Seperti Apa Posisi Hukum Perempuan Pelaku Kekerasan terhadap Pasangannya

Aparat penegak hukum diharuskan memiliki perspektif gender dalam penanganan kasus yang melibatkan perempuan. 

Tempo

Kamis, 22 Agustus 2024

AKHIR-akhir ini saya membaca berita tentang perempuan yang menjadi pelaku kekerasan, seperti kasus istri membakar suami atau istri menyiram kemaluan suami dengan air keras. Mereka melakukan itu pasti ada sebabnya. Tapi apakah para penegak hukum akan memahami kondisi mereka sehingga melakukan tindakan tersebut?

Putri

Jawaban:

Halo, Putri. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Dalam pertanyaan Saudara, kasus perempuan berhadapan dengan hukum yang menjadi contoh adalah kasus polisi wanita yang membakar suaminya karena gaji ke-13 digunakan untuk bermain judi online. Selanjutnya, kasus istri menyiram air keras (asam sulfat) dan air cabai pada penis suami setelah mengetahui dari akun Facebook bahwa suaminya telah menikah lagi. Betapa sulitnya perempuan menghadapi lika-liku kehidupan berumah tangga.

Sekilas, jika kita hanya membaca berita yang ramai beredar di media, tentulah secara mudah tanpa analisis gender yang komprehensif segera menyimpulkan bahwa keterlibatan perempuan berhadapan dengan hukum ini adalah sebagai pelaku. Penting untuk kita sebagai masyarakat dapat berperan serta mengawal perkara perempuan berhadapan dengan hukum (PBH). Mengapa demikian? Sebab, pada kenyataannya, banyak permasalahan yang dihadapi PBH dalam penanganan perkara, yaitu:

1. Aparat penegak hukum belum memiliki perspektif gender

Aparat penegak hukum (APH) dalam setiap tingkat pemeriksaan masih banyak yang belum memiliki perspektif gender saat menangani perkara yang melibatkan PBH, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi, sehingga rentan terjadi bias gender. Seharusnya APH bersikap sebagai berikut:

Jadi yang seharusnya ditelaah tidak hanya terbatas pada kejadian yang dilaporkan. Hal ini perlu dipahami, mengingat riwayat kekerasan cenderung ditemukan dalam kekerasan terhadap perempuan berbasis gender seperti dalam kasus KDRT dan kekerasan seksual. Apakah kekerasan terjadi berulang atau ternyata telah dilakukan pada saat lampau, atau sebelum peristiwa/kejadian terakhir yang dilaporkan. Dengan demikian, hakim berkesempatan membuat terobosan untuk memberikan akses keadilan bagi PBH. Akhirnya, hakim dapat menggunakan putusannya sebagai ruang keadilan bagi pencari keadilan, dalam hal ini bagi PBH. 

2. PBH yang menjadi pelaku rentan mendapat stigma

Dalam konstruksi patriarki, PBH yang menjadi korban ataupun pelaku rentan mendapat stigma. Dalam situasi kehidupan yang dikelilingi patriarki, perempuan pelaku dianggap bukan perempuan baik-baik, tidak bermoral, atau bahkan telah menyalahi kodratnya yang seharusnya mampu bersabar dalam berbagai situasi dan kondisi serta tidak melawan kekerasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya. 

3. PBH yang menjadi pelaku sering kali tidak didampingi oleh pendamping dan/atau penasihat hukum

Fakta bahwa PBH tidak didampingi oleh pendamping dan/atau penasihat hukum ternyata masih ditemukan. Ketidakhadiran pendamping disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan informasi, finansial, serta akses bantuan mengenai hak-hak hukum perempuan sebagai terdakwa. Selain itu, APH tidak menunjuk/memberi kesempatan kepada PBH untuk didampingi penasihat hukum atau perempuan sebagai terdakwa juga sering didampingi oleh penasihat hukum secara berganti-ganti sehingga tidak memperoleh pendampingan hukum secara maksimal.

Pada umumnya, dalam kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, seperti kekerasan seksual, KDRT, dan perdagangan orang, pelaku/ korban adalah orang yang dikenal serta memiliki relasi khusus, baik relasi domestik maupun relasi kuasa, sehingga sangat diperlukan adanya pendamping di persidangan, mengingat besarnya dampak psikologis. Selain itu, kehadiran pendamping dalam setiap tahap atau tingkatan pemeriksaan bagi PBH sebagai pelaku ataupun korban menjadi hal penting karena beberapa alasan, di antaranya:

Pertama, pendamping bisa meningkatkan rasa nyaman, keberanian, dan kepercayaan diri PBH dalam menghadapi persidangan yang umumnya berlangsung dalam atmosfer yang penuh tekanan. 

Kedua, pendamping berperan memberikan informasi serta memastikan kenyamanan psikologis dan perlindungan hak PBH.

Ketiga, kehadiran pendamping tidak hanya bermanfaat bagi PBH, tapi juga bagi kelancaran persidangan, mengingat penguatan psikis PBH akan memperlancar PBH saat memberikan keterangan di persidangan.

Dari permasalahan yang dihadapi di atas, sebenarnya PBH berhak mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan pembelaan selama dalam tahap pemeriksaan dan berhak memilih sendiri penasihat hukumnya. Pada akhirnya, APH dalam penanganan perkara harus mampu mempertimbangkan kondisi ketidaksetaraan perlindungan hukum dan riwayat kekerasan yang berdampak pada akses keadilan yang selama ini terjadi kepada perempuan di kalangan masyarakat patriarki.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Tutut Tarida
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender

Berita Lainnya