Dampak Lingkungan Program Susu Gratis

Pemerintahan Prabowo Subianto akan menggulirkan program makan siang dan susu gratis. Mengapa bisa memperparah perubahan iklim?

Titis Apdini

Selasa, 17 September 2024

PEMERINTAH mengalokasikan anggaran Rp 71 triliun untuk program makan siang dan susu gratis. Program ini menjadi andalan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, dalam Pemilu 2024.

Sayangnya, kendati anggaran sudah diketok, belum ada kejelasan hingga saat ini seputar detail program pemberian susu. Terakhir, program susu gratis membutuhkan impor 2,15 juta ekor sapi perah.

Konsumsi susu memang baik untuk nutrisi masyarakat Indonesia. Pengembangan peternakan sapi perah pun berpeluang meningkatkan perekonomian peternak.

Namun impor 2,15 juta ekor sapi jelas bukan angka yang sedikit. Selain berisiko menyedot anggaran, program susu yang tidak dilaksanakan secara hati-hati justru bisa menciptakan mudarat yang lebih besar ketimbang manfaatnya.

Mudarat Emisi Akibat Program Susu

Sapi perah di peternakan jelas membutuhkan pakan untuk tetap hidup dan memproduksi susu. Di Indonesia, peternak acap memberi pakan rumput serta limbah pertanian, seperti jerami padi dan sisa panen sayuran, untuk sapi perah mereka.

Ada juga pakan jadi hasil produksi industri pakan. Produk ini berasal dari campuran jagung, bungkil kedelai, dedak, dan limbah pengolahan pangan, misalnya ampas tahu, ampas singkong, serta ampas kecap.

Sejumlah siswa mendapatkan susu sapi murni gratis dalam acara uji coba gerakan minum susu di SD Negeri 1 Sudagaran, Banyumas, Jawa Tengah, 5 Agustus 2024. ANTARA/Idhad Zakaria

Sayangnya, sistem pencernaan sapi tidak menyerap nutrisi pakan ini secara sempurna. Sisa-sisa pakan yang tak tecerna kemudian dimakan oleh mikroba dalam perut sapi sehingga menghasilkan metana. Gas tersebut keluar saat sapi beserdawa ataupun keluar melalui kotorannya.

Metana adalah gas rumah kaca yang paling berbahaya karena paling efektif memerangkap panas dibanding karbon dioksida (CO2). Walhasil, jika emisi metana makin banyak, suhu bumi bisa memanas lebih cepat.

Risiko kenaikan emisi metana seharusnya menjadi perhatian, bahkan sebelum pemerintah merencanakan impor sapi perah besar-besaran. Apalagi Indonesia juga masih kelimpungan mengatasi emisi metana dari sektor sampah serta pembakaran bahan bakar fosil.

Di Indonesia, sektor peternakan menyumbang emisi gas rumah kaca sebanyak 30.6 ribu gigagram setara karbon dioksida (CO2e) pada 2022. Sebagian besar emisi peternakan berasal dari gas metana (CH4) diikuti oleh dinitrogen oksida (N2O). Emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan telah meningkat sebesar 50 persen dibanding pada 2000.

Selain itu, impor jutaan ekor sapi perah akan memerlukan lahan yang sangat luas untuk produksi pakan dan pengolahan kotoran ternak. Untuk memenuhi kebutuhan pakan 2,15 juta ekor sapi, Indonesia akan membutuhkan lahan sekitar 322.500 hektare. Angka tersebut berasal dari angka kebutuhan lahan sekitar 0,15 hektare per sapi perah untuk memproduksi kebutuhan rumput mereka sebanyak 30 kilogram per hari.

Apabila kurang dari itu, peternak perlu mengandalkan bahan pakan selain rumput yang berisiko menurunkan produksi susu sapi.

Risiko Pencemaran dari Peternakan

Selain memperparah pemanasan bumi, maraknya sapi berpotensi menambah pencemaran. Pada 2019, pemerintah menyatakan peternakan sapi perah di Lembang sebagai salah satu penyumbang polusi di Sungai Citarum, Jawa Barat.

Polusi akibat penumpukan kotoran ternak juga terjadi di negara lain, misalnya Cina. Pada 2016, pembangunan peternakan sapi perah dengan kapasitas 10 ribu ekor sapi menuai protes warga sekitar yang mengeluhkan polusi kotoran dan udara.

Peternakan sapi perah di Temanggung, Jawa Tengah. Dok. TEMPO/STR/Wisnu Agung Prasetyo

Polusi nitrogen pun turut menjadi masalah lingkungan utama di Eropa karena mengancam kualitas air dan udara. Pada 2022, Uni Eropa menyepakati batas maksimal polusi nitrogen, terutama di sektor pertanian dan peternakan.

Batasan tersebut mau tak mau bakal memangkas jumlah sapi perah di Belanda yang saat ini menjadi negara penghasil polusi nitrogen tertinggi di Eropa. Hal ini membuat Belanda harus mengurangi 40 persen populasi sapi perahnya.

Strategi yang Tepat

Indonesia tak boleh menyepelekan risiko polusi dan emisi dari program susu gratis. Peningkatan emisi dari sektor ini bisa menghalangi komitmen Indonesia untuk meredam emisi sektor peternakan sebanyak 32-43 persen pada 2030. Indonesia juga menandatangani Global Methane Pledge (GMP) 2021 untuk mengurangi emisi metana sebesar 30 persen pada akhir 2030.

Karena itulah, pemerintah sebaiknya mengaji ulang kelayakan program susu gratis. Apalagi susu bukanlah sumber nutrisi yang umum: hanya menyumbang 1,5 gram dari total 80 gram konsumsi protein harian per kapita secara nasional. Studi ilmuwan lintas negara pada 2021 justru menyarankan Indonesia melakukan diversifikasi pangan, salah satunya melalui pengembangan ikan dan makanan laut lainnya.

Namun, apabila pemerintah menginginkan program susu gratis tetap dilanjutkan, Indonesia setidaknya perlu melaksanakan beberapa strategi untuk mengurangi dampak lingkungannya.

1. Peningkatan produktivitas

Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah peningkatan produktivitas sapi yang ada melalui perbaikan pakan dan genetika sapi perah.

Saat ini, produksi susu sapi Indonesia hanya 1.653 kilogram per ekor per tahun. Angka tersebut lebih rendah dibanding rata-rata produksi susu sapi perah di Thailand dan Vietnam, yang masing-masing 4.432 kilogram per ekor per tahun dan 3.621 kilogram per ekor per tahun.

Jika strategi peningkatan produktivitas ini dilaksanakan, pemerintah dapat meninggalkan fokus program peningkatan populasi sapi perah sebagai strategi utama meningkatkan produksi susu sapi nasional.

Pekerja peternakan memerah sapi di kawasan Mampang, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

2. Pengendalian emisi metana

Strategi lainnya adalah pengendalian emisi metana melalui penggunaan pakan tanaman hijauan dan biji-bijian dengan nilai kecernaan yang lebih tinggi.

Pemerintah juga dapat memperbanyak penelitian seputar potensi pakan yang dapat meredam emisi metana dari sapi perah. Penelitian seputar hal tersebut sampai saat ini masih sangat terbatas di Indonesia. Pemerintah perlu mengalokasikan dana, mendukung investasi, dan kerja sama internasional untuk menambah riset dan pengembangan pakan sapi perah.

Selama studi teknis dan keekonomian berlangsung, pemerintah dapat memperbanyak pasokan produk suplemen sapi yang mengandung bahan aktif, seperti tanin, saponin, dan 3-nitrooxypropanol (3-NOP), untuk mengurangi jumlah mikroba yang pembentuk gas metana dalam sistem pencernaan sapi. Selama ini suplai produk suplemen tersebut masih sangat sedikit.

Pemerintah juga perlu meringankan beban ekonomi peternak dalam penyediaan pakan tambahan. Pada umumnya, peternak akan ragu untuk memberikan pakan jenis baru kepada ternaknya apabila biaya pakan meningkat dan ketiadaan jaminan produksi susu meningkat setelahnya.

3. Pemanfaatan kotoran sapi

Strategi berikutnya adalah pemanfaatan kotoran sapi perah untuk produksi biogas, kompos, dan pupuk. Sejauh ini, masih sedikit peternakan yang melaksanakan program biogas karena keterbatasan lahan dan kemampuan peternak dalam memelihara reaktor biogas. Pemanfaatan untuk kompos dan pupuk juga terhalang kendala teknis, seperti ketersediaan tenaga kerja, akses lahan, serta pasar.

Pemerintah perlu menyokong program biogas bersamaan dengan pelaksanaan program susu gratis. Biogas bisa menyokong ketahanan energi di kawasan peternakan sekaligus mengurangi ketergantungan pupuk kimia di daerah pertanian. Strategi ini juga dapat mengurangi pencemaran amonia ke tanah ataupun air, sekaligus meredam emisi metana ke atmosfer.

Berita Lainnya