Ladang Panen Energi Surya

Indonesia berkejaran dengan waktu untuk memenuhi janji bebas dari PLTU batu bara. Mengapa PLTS atap jadi opsi transisi tercepat?

Tempo

Sabtu, 10 Februari 2024

INDONESIA berjanji mengurangi listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara bertahap hingga ke titik nol pada 2050. Harapannya, asap-asap dari PLTU tak lagi berkeliaran mengotori bumi dan membikin kita sesak napas.

Lantas bagaimana menggantikan pasokan listrik PLTU yang berkurang tersebut? Bagaimana nanti Indonesia menyiapkan energi untuk populasi yang bertumbuh dan makin sejahtera? Bagaimana nanti Indonesia menyiapkan setrum untuk kendaraan listriknya?

Penelitian kami di Australian National University sebelumnya mengungkapkan Indonesia dapat mengandalkan energi surya yang potensinya sekitar 2.000 kali lebih besar daripada konsumsi listrik Indonesia saat ini. Pasokan listrik PLTU tersebut dapat digantikan oleh produksi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 3.700 gigawatt (GW).

Indonesia yang sejahtera dan bebas karbon membutuhkan sekitar 10 miliar panel surya pada 2050. Panel-panel tersebut dapat diletakkan di atap bangunan, lahan bekas tambang, terapung di danau, waduk, bahkan di atas perairan laut Indonesia yang sangat luas dan relatif tenang. Miliaran panel ini hanya membutuhkan lahan seluas 25 ribu kilometer persegi atau hanya 0,3 persen dari total luas wilayah Indonesia.

Kendati demikian, meletakkan miliaran panel tak segampang membuat mi instan. Indonesia membutuhkan peta jalan pengembangan panel surya untuk program energi bersih jangka panjang, pengadaan berskala besar, hingga pasokan peralatannya.

Sembari menyiapkannya, Indonesia tetap perlu menambah pasokan energi bersih. Salah satu usaha tercepat yang sangat memungkinkan untuk kita tempuh adalah memperbanyak pemasangan PLTS di atap bangunan, termasuk di rumah-rumah.

Warga mengisi daya gawainya di stasiun pengisi daya listrik bertenaga surya di kawasan Transit Oriented Development (TOD) Dukuh Atas, Menteng, Jakarta, 2022. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W

Mengapa PLTS Atap?

PLTS atap adalah salah satu cara mudah dan cepat bagi Indonesia untuk menambah pasokan energi ramah lingkungan.

Karena dipasang di atas atap, PLTS ini tidak memerlukan lahan khusus sebagaimana PLTS konvensional (ground-mounted). Panel surya bisa dipasang di atap rumah, gedung perkantoran, tempat parkir, rumah sakit, hotel, pasar swalayan, sekolah, rumah ibadah, pergudangan, dan pabrik.

Ongkos pemasangan PLTS atap ini memang bersumber dari dana masyarakat sendiri atau swasta, bukan dari pemerintah. Namun pemasangannya membuat penyediaan listrik kita lebih efisien. Adanya PLTS atap di rumah kita membuat sumber listrik menjadi sangat dekat. Ini mengurangi kehilangan energi/susut jaringan yang pasti terjadi dalam proses pengiriman listrik melalui kabel PT PLN yang jauh dari konsumen.

Per Desember 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat terdapat 8.491 pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Total kapasitasnya mencapai 141 megawatt (MW), hampir menyamai kapasitas PLTS terapung Cirata di Jawa Barat.

Jumlah terpasang itu baru sebagian kecil saja dari potensi yang ada di Indonesia—yang diperkirakan mencapai 500 ribu MW.

Proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di atas Waduk Cirata, Jawa Barat, September 2023. Tempo/Tony Hartawan

Teladan dari Negeri Kanguru

Indonesia dapat mencontoh Australia yang tekun mendorong warganya memasang PLTS atap. Saat ini di Negeri Kanguru terdapat 3,5 juta rumah, sekitar sepertiga, yang telah memasang PLTS atap. Sumbangannya mencapai 8 persen dari total pembangkitan listrik nasional.

Australia, dengan jumlah penduduk sepersepuluh penduduk Indonesia, menghasilkan tiga perempat listrik lebih banyak dibanding Indonesia. Saat ini 40 persen listrik Australia berasal dari energi terbarukan, sebagian besar energi surya dan angin. Jumlah ini meningkat delapan kali lipat dalam satu dekade terakhir. Harga listrik (wholesale) Australia tidak berubah selama transisi yang cepat ini. Porsi energi terbarukan ditargetkan mencapai 82 persen pada 2030.

Setiap bulan, Australia memasang panel surya sebanyak-banyaknya di atap rumah dan bangunan—setara dengan 3.500 MW per tahun. Indonesia dapat mencontoh hal ini serta mendorong masyarakat dan swasta beramai-ramai memasang PLTS atap.

Di Australia, ongkos pasang PLTS atap berkapasitas 10 kilowatt sekitar US$ 10 ribu. PLTS ini cukup untuk satu keluarga yang terdiri atas lima orang kaya yang tinggal di rumah serba-listrik dengan pendingin ruangan dan kendaraan listrik. PLTS ini memiliki umur sekitar 25 tahun dengan perawatan yang sangat rendah. Di Indonesia, PLTS atap sebesar ini dapat menghasilkan hingga 330 ribu kilowatt-jam (kWh) selama umur pakainya dan mengurangi emisi karbon sekitar 300 ton.

Australia memberikan insentif pemasangan PLTS atap yang dapat menurunkan harga hingga 70 persen dari harga pasar. Insentifnya menurun dari tahun ke tahun dan akan dihapus pada 2030. Rangsangan pemasangan PLTS bervariasi, bergantung pada negara bagian. Pemerintah Negara Bagian Victoria, misalnya, mengguyur subsidi harga (rebate) hingga AU$ 1.400 (sekitar Rp 15 juta). Ada juga opsi kredit ongkos panel surya atap tanpa bunga untuk rumah hunian atau rumah yang sedang dibangun.

Insentif yang diberikan untuk masyarakat di Canberra malah lebih besar. Angkanya mencapai AU$ 2.000 untuk subsidi dan plafon pinjaman hingga AU$ 15 ribu. Insentif ini memungkinkan industri tenaga surya Australia tumbuh menjadi skala besar serta menghasilkan sistem yang berbiaya rendah dan dapat diandalkan. Indonesia dapat meniru Australia.

Kapasitas pembangkitan listrik yang dikelola National Electricity Market di Australia sebesar 65 gigawatt—hampir sama dengan total kapasitas pembangkit listrik (milik PLN dan swasta) di Indonesia yang mencapai 69 gigawatt. Sistem listrik Australia—yang secara kapasitas hampir sama besar dengan Indonesia—mampu beroperasi tanpa masalah berarti, meskipun terdapat pasokan energi surya dari PLTS atap dan angin (variable renewable energy) yang mencapai 100 persen pada jam-jam tertentu. Indonesia bisa belajar bagaimana cara Australia mengelola jaringan listriknya tetap andal.

Warga pemilik panel surya membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya di atap rumahnya di Sragi, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. ANTARA/Harviyan Perdana Putra

PLTS Membuat Listrik byar-pet?

Salah satu persoalan yang dipikirkan Indonesia untuk memakai energi surya secara besar-besaran adalah faktor kestabilan pasokan listriknya. Hal ini wajar, mengingat matahari tidak bersinar sepanjang hari.

Namun sistem kelistrikan Australia mampu beroperasi dengan lancar dan dapat diandalkan, meskipun energi terbarukan lebih dari 70 persen selama beberapa jam dalam sehari. Indonesia dapat belajar dari cara Australia mengelola jaringan listriknya dengan andal. Energi surya dan angin yang bervariasi dapat diatasi dengan teknologi penyimpan energi untuk menstabilkan pasokan listrik.

Riset kami terdahulu mengungkap bahwa di Indonesia terdapat potensi pengembangan PLTA pumped storage jenis off-river (tanpa membendung sungai) di 26 ribu lokasi. PLTA jenis ini dapat dioperasikan sebagai “baterai alami” penyimpan energi.

Untuk mendukung pemanfaatan energi surya 100 persen, Indonesia akan membutuhkan fasilitas penyimpanan energi dengan total kapasitas sekitar 1.100 GW untuk menyimpan daya selama 10 jam (11 TWh) atau hanya sebagian kecil dari total potensi PLTA pumped storage tersebut.

Made with Flourish

Selain andal, riset terbaru kami turut menemukan penggunaan teknologi pumped storage lebih hemat biaya. Dengan skenario 100 persen listrik energi terbarukan yang dipasok dari dominan energi surya, biaya pembangkitan listrik—termasuk pembangkitan, transmisi, penyimpanan energi, dan jaringan transmisi baru—hanya sebesar US$ 91 per megawatt-jam (MWh).

Ongkos ini lebih murah daripada rata-rata biaya pembangkitan PLN saat ini, US$ 98 per MWh. Biaya pembangkitan listrik yang kami hitung juga lebih murah jika Indonesia tidak menggunakan jaringan listrik antarpulau atau supergrid.

Jika ingin mengandalkan energi surya, Indonesia perlu meredam risiko kebakaran hutan. Sebab, kami menemukan bahwa terdapat periode waktu pada musim kemarau, saat matahari bersinar cerah, radiasi matahari justru lebih kecil.

Sebagai contoh, kami mengamati tingkat radiasi matahari di Tanjung Selor, Kalimantan Utara, pekan keempat pada Juni 2015 justru lebih rendah 36 persen dibanding pada 2010 pada periode waktu yang sama.

Kami menduga penurunan ini terjadi karena adanya kebakaran gambut dan hutan di Kalimantan. Produksi panel surya yang turun tiba-tiba karena efek asap kebakaran akan mengganggu keseimbangan pasokan. Akibatnya, kita perlu menyiapkan baterai berkapasitas lebih besar sehingga biaya tidak akan membengkak.

Instalasi panel surya di atap pabrik Coca-Cola Amatil Indonesia, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan

Apa yang Perlu Dilakukan?

Pemerintah perlu melakukan sejumlah tindakan untuk mempercepat penambahan kapasitas PLTS atap ataupun PLTS jenis lain di Indonesia.




Mengguyur insentif bagi pemasang PLTS atap di bangunan rumah tangga dan bisnis/industri sebagaimana pernah dilakukan pada 2022 dalam bentuk Sustainable Energy Fund. Dana ini dapat diambil dari sebagian dana Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP).

Mengalokasikan subsidi listrik yang tidak hanya mensubsidi pembangkit berbahan bakar fosil, tapi juga energi surya.



Membuat peta jalan energi surya. Indonesia perlu mempunyai peta jalan, baik pemanfaatan PLTS maupun peta pengembangan industri manufaktur panel surya, yang dapat jadi rujukan atau undangan bagi para investor untuk menanamkan modalnya ke Indonesia.





Menyiapkan produksi panel surya dalam negeri. Jika tidak mampu memproduksi panel suryanya sendiri, Indonesia hanya akan jadi konsumen. Untuk itu, Indonesia perlu menggenjot kapasitas produksi PLTS dalam negeri yang saat ini baru sebesar 1,6 GW per tahun. Selain itu, komponen seperti alat pengubah arus (inverter) perlu dibuat di dalam negeri. Dengan mengandalkan produksi domestik, dengan sendirinya porsi tingkat kandungan dalam negeri akan terpenuhi.

Sekali lagi, pemerintah perlu lebih serius mendorong pengembangan PLTS atap. Jika pada jutaan atap bangunan sudah terpasang panel surya, ketidaktersediaan lahan tidak lagi menjadi alasan atas sulitnya memenuhi listrik energi bersih Indonesia di masa depan.


Artikel ini ditulis oleh David Firnando Silalahi, kandidat doktor School of Engineering Australian National University, dan Andrew Blakers, profesor dari Australian National University. Terbit pertama kali di The Conversation.

Berita Lainnya