Masyarakat Adat Menjaga Hutan di Tengah Godaan Tambang

Godaan pertambangan kerap meluluhlantakkan adat dan tradisi. Masyarakat adat Sigi mampu menepis godaan itu. 

Golar

Jumat, 9 Agustus 2024

SALAH satu pesan penting dari peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia setiap 9 Agustus saban tahun adalah peningkatan kesadaran pelindungan hak-hak populasi masyarakat adat. Hari peringatan internasional itu seharusnya punya makna lebih bagi Indonesia yang memiliki ribuan komunitas adat, yang sebagian besar tinggal di kawasan hutan dengan keanekaragaman hayati tinggi.

Berdasarkan data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), di seluruh dunia, ada setidaknya 476 juta orang dalam masyarakat adat. Sebanyak 6,2 persen dari populasi global di lebih dari 90 negara, termasuk di Indonesia, adalah masyarakat adat. Sedangkan dilihat dari sisi kewilayahan, 36 persen dari lanskap hutan utuh yang tersisa di dunia dengan 80 persen keanekaragaman hayati merupakan wilayah adat.

Di Indonesia, laporan Rights and Resources Initiative (RRI) pada Februari 2024 menyebutkan ada 2,9 juta orang yang hidup di kawasan lindung seluas 22,573 juta hektare. Lalu ada 94,3 juta orang dalam masyarakat adat yang tinggal di kawasan keanekaragaman hayati tak terlindungi seluas 67,562 juta hektare. Adapun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat ada 2.449 komunitas masyarakat adat dengan perkiraan jumlah populasi sebanyak 40-70 juta jiwa.

Masyarakat adat di Indonesia telah lama menjadi penjaga keanekaragaman hayati. Hutan adat menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan bagi masyarakat adat yang turun-temurun mengelolanya. Keberadaan hutan adat turut berperan dalam mempertahankan keberagaman hayati dan luasan hutan di Indonesia yang terancam deforestasi. Contoh paling nyata adalah masyarakat adat di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Kabupaten Sigi memiliki wilayah seluas 5.196,02 kilometer persegi dan hampir 70 persennya berupa hutan. Sigi memiliki lima penetapan hutan adat, yaitu Marena dengan luas 756 hektare, Huakaa Topo Ada To Masewo (829 hektare), Suaka Katuwua Tolindu (6.473 hektare), Moa, (1.484 hektare), dan Ngata Toro (1.747 hektare).

Sebagian besar wilayah hutan adat itu ada di Taman Nasional Lore Lindu di Kecamatan Kulawi, Kulawi Selatan, dan Pipikoro, Kabupaten Sigi. Taman nasional ini merupakan penggabungan dari kawasan Suaka Margasatwa Lore Kalamanta, Hutan Lindung Danau Lindu, dan Suaka Margasatwa Sungai Sopu. Pada 1977, Taman Nasional Lore Lindu ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO.

Taman nasional ini menyimpan lima jenis tumbuhan kantong semar yang merupakan tanaman endemik. Selain itu, taman nasional tersebut menjadi habitat bagi berbagai jenis jamur, lumut, dan tanaman paku-pakuan. Taman Nasional Lore Lindu merupakan habitat asli anoa, rusa, tarsius, dan kera hitam Sulawesi (Macaca tonkeana). Tarsius yang ada meliputi Tarsius pumilus, Tarsius dentatus, dan Tarsius lariensis.

Terdapat pula burung maleo (Macrocephalon maleo), rangkong (Rhyticeros cassidix), dan elang Sulawesi. Di kawasan ini juga banyak ditemukan kupu-kupu yang sebagian besar telah dibudidayakan.

Di sisi lain, sama seperti Parigi Moutong, Toli-Toli, Donggala, Kota Palu, dan Lambunu, Sigi juga menyimpan potensi pertambangan. Godaan pertambangan inilah yang kerap meluluhlantakkan adat dan tradisi. Tapi Sigi mampu menepis godaan itu. Memang ada satu-dua penambang ilegal, tapi masyarakat dan pemerintah setempat dapat menghalau kegiatan pertambangan di sana.

Masyarakat adat membentengi alamnya dengan berbagai kearifan lokal. Bagi masyarakat adat, hutan merupakan urat nadi dan sumber kehidupan turun-temurun. Mereka mempunyai ikatan emosional dan kultural kuat terhadap hutan. 

Pada 28 Januari 2020, sebanyak 15 desa di Sigi dan Poso bersepakat menjaga serta melestarikan hutan dan alam di seputar Cagar Biosfer Taman Nasional Lore Lindu. Masyarakat di Dataran Lindu selama ini memperlakukan hutan dan alam di kawasan Taman Nasional Lore Lindu dengan baik. Masyarakat tidak semena-mena membuka lahan atau menebang kayu karena sanksinya memang ada dan diberlakukan hingga saat ini.

Tatanan-tatanan adat sudah cukup lama berkembang di Sigi melalui proses dinamika yang berlangsung dari zaman dulu sampai sekarang. Uniknya, masyarakat adat di Sigi dapat menerapkan tatanan adat dengan dikawal para akademikus, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah daerah. Semua pihak memberi dukungan sehingga tatanan adat menjadi lebih kuat. Sigi pun menerima penghargaan Anugerah Konservasi Alam Tahun 2023 karena pemerintah daerahnya mampu mendorong penguatan fungsi kawasan konservasi melalui penanganan pertambangan tanpa izin.

Tingginya kesadaran masyarakat Sigi dalam menjaga lingkungan juga muncul karena mereka tahu wilayah tempat tinggal mereka sangat rawan bencana. Bencana yang berkaitan dengan perubahan iklim, seperti banjir bandang dan kekeringan, telah menyatukan masyarakat adat, pemerintah, serta lembaga swadaya masyarakat di Sigi.

Pada 2018, bencana likuefaksi akibat gempa juga melahirkan peraturan daerah yang disebut Perda Sigi Hijau. Hebatnya, aturan ini keluar dua pekan setelah bencana dahsyat itu terjadi. Aturan daerah tersebut bertujuan melembagakan pembangunan berkelanjutan dan mengadopsi pola pembangunan hijau di Sigi.

Masyarakat dan pemerintah Sigi menjadi bukti nyata bahwa kerja sama setiap elemen masyarakat sangat penting untuk menjaga wilayah agar tetap lestari. Upaya merawat bumi Sigi, terutama oleh masyarakat adat, bakal tetap terjaga, siapa pun pemimpinnya.

Masyarakat adat Sigi pun telah membuktikan keandalan dan kemampuan beradaptasi dengan alam serta lingkungannya. Mereka memanfaatkan dan mengelola hutan dengan mempertimbangkan keberlanjutan. Masyarakat melakukan proteksi sekaligus negosiasi dalam menjamin keberlanjutan pengelolaan hutan. Contoh nyata itu semestinya dapat ditiru di wilayah lain.

Berita Lainnya