Kutukan Timah dan Berkah Belitung

Aktivitas ekstraktif penambangan timah di Pulau Belitung mulai ditinggalkan dan bergeser ke ekonomi kreatif berbasis lingkungan.

Rio Rovihandono Bunet

Jumat, 5 Juli 2024

SEJARAH Pulau Belitung tak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang industri tambang timah dan kehancuran ekosistem yang menyertainya. Berawal dari penemuan timah oleh Asisten Residen Belitong J.P. De La Motte pada 1823 dan pendirian Billiton Maatschappij beberapa tahun setelahnya, pertambangan timah di sana berjalan hingga satu abad kemudian.

Aktivitas pertambangan itu tak hanya mengubah rupa bumi Belitung. Kondisi sosial dan budaya masyarakat juga berubah, yang dipengaruhi oleh kedatangan pekerja tambang dari Cina sejak 1724. Di beberapa tempat, aktivitas pertambangan tradisional dengan “menyuntik” atau menyemprotkan air menggunakan pipa ke dalam tanah masih dilakukan karena dianggap lebih cepat mendatangkan uang. 

Keberadaan timah di Belitung kemudian menjadi “kutukan” sumber daya alam. Seperti ditulis profesor asal Turki, Sevil Acar, dalam The Curse of Natural Resources (2017), istilah kutukan itu merujuk pada kondisi ketimpangan ekonomi sejumlah negara yang kaya sumber daya alam, tapi tak mampu menyejahterakan warganya. 

Kutukan sumber daya alam di Belitung bahkan menjadi petaka besar. Terutama setelah terungkapnya kasus megakorupsi senilai Rp 271 triliun di PT Timah Tbk. Nilai kerugian itu, seperti disebutkan guru besar kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, merujuk pada nilai kerugian negara akibat kerusakan lingkungan dan perekonomian negara. 

Penambangan timah di Belitung memang menimbulkan banyak kerusakan. Data Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada 2021 menunjukkan luas lahan kritis di pulau timah itu mencapai 20.078,1 hektare. Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung pada Mei 2024 juga menyebutkan masih ada 12.607 “kolong” atau lahan bekas tambang yang belum direklamasi dengan luas total mencapai 15.579,747 hektare. 

Sepanjang 2021-2024 saja, kolong-kolong ini telah menelan 50 korban jiwa akibat kecelakaan kerja dan tenggelam. Kandungan limbah logam berat (Pb, Cd, dan Cr) serta limbah cair di lahan-lahan itu pun dilaporkan sudah di atas baku mutu lingkungan.

Kasus megakorupsi PT Timah Tbk itu seolah-olah menutupi kebangkitan perekonomian non-ekstraktif yang berkembang di Belitung setelah booming novel dan film Laskar Pelangi. Pertumbuhan industri pariwisata di pulau penghasil lada itu mampu menggerakkan warga lokal masuk ke era ekonomi jasa lingkungan.

Namun pertanyaannya kini apakah sumber daya alam yang tersisa mampu dikelola secara bijak oleh pemerintah daerah di tengah kepentingan politik dan kekuatan modal industri tambang saat ini? 

Beralih dari Ekonomi Ekstraktif

Salah satu kekayaan dan keanekaragaman hayati Belitung adalah keberadaan tarsius endemik di pulau itu. Dalam bahasa lokal, tarsius itu disebut pelilean atau “monyet hantu”. Pada 2008, International Union for Conservation of Nature mengakui spesies dengan nama Latin Cephalopachus bancanus saltator tersebut.

Pengakuan terhadap tarsius merupakan hasil perjuangan Budi Setiawan, putra daerah Desa Lassar, Membalong, Belitung. Dalam Global Environment Forum di Filipina pada 2008, ia meyakinkan peserta forum tentang perbedaan pelilean dengan tarsius lain. Sebelumnya, sebaran tarsius hanya ada di Sulawesi (genus Tarsius) dan Filipina (genus Carlito) sesuai dengan teori Garis Wallace. 

Kiprah Budi berlanjut dengan mendirikan Yayasan Tarsius Center Indonesia untuk menyelamatkan hutan habitat hewan ini. Bersama Lembaga Pengelola Hutan Desa Batu Mentas, mereka mengelola taman pendidikan konservasi hutan di lahan seluas 330 hektare sejak 2017. 

Keberadaan tarsius di Belitung sudah lama menjadi daya tarik peneliti primata. Namun kerusakan hutan akibat aktivitas pertambangan sejak seabad lalu dan beroperasinya industri kelapa sawit sejak 1992 mengancam populasi spesies ini. Sekitar 40 persen tutupan hutan Belitung habis akibat aktivitas ekstraktif tersebut.

Namun kini kehadiran status geopark bagi Pulau Belitung memberikan harapan baru bagi warga Belitung, juga bagi tarsius serta hewan endemik lainnya di pulau itu. Pada April 2021, Belitung ditetapkan sebagai geopark nasional Indonesia ke-6 oleh UNESCO. Pulau ini dinilai memiliki keragaman geologis unik berupa lanskap alam, bebatuan, mineral, proses geologis dan tektonik, serta evolusi bumi yang terjadi di sana.

Dengan penetapan status geopark, Pemerintah Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur menetapkan beberapa titik situs taman bumi darat dengan luas total 4.800 kilometer persegi serta kawasan perairan laut dan pesisir seluas 22.886 kilometer persegi.

Status geopark menjadi titik balik berikutnya bagi Belitung setelah booming novel dan film Laskar Pelangi pada 2008. Waktu itu, Laskar Pelangi membawa dampak positif berupa peningkatan taraf hidup warga Belitung. Penelitian Adib Sofia dari UIN Sunan Kalijaga melaporkan kunjungan wisatawan ke pulau tersebut melonjak 800 persen dalam dua tahun setelah film Laskar Pelangi dirilis. 

Euforia industri pariwisata ini kemudian dimanfaatkan semua pihak. Terlebih, setelah penetapan status geopark, banyak area kolong yang dikelola warga ataupun pihak swasta menjadi destinasi wisata. Praktik ekonomi jasa lingkungan berbasis keanekaragaman hayati kian kuat di Belitung, yang dipelopori kaum muda. Gairah itu bisa menjadi jalan keluar bagi masalah kerusakan lingkungan di Belitung.

Berita Lainnya