Kepemimpinan Pengaruhi Budaya Toksik di Kantor
Di suatu titik, setiap pekerja mengalami perlakuan budaya toksik di kantor. Tak berbentuk perundungan, tapi tetap harus dilawan.
Tempo
Sabtu, 19 Agustus 2023
Kamu tengah berada di sebuah rapat, dengan sesuatu yang penting untuk disampaikan. Namun, saat kamu baru mulai berbicara, kolegamu menghela napas dan bertukar pandangan dengan temannya. Dan itu bukan untuk pertama kalinya.
Hubungan di tempat kerja memang tak selalu harmonis. Entah itu di kafe, pabrik, atau parlemen, orang-orang melakukan dan mengatakan hal-hal yang menyakitkan. Mereka bisa saja berbicara kepadamu dengan nada merendahkan, “menegurmu” di depan umum, membuat gurauan yang menyakitkan, bergosip di belakangmu, atau bahkan mendiamkanmu.
Bentuk-bentuk tindakan kasar dan tak menyenangkan di tempat kerja, yang kerap dikenal dengan istilah “workplace incivility”, memiliki intensitas yang cukup rendah untuk bisa kamu laporkan ke bagian SDM dan mendapat penyelesaian yang memuaskan. Umumnya, organisasi memiliki aturan untuk melawan tindakan rasisme, seksisme, pelecehan, atau perundungan lainnya. Namun incivility—dengan dampak yang tak tampak dan sulit dibuktikan—cenderung tak terdeteksi.
Kebanyakan dari kita akan menjumpai incivility pada suatu titik selama kita bekerja. Lebih dari 50 persen karyawan mengalaminya tiap minggu. Menurut sebuah metaanalisis terhadap 105 studi tentang perilaku ini, kamu akan lebih mungkin mengalaminya jika kamu karyawan baru, perempuan, berada di posisi bawahan, atau berasal dari etnis minoritas.
Kata-kata yang tidak baik dan tak dipikirkan memiliki pengaruh. Seperti yang dikatakan ahli bahasa Louise Banks dalam film pada 2016, Arrival: “Bahasa adalah senjata pertama yang ditembakkan dalam sebuah konflik.”
Apa yang orang katakan dan bagaimana mereka mengatakannya sangat mempengaruhi kita. Satu komentar kejam dapat merusak seluruh harimu. Jika dibiarkan, perilaku semacam ini membuat tempat kerja menjadi toksik.
Mengapa Orang Berperilaku Kasar terhadap Orang Lain?
Mudah untuk sekadar menyalahkan karakter buruk seseorang. Memang, perilaku seperti ini lebih mungkin datang dari orang-orang yang memiliki gangguan kepribadian, terutama dari “tiga serangkai kegelapan”: narsisisme, psikopati, dan Machiavellianism.
Narsisis terobsesi pada diri sendiri dan mendominasi interaksi sosial. Psikopat kurang empati dan tidak memahami norma sosial. Machiavellian adalah orang yang manipulatif, egois, dan amoral.
Namun orang “baik” pun bisa berperilaku kasar. Tiga pemicu utama incivility adalah rasa kecewa terhadap atasan, mendapat tekanan lebih besar dari yang bisa mereka tangani, atau orang lain berperilaku kasar duluan—baik terhadap mereka maupun orang lain.
Perilaku-perilaku ini dapat menjadi lingkaran jahat yang mengubah korban atau penonton menjadi pelaku. Dan seperti itulah tempat kerja toksik lahir, berkembang, dan langgeng.
Ilustrasi "workplace incivility". PEXELS
Perilaku Tak Menyenangkan di Tempat Kerja
Kepemimpinan membentuk atmosfer tempat kerja toksik. Kita adalah makhluk sosial serta belajar apa yang diharapkan dan yang dapat kita terima dari orang yang dijadikan panutan. Perilaku pemimpin kita—entah itu yang baik atau buruk—dapat menular dan menyebar ke penjuru organisasi.
Incivility yang paling berbahaya adalah yang datang dari atasan: seseorang yang semestinya kita percaya, yang seharusnya menjaga kita.
Adanya asimetris kekuasaan berarti perilaku yang tak seharusnya dari seorang pemimpin menjadi sulit dilawan. Ambil contoh Harvey Weinstein, yang selama puluhan tahun menyalahgunakan posisinya sebagai salah satu produser film paling sukses di Hollywood untuk mengeksploitasi perempuan secara seksual sebelum akhirnya ia dimintai pertanggungjawaban.
Namun seorang manajer bisa saja lalai dalam pekerjaannya tanpa dijadikan pelaku. Dalam kasus pelecehan seksual, misalnya, perilaku mereka kerap didiamkan karena mereka mungkin disukai sebagai orang yang berprestasi atau sebagai teman. Dengan kapasitas satu individu untuk menyengsarakan banyak kolega, kegagalan kepemimpinan dapat menimbulkan budaya toksik di tempat kerja.
Kepemimpinan Autentik
Para pemimpin bisa saja menjadi penggerak pertama dalam melawan perilaku-perilaku tak menyenangkan dan menciptakan budaya tempat kerja yang positif dengan perilaku mereka sendiri. Apa yang bisa ditoleransi seorang pemimpin akan menjadi standar terhadap bagaimana orang lain akan bertindak.
Bersama kolega saya, Stephen Teo dan David Pick, saya menyurvei 230 perawat di penjuru Australia mengenai kualitas kepemimpinan yang dapat mengurangi perilaku tak menyenangkan di tempat kerja.
Mengapa perawat? Karena pekerjaan mereka penuh tekanan dan tuntutan. Stres yang timbul dari menyediakan perawatan kritis untuk pasien menyuburkan situasi rawan konflik, dari memaki hingga melakukan kekerasan fisik.
Perilaku tak menyenangkan kerap ditemukan dalam profesi ini dan adanya berbagai faktor pemicu stres juga meningkatkan potensi kesalahan medis. Ini menjadi alasan penting untuk mengurangi perilaku tak menyenangkan dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan.
Riset kami menunjukkan bahwa kepemimpinan autentik mendukung berkembangnya budaya tempat kerja yang minim incivility dan dengan kesejahteraan yang lebih baik. Kepemimpinan autentik menyadari kekuatan dan kekurangannya, mengambil tindakan berdasarkan nilai yang mereka pegang meski di bawah tekanan, serta berupaya memahami bagaimana kepemimpinan mereka dapat mempengaruhi orang lain.
Ilustrasi "workplace incivility". PEXELS
Apa yang Dapat Kamu Lakukan?
Incivility tak boleh diabaikan. Ia tak boleh diamini hanya sebagai “bagian dari pekerjaan”.
Jika ini terjadi padamu atau pada rekan kerjamu, sekadar mendiamkannya tak akan membantumu atau kolegamu. Menahan diri dari perilaku ini melelahkan secara emosional, menanamkan rasa dendam, dan bisa saja menimbulkan konflik yang lebih besar di kemudian hari.
Meresponsnya dengan perilaku serupa juga bukan ide baik. Pembalasan dendam jarang bisa menghentikan orang yang memiliki perilaku sedemikian dan justru malah mempromosikannya secara efektif.
Salah satu pendekatan yang direkomendasikan psikolog ketika menghadapi orang-orang yang suka berkonflik adalah teknik “BIFF”: singkat (brief), informatif, ramah (friendly), dan tegas (firm).
Ketika seseorang mengatakan sesuatu yang jahat, kamu bisa setenang mungkin merespons dengan: “Komentarmu sangat menyakitkan dan merusak hubungan kerja kita. Mari kita tetap profesional.”
Jika perilaku mereka tidak berubah, dekati atasanmu. Sekali lagi, tetap tenang. Jelaskan apa yang terjadi dan bagaimana hal ini mempengaruhimu. Kamu juga tak harus melakukannya sendirian. Pertimbangkan untuk mengajak kolega-kolega yang bisa memberikan dukungan untukmu dan pernyataanmu.
Apakah hal ini akan menyelesaikan masalah? Mungkin saja tidak. Manajermu mungkin akan sekadar mengangkat bahu atau melakukan “mediasi” yang tak menyelesaikan apa pun. Namun tak mengatakan atau melakukan apa-apa sudah hampir pasti akan membuatmu merasa tidak puas.
Jika pelakunya adalah atasanmu, hubungi bagian SDM (jika organisasimu memilikinya) atau serikat kerjamu. Serikat dapat menawarkan nasihat mengenai jalan lain untuk menyelesaikan persoalan ini.
Badan hukum seperti Fair Work Ombudsman di Australia, Employment New Zealand di Selandia Baru, serta Layanan Penasihat, Konsiliasi, dan Arbitrase Inggris Raya memiliki wewenang untuk menyelidiki keluhan di tempat kerja dan campur tangan dalam perselisihan melalui konsiliasi formal atau arbitrase. Namun, sebelum memulai proses seperti ini, sebaiknya dapatkan nasihat ahli. Kamu mungkin mendapatkan keadilan, tapi juga masih perlu mencari pekerjaan lain.
Incivility tak akan bisa berhenti dengan sendirinya. Suaramu penting dan dapat membantu memutus siklus tersebut.
---
Artikel ini ditulis oleh Andrei Lux, dosen ilmu kepemimpinan dan direktur ilmu akademik di Edith Cowan University, Australia. Terbit pertama kali di The Conversation.