Mengapa Reforma Agraria di Kawasan Hutan Mandek

Reforma agraria di kawasan hutan hanya terealisasi 9,51 persen dari target pemerintahan Joko Widodo. Mengapa?

Kasmiati

Sabtu, 28 September 2024

REFORMA agraria merupakan salah satu program andalan Presiden Joko Widodo yang sempat menjadi oase baru bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan ruang hidup. Melalui program ini, Jokowi seakan-akan ingin menyelesaikan ribuan konflik agraria yang terjadi pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Program tersebut turut mencakup program Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH) seluas 4,1 juta hektare. Harapannya, masyarakat sekitar hutan yang terusir dari ruang hidupnya karena ulah negara bisa mendapatkan tanah mereka kembali dengan sertifikat hak milik.

Namun rencana ini ternyata indah kabar dari rupa. Reforma agraria Jokowi di sektor kehutanan gagal mencapai target, bahkan hanya menyentuh 390 ribu ha selama masa pemerintahannya. Kini, pada masa transisi menuju pemerintahan Prabowo Subianto, PTKH nyaris tak terdengar dalam percakapan publik.

Tidak mengherankan jika hingga saat ini konflik agraria di kawasan hutan masih tinggi. Pada 2023 saja, klaim sepihak negara atas wilayah hutan telah menyebabkan 17 konflik yang berdampak pada 10.900 keluarga.

Pertanyaannya, mengapa agenda penting seperti reforma agraria sektor kehutanan Jokowi hanya mencapai 9,51 persen dari target? Berdasarkan telaah kami, kegagalan tersebut berakar dari tiga persoalan.

1. Ego Sektoral

Masalah ego sektoral dalam pengelolaan hutan berakar dari pemisahan kewenangan pengelolaan tanah di Indonesia. Ini terbagi dalam kawasan hutan negara dan area penggunaan lain (APL)—seluruh tanah di luar kawasan hutan.

Pengelolaan tanah dalam kawasan hutan merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sementara itu, APL berada dalam kuasa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Alih-alih mengefektifkan pengelolaan, pemisahan tersebut justru membuat kedua lembaga cenderung mempertahankan kuasa mereka atas lahan, khususnya hutan.

Selama ini pemerintah lebih melihat hutan dalam arti luasan “kawasan hutan” yang mereka kuasai atau kelola. Maka upaya mempertahankan luasnya menjadi indikator penting kinerja KLHK ataupun ATR.

Pandangan di atas membuat kedua lembaga cenderung tidak melakukan PTKH. Sebab, pelepasan kawasan sama saja mengurangi kawasan pengelolaan sehingga, secara luasan, indikator kinerja mereka tampak menurun. Masalah tersebut kemudian berefek domino terhadap masalah-masalah berikutnya, dari kebingungan teknis di daerah ataupun di tingkat tapak (kawasan hutan), minimnya anggaran, hingga sumber daya manusia.

Selain masalah di atas, satu perkara lain yang timbul adalah minimnya pemeriksaan kualitas kawasan hutan. Apakah semua kawasan masih berhutan atau sudah terbabat menjadi semak belukar, kebun-kebun, bahkan bangunan?

Secara umum, luas kawasan hutan yang tak lagi “berhutan” mencapai 30,7 juta hektare atau 25,48 persen dari total luas kawasan hutan sebesar 120,5 juta hektare. Apabila ditambah dengan hutan produksi yang dapat dikonversi (HKP) seluas 6,37 persen, total luas kawasan hutan yang sudah “nonhutan” justru lebih banyak atau sebesar 31,85 persen. 

Sayangnya, tidak pernah ada data mendetail seputar bagaimana bentuk “nonhutan” dari kawasan yang dimaksudkan. Menurut hemat kami, negara semestinya melepaskan kawasan yang tidak lagi berhutan kepada warga melalui reforma agraria.

Dari generasi ke generasi, pengelolaan kawasan oleh masyarakat di beberapa daerah terbukti lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pengelolaan berbasis masyarakat ini juga berfungsi menguatkan hak sosial-ekonomi bagi komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Aksi demonstrasi dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional ke-64 prihal kejahatan terhadap Konstitusi Agraria di Indonesia di depan Kantor Kementerian ATR/BPN, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 24 September 2024. TEMPO/Ilham Balindra

2. Pembuktian yang Kaku dan Berlapis

PTKH beralaskan pada dua regulasi penting, yaitu Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 mengenai Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan serta Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pedoman Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

Sayangnya, kedua regulasi justru menjadi penghambat reforma agraria di kawasan hutan karena mensyaratkan proses penapisan yang panjang. Masyarakat juga wajib membuktikan kepemilikan tanah secara administratif ketika mengajukan permohonan PTKH.

Misalnya, warga harus mampu membuktikan penguasaan lahan garapan sudah dikuasai setidaknya 20 tahun apabila ingin diajukan sebagai tanah obyek reforma agraria (TORA) kawasan hutan. Tim Inventarisasi dan Verifikasi PTKH akan menganalisis secara fisik dan yuridis atas klaim tersebut—sering kali prosesnya memakan waktu.

Negara sempat juga membatasi reforma agraria untuk daerah atau pulau dengan luas kawasan hutan setidaknya 30 persen dari total luas wilayah. Pendekatan kuota model begini justru berbuntut diskriminasi. Sebab, masyarakat penduduk daerah yang berkawasan hutan kurang dari 30 persen tidak bisa menuntut hak mereka.

Pada 2020, negara menghilangkan batasan tersebut. Namun, di tataran teknis, halangan ini masih ada karena belum ada regulasi turunan lainnya untuk melaksanakan reforma agraria di kawasan hutan.

Selain batas persentase hutan, masyarakat harus memastikan tanah yang mereka usulkan masuk peta indikatif PTKH yang dibuat KLHK. Jika tidak masuk, pemerintah akan menolak usulan mereka.

3. Benturan dengan Perhutanan Sosial

Pemerintah kerap menawarkan penyelesaian ruwetnya administrasi usulan PTKH masyarakat dengan program perhutanan sosial. Dalam program ini, pemerintah tidak melepaskan hutannya, hanya memberikan hak masyarakat memanfaatkan hasil hutan (terutama nonkayu, seperti buah atau madu) secara berkelanjutan.

Program ini memang bermanfaat sebagai pengakuan upaya warga yang hidup harmonis bersama hutan. Namun, di sisi lain, perhutanan sosial dapat menghambat reforma agraria yang sejati.

Kita dapat berkaca pada contoh kasus di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Dengan kawasan hutan yang mencapai 76,16 persen dari total wilayah, pemerintah mengajak masyarakat mengajukan PTKH ke KLHK.

Sayangnya, karena terbentur syarat administrasi, banyak usulan yang kandas—seperti yang terjadi di Desa Balumpewa. Sebagai gantinya, KLHK hanya mengeluarkan surat keputusan (SK) perhutanan sosial untuk warga, bukannya memenuhi usulan masyarakat dan pemerintah Sigi.

Kami merasa perhutanan sosial menjadi jalan pintas yang menguntungkan bagi pemerintah dibanding PTKH. Sebab, perhutanan sosial tidak mengurangi luas kawasan hutan.

Kecenderungan ini terlihat dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan tersebut mengatur bahwa pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan dengan perizinan berusaha dari pemerintah pusat serta melalui kegiatan perhutanan sosial.

Maraknya sosialisasi dan pemberian SK perhutanan sosial beberapa tahun belakangan membuat program PTKH seakan-akan nyaris tak terdengar. Tawaran skema PTKH bahkan tidak masuk “reforma agraria” versi Jokowi melalui skema Bank Tanah yang diatur dalam UU Cipta Kerja.

Dalam skema ini, negara dapat mengambil tanah-tanah telantar lalu dibagikan kembali kepada masyarakat ataupun badan usaha. Alih-alih menawarkan keadilan, skema tersebut justru berisiko memperparah konflik agraria bagi masyarakat di sekitar hutan.

Aksi memperingati Hari Tani Nasional ke-64 untuk menyikapi kejahatan terhadap Konstitusi Agraria di Indonesia di depan Kantor Kementerian ATR/BPN, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 24 September 2024. TEMPO/Ilham Balindra

Reforma Agraria ala Prabowo

Rezim Jokowi akan segera berakhir. Tak ada pula tanda-tanda perbaikan atau gembar-gembor kembali seputar reforma agraria di kawasan hutan.

Kami merasa sulit optimistis bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran dapat mengatasi persoalan ketidakadilan ini. Pasalnya, visi mereka tidak memuat secara jelas isu PTKH ataupun reforma agraria di kawasan hutan.

Pemerintahan Prabowo cenderung memaknai reforma agraria sebagai legalisasi aset. Pemaknaan yang diwariskan oleh Jokowi ini dikritik habis-habisan oleh banyak kalangan sebagai reforma agraria palsu karena tak menyentuh upaya pembagian ruang yang adil.

Jangankan pembagian ulang tanah yang adil, Prabowo justru mengaitkan program reforma agraria dengan program food estate. Padahal banyak pihak menganggap program ini melahirkan masalah agraria baru karena berpotensi menyingkirkan petani dari tanah mereka.

Prabowo semestinya bisa menjalankan reforma agraria yang lebih progresif. Ia dapat mengakui kearifan pengelolaan lahan di tingkat lokal sekaligus mengembalikan ruang hidup masyarakat yang telanjur dipatok menjadi kawasan hutan negara. Saat ini kawasan hutan negara masih mencakup lebih dari 60 persen luas daratan Indonesia.

Karena itu, pemerintahan baru seharusnya menggenjot PTKH, bukan menghilangkannya jika ingin menegakkan keadilan bagi masyarakat dan mencapai swasembada pangan. Sebab, di mana petani akan menanam padi, jagung, singkong, kedelai, sagu, sorgum, kelapa, dan tanaman pertanian lainnya jika mereka tidak memiliki tanah?

Berita Lainnya