Anak dengan Autisme di Sekitar Kita

Kekerasan terhadap anak dengan autisme terjadi akibat minimnya pemahaman masyarakat atas kondisi unik mereka.

Tempo

Jumat, 19 Januari 2024

Autistik merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya gangguan saraf otak (neurologis) yang berpengaruh pada tiga area dalam perkembangan awal anak, yaitu bahasa, perilaku, dan sosial.

Kondisi khas ini membuat anak autistik kerap menghadapi stigma di masyarakat. Bahkan di lingkungan pendidikan, selain akses layanan yang belum merata dan memadai, beberapa guru belum sepenuhnya berperspektif inklusif sehingga anak dengan semakin diperlakukan secara diskriminatif.

Hal ini terlihat jelas dalam beberapa kasus. Sebut saja dugaan guru yang menganiaya anak didik disabilitas di Makassar, Sulawesi Selatan, atau kekerasan verbal oleh guru terhadap anak autis di sekolah luar biasa (SLB) di Surabaya, Jawa Timur.

Dari kasus-kasus tersebut, tampak jelas beratnya perjalanan individu autistik dalam mendapat layanan yang mereka butuhkan atau sekadar mendapat penerimaan dari publik.

Apa yang sebenarnya dibutuhkan?

Ilustrasi anak autistik. PEXELS

Instrumen yang Tepat

Saat orang tua datang ke pihak yang dianggap lebih ahli, seperti dokter, psikolog, guru, dan terapis, sebagian dari mereka sering menggunakan instrumen standar untuk menilai anak autistik. Instrumen standar ini pada dasarnya dirancang untuk individu non-autistik sehingga tidak pas jika digunakan untuk anak autistik.

Menurut Adriana Ginanjar, Ketua Yayasan Autisma Indonesia, kemampuan kognisi anak autistik belum terukur melalui tes inteligensi standar. Situasi tes ini tidak cocok dengan karakter anak autis karena menuntut respons yang tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Anak autis juga bisa kewalahan dengan input sensorik, merasa tidak nyaman dengan situasi tes, serta merasa asing dengan orang baru (penguji). Masalah perilaku, seperti hiperaktif, tantrum, dan gerakan yang berulang, membuat anak autis tidak dapat menyelesaikan tes dengan baik. Tes-tes standar juga tidak mempertimbangkan apakah terdapat kelebihan yang dimiliki oleh anak-anak autis, seperti kemampuan melukis, menulis puisi, memasak, atau berenang.

Ada juga piramida sistem saraf dari Mary Sue Williams dan Sherry Shellenberger, terapis okupasional asal Amerika Serikat. Piramida ini menggambarkan bahwa proses tumbuh kembang anak yang optimal terjadi ketika semua bagian pada dasar piramida berkembang dengan baik. Barulah kemudian bergerak ke atas hingga mencapai puncak piramida, yaitu pembelajaran yang lebih akademik. Piramida ini sering digunakan untuk mengukur kemampuan anak autistik.

Pada individu autistik, proses perkembangan bisa berlangsung kompleks dan tidak selamanya berjalan berdasarkan alur piramida. Ada individu autistik yang masih perlu latihan dengan indra peraba, tapi menjadi ilmuwan. Ada pula seorang autistik yang menjadi pembicara di berbagai forum, tapi masih kesulitan mengancing bajunya atau tidak bisa bersepeda.

Woo Young-woo dalam film serial televisi Korea Extraordinary Attorney Woo merupakan gambaran dari kondisi ini. Woo adalah pengacara autistik yang tidak bisa melewati pintu berputar di kantornya, pintu yang bisa dilalui dengan mudah oleh individu neurotipikal. Ketidakmampuannya dalam melewati pintu berputar justru berbanding terbalik saat di persidangan. Dia bisa sangat garang sehingga memenangi banyak kasus.

Dalam kehidupan nyata, ada Temple Grandin, ahli ilmu hewan ternama di Colorado State University, Amerika. Grandin masih berlatih mendekati pintu-pintu otomatis di pusat belanja sama seperti Woo, meski ia telah meraih gelar profesor.

Ilustrasi anak autistik. PEXELS

Kategorisasi yang Hati-hati

Tak dimungkiri bahwa anak autistik harus menjalani serangkaian terapi dan latihan agar dapat mandiri dalam keseharian. Namun individu autistik memiliki kondisi yang khas yang tidak sama satu dengan lain. Karena itu, kategorisasi autis juga mesti dipandang secara bijak.

Autistik nonverbal, misalnya, dianggap berada pada kategori yang parah, padahal beberapa autistik nonverbal justru menunjukkan keterampilan dan dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Ada pula autistik yang dapat berkomunikasi secara verbal tapi masih memiliki tantangan sensorik, seperti peka terhadap suara dan tidak nyaman di keramaian.

Salah satu penentuan kriteria terbaru memakai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), yang disusun oleh Asosiasi Psikiatri Amerika. Tujuannya agar terdapat satu sistem klasifikasi diagnostik. DSM-5 dianggap sebagai kemajuan dari DSM sebelumnya yang merinci ke dalam beberapa kategori. Pada DSM-5, dengan berbagai gejala digambarkan berada dalam payung besar yang disebut dengan spektrum.

Penerimaan

Kondisi individu autistik sering kali dilihat sebagai keanehan alih-alih perbedaan. Pendekatan dan model medis dalam penanganan anak autis lebih cenderung melihat mereka sebagai sebuah kekurangan dan sesuatu yang harus diperbaiki, bukan bagian dari kepribadian atau jati dirinya.

Karena itu, kita memerlukan perspektif menyeluruh untuk memandang kondisi anak autistik dengan mengidentifikasi kebutuhan dan potensinya serta menyusun program layanan. Inklusivitas adalah cara pandang yang didasarkan pada penerimaan. Jika penerimaan tidak dihadirkan, orang-orang yang terlibat dalam proses tumbuh anak autis, seperti guru, keluarga, bahkan orang tuanya sendiri, akan mengalami rasa frustrasi berkepanjangan.

Di sisi lain, terdapat stigma di masyarakat yang masih memandang individu autistik sebagai kecacatan atau karma karena perbuatan buruk orang tuanya. Masyarakat juga kerap ragu akan kapasitas orang tua ketika anak autisnya tidak mengalami perkembangan.

Perspektif inklusif ini pada kenyataannya memang nyaris absen dalam ruang-ruang sosial kita. Berpandangan inklusif berarti dapat menerima, merangkul, dan mengikutsertakan anak dengan dalam kehidupan sehari-hari.

Kita membutuhkan sosialisasi dan advokasi untuk menciptakan penerimaan di masyarakat luas. Sebelum itu, penerimaan mesti hadir dari orang tua, kerabat, hingga pihak yang dijadikan mitra oleh individu autistik.

---

Artikel ini ditulis oleh Arida Erwianti, dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kusuma Negara, Jakarta. Terbit pertama kali di The Conversation.

Berita Lainnya