kali ini penyebaran ujaran kebencian mulai memanfaatkan fitur iklan politik yang ditawarkan Meta—induk perusahaan Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Melalui fitur penargetan mikro yang dimiliki Meta, narasi kebencian dapat disebarkan agar lebih “tepat sasaran”.

Perkembangan fenomena ini tergambar dalam laporan riset “Kebebasan atau Kebencian? Mengkaji Akuntabilitas Platform Media Sosial dalam Penyebaran Ujaran Kebencian terhadap Kelompok Rentan di Pemilu 2024” yang dirilis oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) pada Agustus lalu. 

Salah satu temuan riset yang dilakukan oleh SAFEnet adalah munculnya iklan politik peserta Pemilu 2024 berisi ujaran kebencian terhadap komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, intersex, dan queer (LGBTIQ+) dalam Meta Ad Library. 

Iklan pertama diluncurkan oleh Dito Arief Nurakhmadi, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang dari Partai NasDem. Dalam iklan politiknya, Dito mengangkat narasi “Malang Darurat LGBT, Ayo Lindungi Keluarga Kita”. Ia juga menambahkan caption “NasDem akan perjuangkan perda anti-LGBT untuk melindungi anak cucu generasi kita ke depan”.

Iklan lainnya diluncurkan oleh Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi. Berbeda dengan Dito yang secara spesifik berjanji membuat kebijakan diskriminatif, Ridho menampilkan salah satu video ceramahnya soal “penjajahan digital”. Pada caption-nya, Ridho menyebutkan merebaknya LGBTIQ+ di Kota Padang sebagai salah satu bentuk penjajahan digital.

Dua iklan politik ini hanya potongan kecil kampanye-kampanye kebencian terhadap LGBTIQ+ dan kelompok marjinal lainnya selama pemilu. Mirisnya, iklan politik ini berkontribusi bagi keberhasilan kedua kandidat tersebut dalam perhelatan Pemilu 2024.

Dito berhasil melenggang ke DPRD Kota Malang setelah memperoleh 3.343 suara. Perolehan suara ini berkontribusi lebih dari 50 persen dari total suara partainya. Sedangkan Ridho, meskipun tidak berhasil melenggang ke Senayan, berhasil memperoleh 10.046 suara di dapilnya. Angka ini merupakan perolehan suara tertinggi di antara calon anggota legislatif Partai Ummat lainnya.

Daya Rusak Iklan Politik

Meta sebenarnya memiliki fitur Facebook Ad sejak 2007. Fitur ini kemudian mendapat sorotan dunia setelah skandal Cambridge Analytica mencuat. Pada 2018, Meta merilis Ad Library sebagai direktori periklanan untuk meningkatkan transparansinya. Di dalamnya, mereka memisahkan iklan terkait dengan sosial, politik, dan pemilu dari iklan-iklan lainnya.

Di tingkat global, pemanfaatan fitur iklan di Meta untuk mengamplifikasi kampanye kebencian sebenarnya bukan barang baru. Pada 2021, misalnya, whistleblower Frances Haugen memberikan kesaksian mengenai ketidakefektifan moderasi konten Facebook telah memperparah kekerasan etnis di Myanmar. 

Global Witness bereksperimen pada 2022. Mereka menguji sistem moderasi konten Meta dengan mengajukan 12 iklan berbasis teks yang berisi ajakan untuk membunuh tiga etnis di Etiopia, yaitu Amhara, Oromo, dan Tigray. Hasilnya, Facebook menyetujui publikasi iklan-iklan tersebut.

Satu tahun kemudian, lembaga lainnya, Ekō, melakukan eksperimen serupa di Eropa. Mereka mengajukan 13 iklan yang mengandung gambar hasil kecerdasan buatan dan kata-kata yang bertentangan dengan peraturan Meta. Hasilnya, Meta menyetujui beberapa iklan tersebut. 

Salah satu iklan yang disetujui menargetkan pengguna dari Prancis. Iklan ini berisi ajakan mengeksekusi anggota parlemen terkenal karena posisinya terkait dengan imigran. Iklan lainnya yang menargetkan pengguna Jerman berisi ajakan membakar sinagoge untuk melindungi orang kulit putih Jerman.

Iklan politik Dito dan Ridho memang tidak sampai level hasutan untuk melakukan serangan fisik. Namun narasi yang diusung juga membahayakan kelompok rentan, khususnya bila melihat konteks Indonesia.

Iklan Dito, misalnya, dapat berdampak terhadap pelanggengan peraturan daerah diskriminatif di Indonesia. Arus Pelangi mencatat setidaknya ada 45 perda diskriminatif dengan 1.840 individu LGBTIQ+ menjadi korban persekusi sepanjang 2008-2018. Sejak Desember 2022, raperda anti-LGBTIQ+ juga bermunculan di Garut, Bandung, Makassar, hingga Medan. Raperda ini bahkan sudah disahkan di Garut pada tahun lalu.

Begitu pun dengan iklan Ridho. Narasi menganggap LGBTIQ+ sebagai salah satu bentuk “penjajahan” digital dapat berimplikasi serius. Stigmatisasi LGBTIQ+ sebagai penjajah dapat mempertebal marjinalisasi komunitas itu oleh masyarakat lokal.

Iklan digital memiliki kelebihan dibanding iklan konvensional karena fitur microtargeting. Iklan Dito dan Ridho di Facebook dan Instagram secara spesifik menargetkan penontonnya. Mereka menentukan umur, lokasi, serta jenis kelamin pemirsanya.

Hal ini pula yang membuat iklan digital berpotensi lebih merusak dibanding iklan konvensional. Baik Dito maupun Ridho sama-sama secara spesifik menyasar pengguna platform Meta yang merupakan konstituennya. Mereka juga menargetkan pengguna dengan usia 25-54 tahun yang dapat diasumsikan sebagai orang yang sudah berkeluarga atau sudah menjadi orang tua.

Hasilnya, narasi “Malang Darurat LGBT” dan ajakan untuk melindungi keluarga dari LGBTIQ+ ditonton oleh 35-40 ribu orang tua di Jawa Timur. Sedangkan narasi “Kota Padang sedang mengalami penjajahan digital” disaksikan oleh 200-250 ribu orang tua di Sumatera Barat.

Selain tepat sasaran, iklan digital sangat murah. Dito hanya perlu mengeluarkan uang Rp 80-90 ribu untuk mencapai jumlah impresi di atas. Sementara itu, Ridho menghabiskan Rp 450-500 ribu.

Tanggung Jawab Platform Digital

Sebagai entitas korporasi, Meta wajib menghormati dan melindungi hak asasi manusia penggunanya, seperti yang tertuang dalam UN Guiding Principles on Business and Human Rights serta OECD Guidelines for Multinational Enterprises on Responsible Business Conduct.

Salah satu manifestasi kewajiban itu, Meta harus memastikan platformnya menjadi ruang yang aman bagi semua orang. Platform milik Meta seharusnya menjadi ruang diskursus politik yang bebas dan aman dalam pilkada 2024, bukan ruang menebar kebencian kepada kelompok rentan.

Meta sebenarnya memiliki kebijakan yang melarang konten-konten ujaran kebencian, termasuk dalam iklan politiknya. Secara spesifik, pedoman komunitas Meta juga memasukkan orientasi seksual dan identitas gender sebagai karakteristik yang dilindungi. 

Iklan Dito dan Ridho hanyalah sampel kegagalan Meta dalam menegakkan pedoman komunitasnya yang dapat mencederai proses demokrasi dan melanggar HAM. Karena itu, Meta perlu lebih ketat dalam menyaring iklan politik yang ditampilkan di platformnya. 

Meta perlu memastikan moderator manusia yang menyeleksi iklan politik memahami konteks lokal di Indonesia. Dengan demikian, Meta tidak lagi memfasilitasi stigmatisasi, diskriminasi, bahkan marjinalisasi terhadap komunitas LGBTIQ+ dan kelompok marjinal lain di Indonesia.

Berita Lainnya