maaf email atau password anda salah


Wujudkan Layanan Publik Ramah Difabel

Transportasi publik yang inklusif belum sepenuhnya terwujud di Jakarta. Kaum difabel kerap tak berdaya ketika fasilitas yang menjadi haknya direbut.

arsip tempo : 172832162996.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172832162996.

MASIH banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan untuk menghadirkan transportasi publik yang inklusif di Jakarta. Meskipun penyedia moda transportasi di Jakarta terlihat sudah berupaya, banyak hal dalam pelayanan transportasi umum yang belum ramah difabel.

Liputan Tempo memperlihatkan penyedia transportasi publik memang sudah menyediakan sejumlah layanan, seperti kursi atau ruangan prioritas, toilet khusus, serta petugas yang senantiasa mendampingi para difabel. Ini merupakan kemajuan yang menggembirakan jika dibanding beberapa tahun lalu. 

Walaupun demikian, masih ada halte atau stasiun yang hanya menyediakan tangga yang sulit dilalui kaum difabel secara mandiri. Penyediaan petunjuk visual untuk difabel tuli dan huruf Braille untuk difabel netra juga belum maksimal. Stasiun atau halte pun belum menyediakan ruang tenang, yang diperlukan bagi difabel mental yang tiba-tiba mengalami tantrum. 

Berbagai kekurangan tersebut tak boleh dibiarkan. Kehadiran layanan transportasi umum yang inklusif diperlukan demi menciptakan kesetaraan sekaligus merupakan amanat undang-undang. Ketersediaannya sangat penting karena menjadi pintu masuk bagi kaum difabel untuk menjalankan aktivitasnya. Ketika transportasi publik bisa diakses secara leluasa, mereka bisa berkegiatan secara mandiri dan berbaur dalam berbagai bidang kehidupan.

Kelompok difabel kerap terabaikan karena mereka merupakan minoritas. Data Dinas Sosial DKI Jakarta pada Desember 2023 menyebutkan terdapat 44 ribu difabel di provinsi ini. Adapun di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik, jumlahnya 22,97 juta pada 2020. Meski bukan mayoritas, mereka tak boleh diabaikan. Kaum difabel memiliki hak pelayanan yang sama dengan masyarakat lain. Mereka perlu diberdayakan dengan berbasis hak asasi manusia, bukan karena amal atau belas kasihan belaka.

Pemenuhan hak para difabel menjadi kewajiban pemerintah, yang sudah meratifikasi konvensi internasional mengenai hak-hak mereka. Sebagai tindak lanjut ratifikasi itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan tujuh peraturan pemerintah pendukungnya sudah diterbitkan. Tapi implementasinya belum mulus. 

Di Jakarta, selain mengacu pada undang-undang dan peraturan pemerintah, pemenuhan hak kaum difabel diatur peraturan daerah yang terbit pada 2022. Ihwal transportasi masuk di dalamnya. Sayangnya, pelanggaran terhadap aturan tersebut minim konsekuensi karena rata-rata pasalnya tak menyertakan ancaman sanksi. Akibatnya, penegakan aturannya hanya mengandalkan kerelaan pihak yang diatur. Ini menyebabkan kaum difabel menjadi pihak yang rentan.

Kerentanan kaum difabel sudah menjadi perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada November 2022, PBB memproyeksikan setidaknya satu dari enam orang di dunia adalah difabel. Alih-alih mendapat pelindungan dan perlakuan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, mereka justru menjadi individu yang dua kali lebih rentan terhadap kekerasan, diskriminasi, serta pelecehan daripada pihak nondifabel. 

Di Jakarta, kerentanan kelompok difabel itu juga terlihat dalam sistem transportasi. Penyediaan kartu layanan gratis moda Transjakarta dan Mikrotrans untuk difabel, misalnya, tak diimbangi dengan kemudahan bagi mereka untuk mengaksesnya. Kaum difabel juga kerap tak berdaya ketika fasilitas yang menjadi haknya direbut. Contohnya, penyerobotan ubin pemandu di trotoar serta toilet atau lift khusus difabel masih sering terjadi. 

Masih banyak hal yang harus dibenahi untuk mewujudkan transportasi yang inklusif. Inisiatif-inisiatif baru perlu terus dibuat agar semua kelompok masyarakat, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan setara untuk mengakses transportasi publik yang memadai. Idealnya, tidak boleh ada satu pun warga yang dirampas atau dikerdilkan haknya, termasuk kaum difabel.

Masalah inklusivitas yang tak kalah pelik juga ada di luar bidang transportasi, termasuk soal aksesibilitas perkantoran dan sekolah hingga lapangan kerja. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, misalnya, menetapkan pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah harus memiliki kuota 2 persen pegawai difabel dari total pekerjanya. Untuk perusahaan swasta, kuota itu minimal 1 persen dari total pekerja. Aturan ini sampai sekarang belum bisa ditegakkan. 

Tersedianya kesempatan yang setara bagi kaum difabel masih memerlukan usaha berkesinambungan. Pemerintah dan swasta seharusnya mempertimbangkan hal ini dalam setiap proyek yang dibuat sejak tahap perencanaan. Pada saat yang sama, pendidikan dan penyadaran masyarakat perlu terus ditingkatkan supaya inklusivitas betul-betul terwujud.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 7 Oktober 2024

  • 6 Oktober 2024

  • 5 Oktober 2024

  • 4 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan