Mengapa Utang PLN Berisiko Mengalir ke Proyek PLTU Batu Bara

ADB telah lama menegaskan komitmen meninggalkan pembiayaan proyek energi kotor. Mengapa implementasinya diragukan di Indonesia?

Novita Indri

Sabtu, 26 Oktober 2024

AWAL Mei 2024, pertemuan tahunan Bank Pembangunan Asia (ADB) digelar di Tbilisi, Georgia, dengan tema yang prestisius: “Bridge to The Future”. Masatsugu Asakawa, Presiden ADB, dalam sambutannya, menyebutkan tema tersebut selaras dengan lokasi Georgia. Negara di tepi Laut Hitam ini berada di persimpangan Asia dan Eropa, dua benua yang menurut Asakawa memiliki hubungan fisik, finansial, dan ekonomi saat ini dan di masa mendatang.

Hubungan itu sampai ke Indonesia, yang menjadi anggota ADB sejak 1966. Sejak saat itu, ADB menjadi salah satu bank pembangunan multinasional yang banyak menyalurkan dana ke Indonesia. Pendanaan turut masuk ke sektor energi, terutama untuk meningkatkan akses terhadap listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya yang dibangun pada era 1980-an hanya salah satu hasil pinjaman ADB.

Dalam pertemuan di Tbilisi, di depan perwakilan negara donor ADB, Asakawa kembali menegaskan komitmen institusinya untuk ikut andil menciptakan masa depan yang berkelanjutan. Dalam lima tahun terakhir, ADB memang resmi menarik diri dari pembiayaan energi fosil, termasuk batu bara. Mereka menggulirkan kebijakan energi terbaru pada 2021 yang menegaskan tidak akan lagi menggulirkan Dana Pembangunan Asia atau Asian Development Fund (ADF)—sebutan pinjaman dari dan untuk negara anggota ADB—ke proyek PLTU batu bara.

Namun wujud dari komitmen itu masih menjadi tanda tanya. Hasil studi kami, yang dirilis pada 24 April 2024 atau sepekan sebelum pertemuan tahunan ADB pada Mei 2024, menunjukkan adanya potensi penggunaan ADF untuk proyek-proyek energi kotor di Indonesia.

Ekskavator menumpuk batu bara di Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Cilegon, Banten. REUTERS/Dadang Tri

Komitmen Hijau Berisiko Sebatas di Atas Kertas

Riset kami, yang dipublikasikan dalam laporan bertajuk “Smog and Mirrors”, menyoroti pemberian alokasi pinjaman senilai US$ 600 juta—atau kini senilai Rp 9,4 triliun—kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pada Desember 2021. ADB mengklaim bahwa utang kepada PLN untuk mendukung akses energi yang berkelanjutan dan andal. Namun, jika dibaca dengan cermat, kontrak perjanjian pinjaman kepada PLN tersebut menunjukkan hal yang berkebalikan.

Dana pinjaman itu, sebagaimana dituliskan dalam kontrak perjanjian, dapat digunakan untuk pengeluaran program penyediaan listrik PLN. Permasalahannya, program yang dimaksudkan dalam perjanjian tersebut merujuk pada dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

Menjadikan RUPTL sebagai rujukan pendanaan jelas mengkhawatirkan. Pasalnya, meski diklaim lebih “hijau”, RUPTL 2021-2030 masih memuat rencana pembangunan PLTU baru dengan total kapasitas 13,8 gigawatt. Ekspansi PLTU Jawa 9 dan 10, dengan total kapasitas 2.000 megawatt, merupakan dua di antara proyek-proyek tersebut.

Celah penggunaan dana pinjaman untuk proyek-proyek energi kotor amat terbuka. Pasalnya, perjanjian pendanaan juga tak memuat klausul yang tegas dan jelas tentang pembatasan penggunaan pinjaman untuk proyek batu bara. Risikonya bertambah besar karena skema penarikan pinjaman akan disalurkan ke rekening umum PLN, sehingga membuka peluang duit utang bercampur dengan dana proyek lainnya.

Praktik pemberian pinjaman yang amat longgar ini tidak sesuai dengan standar pembiayaan hijau ADB yang mensyaratkan dana ditempatkan di rekening terpisah. Skema itu dibuat untuk memudahkan dilakukannya penelusuran dan verifikasi, sehingga dana pinjaman tak digunakan untuk proyek yang bertentangan dengan kebijakan energi ADB.

Perjanjian yang tak tegas mengecualikan penggunaan dana untuk proyek energi kotor tersebut menggambarkan adanya inkonsistensi sikap kedua pihak. Pada 1 November 2021, sebulan sebelum kontrak pinjaman itu ditandatangani, petinggi ADB dan PLN telah menandatangani nota kesepahaman untuk mencapai target energi bersih, termasuk berupa percontohan pensiun dini PLTU melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM).

Dalam proses riset terhadap dokumen perjanjian pinjaman ini, kami telah mengirim surat kepada PLN sejak 18 Maret 2024 untuk meminta tanggapan atas temuan kami. Namun balasan datang tiga hari setelah pertemuan tahunan ADB di Tbilisi rampung digelar.

Dalam suratnya, PLN menyatakan penggunaan dana pinjaman ADB berkaitan dengan Disbursement Linked Indicator, di antaranya untuk rehabilitasi jaringan listrik dan promosi penggunaan energi bersih. PLN juga memastikan bahwa pengawasan terhadap implementasi utang tersebut dilakukan oleh lembaga verifikasi independen. Akuntabilitas dalam pengelolaan dananya juga diperiksa oleh kantor akuntan publik.

Klaim-klaim PLN yang tampak menjanjikan itu sebenarnya tak cukup mengurangi kekhawatiran bakal tetap mengalirkan dana hasil utang ke proyek energi kotor. Pasalnya, selama ini, informasi mengenai detail pemanfaatan penarikan pinjaman juga terbatas dan tak mudah diakses oleh publik. Sedangkan status perseroan sebagai badan usaha milik negara menjadikan beban utang pada akhirnya bakal ditanggung oleh masyarakat banyak.

Anak-anak berjalan dengan latar Pembangkit Listrik Tenaga Uap Suralaya batu bara di Kota Cilegon, Banten, REUTERS/Willy Kurniawan

Dampak Berantai Pendanaan PLTU Batu Bara

Jauh sebelum beban utang anyar itu dirasakan publik, masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU batu bara sudah merasakan getah dari lambannya transisi energi bersih di Indonesia. Di Kecamatan Pulo Merak, Cilegon, Banten, berlanjutnya pengoperasian pembangkit di PLTU Suralaya semakin mengancam kesehatan masyarakat.

Studi yang dilakukan oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukkan polusi udara PLTU Suralaya berdampak negatif dan berpotensi menyebabkan kematian dini sebanyak 1.470 nyawa setiap tahun. Nilai kerugian dari biaya kesehatan yang dipicu pencemaran pembangkit tersebut ditaksir mencapai US$ 1,04 miliar atau senilai Rp 14,2 triliun. Udara kotor juga bisa meningkatkan risiko kasus kelahiran prematur dan berat badan rendah. 

Penderitaan masyarakat akibat dampak negatif pembangkit listrik batu bara akan bertambah jika kelak PLTU Jawa 9 dan 10 beroperasi di komplek PLTU Suralaya. Pembangkit listrik baru hasil kongsi PT Barito Pacifik Tbk dan PT Indonesia Power—anak usaha PLN–itu masih dalam tahap konstruksi dan ditargetkan rampung pada 2025. 

Dalam kalkulasi kami, PLTU baru tersebut akan mengkonsumsi sekitar 20,444 ton batu bara per hari, yang akan melepaskan sekitar 250 juta metrik ton CO2 ke atmosfer dengan estimasi masa operasi sekitar 25 tahun. Pelepasan emisi gas rumah kaca tersebut akan menggagalkan upaya Indonesia dalam menahan laju krisis iklim yang disepakati dalam Perjanjian Paris. Sikap abai terhadap urgensi transisi energi terbarukan yang berkeadilan sebaiknya segera dihentikan jika ingin tak ingin generasi selanjutnya mengalami malapetaka.

Berita Lainnya