Restorasi Hutan Tantangan Pertambangan Berkelanjutan

Restorasi hutan mencapai pertambangan berkelanjutan. Gabungkan sains, keterlibatan masyarakat, pengetahuan adat, agroforestri.

Mochamad Indrawan

Sabtu, 21 September 2024

KEBERLANJUTAN merupakan cita-cita yang terus berkembang bagi pelaku usaha, termasuk industri pertambangan. Terdapat berbagai pemahaman “berkelanjutan”. Bagi sebagian pihak, pertambangan berkelanjutan berfokus pada perpanjangan ekstraksi mineral selama mungkin, meskipun sumber daya mineral terbatas. 

Sebaliknya, pertambangan berkelanjutan dapat pula berarti mencapai keberlanjutan yang lebih baik secara keseluruhan. Untuk mencapainya diperlukan intervensi lintas dimensi: lingkungan, sosial, dan tata kelola secara efektif. Termasuk di dalamnya, menurut John E. Tilton dalam makalahnya yang berjudul “Is Mineral Depletion a Threat to Sustainable Mining?”, adalah melestarikan budaya lokal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu contoh penting dalam upaya mencapai keberlanjutan adalah restorasi atau pemulihan hutan tropika alami di bekas area penambangan batu bara. Tantangannya terletak pada upaya rekayasa suksesi-ekologi pada ekosistem hutan.  

Hutan tropika basah Indonesia, yang merupakan rumah bagi sekitar 38 ribu spesies tanaman (55 persen endemis), mencakup 90 ekosistem dan 15 formasi hutan alami. 

Pertambangan terbuka batu bara Sungai Gelam, Muaro Jambi, Jambi, 9 Agustus 2024. ANTARA/Wahdi Septiawan

Hutan dataran rendah Kalimantan saja memiliki 100-200 spesies pohon per hektare, sebagian besar dari keluarga Dipterocarpaceae (meranti-merantian) yang unik secara ekologi dan sangat berharga dari segi evolusi. Ekosistem ini kompleks dan sifatnya masih sedikit dikenal secara ilmiah.

Tambang batu bara, terutama dengan metode penambangan terbuka, menghancurkan semua lapisan tanah dan spesies tanaman. Akibatnya, lapisan tanah atas sulit dipulihkan. Terjadilah kondisi yang miskin nutrisi sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Spesies pionir yang dapat bertahan dalam kondisi ekstrem, seperti balangeran (Shorea balangeran), raru (Cotylelobium melanoxylon), dan puspa (Schima wallichii), sering digunakan untuk restorasi hutan.

Proses restorasi hutan sangat rumit dan memakan waktu. Diperlukan upaya rehabilitasi tanah—misalnya menanam polong-polongan—serta melestarikan dan mengintegrasikan kembali lapisan tanah atas, serta memperkenalkan kembali komunitas mikrobialnya. 

Pertambangan berkelanjutan umumnya mengikuti langkah-langkah rumit, yakni membersihkan hutan, menghilangkan tanah atas, menambang batu bara, mengembalikan tutupan tanah, menanam pohon dalam suksesi ekologi, serta melakukan pemeliharaan dan pemantauan berkelanjutan.

Mengembalikan hutan ke keadaan aslinya bisa memakan waktu beberapa dekade atau bahkan lebih dari satu abad. Ketersediaan benih dan keberadaan hutan alami di sekitarnya turut menentukan keberhasilan serta kecepatan pemulihan hutan setempat.  

Upaya awal, seperti menanam spesies cepat tumbuh, mungkin menunjukkan kemajuan dalam 5-10 tahun. Namun, menurut studi David Woodburry dari Yale University dan tim, mencapai tahapan hutan alam yang matang serta beragam merupakan hal yang lebih sulit. Misalnya, di Indonesia, setelah 5-6 tahun, hanya spesies cepat tumbuh, seperti nyamplung (Calophyllum inophyllum) dan eukaliptus (Eucalyptus sp.), yang mungkin dapat bertahan.

Sementara itu, spesies hutan primer sejati, seperti bangkirai (Shorea laevis) dan ulin (Eusideroxylon zwageri), mungkin tumbuh sangat lambat, di bawah satu sentimeter per tahun. Walhasil, kematangan yang signifikan hanya dapat tercapai setelah 100 tahun atau lebih.

Perusahaan sering menanam spesies cepat tumbuh untuk memenuhi regulasi reforestasi dengan cepat. Spesies cepat tumbuh, seperti sengon laut (Paraserianthes falcataria), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), sengon (Albizia falcataria)Eucalyptus, dan akasia (Acacia mangium), dapat dengan cepat menutupi area bekas tambang dengan vegetasi.

Meskipun tanaman pohon dapat bertumbuh menutupi area dengan cepat, mereka memerlukan pemupukan yang ekstensif. Tanaman pohon ini sering mati dalam 15-20 tahun. Akibatnya, proses suksesi oleh spesies pionir akan terulang. Tahap pertumbuhan awal harus dilakukan ulang.

Suatu proyek restorasi di Kalimantan yang dimulai pada 2001 gagal berkembang menjadi hutan sekunder yang tua dan hanya menghasilkan sekitar 40 spesies pionir, seperti Fabaceae (polong-polongan). Sebuah hutan klimaks yang matang biasanya mendukung setidaknya 100 spesies pohon.

Faktor sosial dan ekonomi sering diabaikan dalam upaya restorasi, yang kerap hanya berfokus pada aspek ekologi. 

Berdasarkan kajian Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Pusat Penelitian Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF), agroforestri berbasis masyarakat dapat mempercepat restorasi dengan mengintegrasikan pertanian dengan penanaman pohon. Pendekatan ini mendukung kesehatan ekosistem dan ekonomi lokal. Penelitian penulis kedua pada 2004 dan 2018 mengungkap sistem agroforestri tradisional, seperti kebun rotan serta buah, berhasil menggabungkan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial.

Hutan yang direstorasi meningkatkan kesehatan ekosistem, yang mendukung konsep "One Health", menghubungkan kesejahteraan manusia, hewan, dan lingkungan. Hutan yang sehat meningkatkan kualitas udara dan air, mengurangi vektor penyakit, serta menyediakan habitat bagi satwa liar sehingga membantu mencegah penyakit zoonosis. 

Dengan melestarikan keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem, hutan yang direstorasi mendukung mata pencarian yang berkelanjutan serta mengurangi risiko kesehatan yang terkait dengan degradasi lingkungan.

Proyek restorasi hutan sering lebih mengandalkan para ahli nasional dan internasional, tapi mengabaikan pengetahuan lokal. Mengintegrasikan wawasan dan keahlian ekologi lokal sangat penting untuk keberhasilan restorasi.

Mencapai pertambangan yang berkelanjutan memerlukan pendekatan holistik yang menyeimbangkan pertimbangan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Sementara itu, metode tradisional mungkin berfokus pada perpanjangan ekstraksi mineral, strategi komprehensif melibatkan restorasi ekosistem, seperti reforestasi hutan tropis, untuk mengatasi kerusakan lingkungan. 

Restorasi yang efektif menggabungkan keahlian ilmiah dengan keterlibatan masyarakat, pengetahuan adat, dan praktik agroforestri. Dengan menerapkan kerangka kerja One Health, upaya ini dapat mengurangi degradasi ekologis dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan.

Berita Lainnya