Mekanisme Pembatalan Perkawinan Anak

Pemaksaan perkawinan anak anak bisa dibatalkan. Bagaimana mekanismenya?

Tempo

Kamis, 11 Juli 2024

SAYA Linda, 39 tahun, dari Jakarta. Saya janda dengan satu putri berusia 16 tahun berinisial DN. Dia tinggal dalam asuhan saya sejak usia 12 tahun saat saya bercerai dengan ayahnya. Walau demikian, DN tetap saya perbolehkan bertemu dengan ayahnya. 

Biasanya mantan suami saya, yang sudah menikah lagi dan tinggal di Cikarang, menjemput DN saat libur sekolah. Pada liburan panjang Juli 2023, mantan suami saya menjemput DN untuk mengajak dia ke Cikarang. Saat pulang ke rumah, DN bercerita bahwa dia dijodohkan dengan teman kerja ayahnya di pabrik berinisial MS (26 tahun). DN bilang kepada saya bahwa dia tidak mau menikah dengan MS. 

Pada April 2024, mantan suami saya menikahkan DN dengan MS di Cikarang tanpa sepengetahuan dan seizin saya. Padahal DN masih duduk di kelas XI sekolah menengah kejuruan (SMK). Saya baru tahu ketika DN pulang dan menangis sambil bercerita soal pernikahan secara paksa itu.

Saya marah dan melaporkan mantan suami ke polisi, tapi polisi meminta kami menyelesaikannya secara kekeluargaan lebih dulu. Menurut polisi, DN bisa mengajukan gugatan pembatalan perkawinan jika tidak menginginkannya. 

Pertanyaan saya, bisakah perkawinan putri saya dengan MS dibatalkan? Jika bisa, bagaimana caranya? Kemudian apakah proses hukum terhadap mantan suami saya bisa dilanjutkan? Mohon bantuan informasi penyelesaian hukumnya. Terima kasih.

Ilustrasi seorang anak menggambar tentang pernikahan anak. Dok UNICEF Indonesia/2015/Nick Baker

Jawab:
Halo Ibu Linda, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum Perempuan. Kami turut prihatin atas pemaksaan pernikahan terhadap DN yang masih berusia anak oleh ayah kandungnya. Tindakan Anda melaporkan mantan suami ke polisi sudah benar karena dia telah melakukan pemaksaan perkawinan terhadap DN.

Pemaksaan perkawinan terhadap DN melanggar ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang berbunyi:

(1) Setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 
(2) Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. perkawinan anak; b. pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau c. pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan. 

Pemaksaan itu juga melanggar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang itu mengatur batas usia perkawinan, yaitu apabila laki-laki dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun.

Mengenai pertanyaan Anda apakah pernikahan DN dengan MS dapat dibatalkan, jawabannya sangat bisa karena pernikahan dilakukan terhadap seseorang yang belum cukup umur dan atas paksaan. 

Suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi persyaratan dalam UU Perkawinan. Karena itu, perkawinan juga dapat dibatalkan jika pihak yang melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Selain itu, perkawinan bisa dibatalkan jika ada sebuah kondisi yang membuat perkawinan tersebut dapat atau harus dibatalkan karena merugikan salah satu pihak.

Artinya, pembatalan perkawinan hanya bisa dilakukan apabila telah terjadi dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) ataupun Kantor Catatan Sipil (KCS). Pembatalan perkawinan bisa dilakukan jika di kemudian hari diketahui terdapat permasalahan yang menyangkut persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Pembatalan perkawinan juga berbeda dengan perceraian. Hal yang membedakan keduanya adalah status perkawinannya. Perkawinan dapat dibatalkan karena terdapat alasan yang menyebabkan perkawinan tidak sah. Sementara itu, dalam perceraian, sebuah perkawinan telah dinyatakan sah, tapi ada alasan yang membuat suami-istri tidak dapat mempertahankannya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan dapat “batal demi hukum” dan “dapat dibatalkan”. Pernikahan yang batal demi hukum disebabkan oleh adanya pelanggaran pada larangan pernikahan. Sementara itu, perkawinan dapat dibatalkan karena adanya pelanggaran pada syarat perkawinan yang merugikan salah satu pihak. 

Pasal 72 KHI menjelaskan sebab atau alasan pembatalan perkawinan, di antaranya:

1. Permohonan pembatalan nikah dapat diajukan oleh suami atau istri jika pada saat terjadi pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.

2. Suami atau istri bisa mengajukan permohonan pembatalan nikah jika pernikahan tersebut dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

3. Jika ancaman sudah berhenti atau yang bersalah tersebut menyadari keadaannya serta dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih bisa hidup sebagai suami-istri dan tidak menggunakan haknya untuk membatalkan perkawinan, maka haknya tersebut gugur.

Sementara itu, berdasarkan Pasal 22-28 UU tentang Perkawinan dan Pasal 37-38 serta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974, alasan-alasan yang dapat membatalkan perkawinan adalah:

1. Adanya perkawinan padahal para pihak masih terikat dalam perkawinan yang sah (atau masih dalam masa idah).
2. Perkawinan dilangsungkan di muka pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang.
3. Perkawinan dengan wali yang tidak sah/tidak berhak.
4. Perkawinan tidak dihadiri dua saksi.
5. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum/dengan paksaan.
6. Perkawinan yang dilangsungkan karena terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
7. Perkawinan melanggar batas umur perkawinan yang ditentukan.

Adapun permohonan/gugatan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama apabila DN dinikahkan secara agama Islam dan dicatatkan di KUA atau ke Pengadilan Negeri apabila DN dinikahkan secara agama Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, atau lainnya serta dicatatkan di KCS. 

Tentang siapa yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan, Pasal 86 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyebutkan, “Orang yang karena perkawinan lebih dulu telah terikat dengan salah satu dari suami istri, oleh suami istri itu sendiri, oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, oleh segala mereka yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan tersebut, juga oleh instansi kejaksaan.”

Dengan begitu, pengajuan pembatalan bergantung pada bagaimana kasus perkawinan tersebut. Jika perkawinan itu melanggar Pasal 27 KUH Perdata soal prinsip monogami, pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh:
1. Suami/istri dari perkawinan yang dahulu.
2. Suami dan istri dari perkawinan yang sekarang.
3. Keluarga sedarah dalam garis ke atas.

Jika pembatalan perkawinan dilakukan karena salah satu/pasangan belum mencapai umur yang disyaratkan, pembatalan dapat diajukan oleh orang yang belum mencapai umur itu atau oleh kejaksaan.

Pembatalan perkawinan juga memiliki batas waktu pengajuan atau kedaluwarsa, yaitu enam bulan setelah dilaksanakan. Apabila DN dinikahkan pada April 2024, pengajuan gugatan pembatalan perkawinan bisa dilakukan saat ini karena usia perkawinannya baru tiga bulan.

Adapun syarat pendaftaran pengajuan gugatan pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut:

1. surat permohonan (tujuh rangkap) + soft copy;
2. fotokopi KTP;
3. fotokopi KK;
4. asli kutipan akta nikah;
5. fotokopi kutipan akta nikah;
6. surat keterangan dari kepolisian bahwa telah terjadi penipuan, pemaksaan, dan/atau pemalsuan identitas pada saat menikah;
7. membayar panjar biaya perkara.

Soal laporan Anda kepada polisi, jelas bisa ditindaklanjuti menggunakan UU TPKS. Laporan itu juga bisa dijadikan sebagai bukti dokumen dalam persidangan pembatalan perkawinan.

Ilustrasi buku nikah. Dok.TEMPO/Fully Syafi

Berikut ini tahapan gugatan pembatalan perkawinan:

1. Pihak beperkara datang ke Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri, lalu ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk berkonsultasi dengan petugas meja informasi mengenai persyaratan apa saja yang harus dipenuhi.

2. Pihak beperkara membuat surat permohonan/gugatan yang berisi identitas, posita, dan petitum secara tertulis atau lisan yang ditujukan kepada Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, lalu ke kasir untuk tafsir panjar biaya perkara.

3. Kasir akan memberikan tafsiran panjar biaya perkara dan menyerahkan satu lembar slip setoran bank yang telah divalidasi kepada pihak beperkara.

4. Para pihak membayar panjar biaya perkara ke bank, lalu kembali ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri dan menuju petugas meja pendaftaran.

5. Para pihak menunjukkan bukti pembayaran dan berkas-berkas pendaftaran kepada petugas meja dua. Petugas meja pendaftaran akan memberikan SKUM, blangko bukti pembayaran PNBP, serta satu lembar surat gugatan yang telah diberi tanda pendaftaran dan nomor perkara.

6. Pendaftaran selesai. Juru sita atau juru sita pengganti akan datang ke alamat kedua pihak yang beperkara sesuai dengan yang tercantum dalam surat gugatan untuk melakukan pemanggilan sidang setelah ditetapkan hari sidangnya oleh majelis hakim.

7. Persidangan dilakukan. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, para pihak yang beperkara dapat meminta salinan putusan (sesuai dengan arahan majelis hakim).

Demikian Ibu Linda penjelasan kami. Semoga dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang Anda hadapi dan gugatan pembatalan pernikahan DN dengan MS segera dapat dijalankan dengan lancar. Semoga DN bisa kembali melanjutkan sekolah untuk menggapai cita-cita. 

Sri Agustini
Advokat Probono LBH APIK Jakarta

Berita Lainnya