Stok Karbon Hutan Mangrove Indonesia 3 Miliar Ton, tak Cukup Kendalikan Suhu Global
Semua negara diharapkan submit New NDC paling lambat Februari 2025 dengan target mitigasi dan adaptasi yang lebih ambisius
Iklan
Kamis, 1 Agustus 2024
Indonesia memiliki 20-23 persen luasan hutan mangrove di dunia. Sementara 43 persen di Asia. Diketahui, mangrove memiliki fungsi nilai secara ekonomi, ekologi, dan sosial.
“Paling penting, mangrove memiliki peran terhadap pengendalian iklim,” kata Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, dalam acara memperingati Hari Mangrove Sedunia yang diselenggarakan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta, 26-27 Juli 2024.
Memiliki hutan mangrove eksisting seluas 3,44 juta hektar ,diperlukan usaha yang berkelanjutan untuk mengendalikan suhu global menuju 1,5 derajat celcius pada 2030, yang membutuhkan 50 miliar ton per tahun. “Kita kemungkinan memiliki jumlah stok karbon di hutan mangrove saat ini kurang lebih 3 gigaton karbon atau kurang kebih 3 miliar ton karbon.”
Alue mengatakan, perhitungan itu berdasarkan hasil kajian peneliti asal Australia, Daniel M. Alongi. Pada 2012, Daniel mengkaji perkiraan stok karbon di lahan mangrove Indonesia 1 hektare kurang lebih 937 ton per hektare. “Sebagian besar stok itu berada di burial carbon atau karbon yang ada di sedimen mangrovenya. Bukan yang ada di tegakkan atasnya,” ujar Alue. “Jadi, karbon dari mangrove 3 miliar ton itu hanya bisa untuk menjaga saja. Itu gambarannya.”
Apalagi, lanjut Alue, Daniel M. Alongi merevisi angka dari 1 hektare mangrove Indonesia 937 ton per hektare direvisi turun menjadi kurang lebih 739,9 ton per hektare pada publikasinya di tahun 2020. Kenapa itu turun? tentu ada alasan,” ucap dia.
Salah satunya, kata Alue, kemungkinan tegakan mangrovenya semakin berkurang per hektarenya, karena konversi, dan sebagainya. Artinya, menurut dia, 3 miliar ton yang dimiliki mangrove Indonesia dari waktu ke waktu kalau tidak dijaga, tidak dipelihara, maka cenderung akan turun. “Karena tanpa vegetasi di atas mangrove tidak ada akumulasi karbon, tidak ada additional carbon yang terjadi di ekosistem mangrove. Bahkan cenderung mengalami pengurangan.”
Alue menuturkan, jika mangrove dikelola dengan baik, dijaga dan dipelihara, maka manfaat ekonomi sosial dan lingkungan serta lain-lain akan bertambah bagus. Nyatanya, lanjut dia, BRGM menyatakan terdapat ancaman deforestasi dan konversi mangrove masih terus berlangsung. “Apabila kita tidak kendalikan ini, implikasi negatifnya cukup banyak,” ujar dia.
Di antaranya, lanjut Alue, hilangnya mangrove akibat konversi, terjadi laju emisi gas rumah kaca yang besar bersumber dari ekosistem mangrove, serta fungsi-fungsi lingkungan dan ekonomi yang hilang. Mangrove, kata Alue, sesungguhnya juga merupakan bagian dari ecological defence system, sistem pertahanan negara, yang harus dijaga.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama BRGM ingin terus mengawal strategi rehabilitasi mangrove yakni dengan 3M: Memulihkan, Meningkatkan, dan Mempertahankan.
“Memulihkan yang sudah rusak melalui penanaman. Tidak tanam, tinggal, mati tetapi tanam, pelihara, jaga,” ujar dia. Sementara itu mangrove yang mengalami degradasi, ekosistemnya harus ditingkatkan. “Sedangkan mangrove yang masih baik, harus kita jaga,” ujar dia.
Jika penanaman mangrove berpotensi meningkatkan stok karbon maka nilai ekonomi karbon pun bisa ditingkatkan. Dengan menjaga mangrove, nilai ekonomi karbon mangrovenya bisa di monetize, sehingga bisa menjadi insentif ekonomi, bukan pengganti ekonomi.
Alue pun menegaskan, kegiatan nilai ekonomi karbon yang dinilai adalah effortnya, usaha-usahanya. “Kegiatan penanaman kembali mangrove, positive additional yang dibayar, bukan stoknya yang dibayar, bukan stok 3 miliar ton tadi, karena kalau seperti itu kita, Indonesia sudah kaya raya. Tetapi ada effort lain sehingga mendapat insentif financial. Kerangka kerja REDD+ yang diakui dalam Pasal 5 Paris Agreement.”
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, dalam acara memperingati Hari Mangrove Sedunia yang diselenggarakan BRGM di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta, 26-27 Juli 2024. Dok. BRGM
Ada alasan kenapa dunia dan Indonesia harus peduli dengan perubahan iklim. Penasihat Senior Menteri Bidang Perubahan Iklim dan Konvensi Internasional Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, Nur Masripatin membeberkan dua contoh di antaranya.
Pertama, perubahan tinggi muka laut dari waktu ke waktu yang mengalami kenaikan ekstrem dari 1980 hingga 2020. “Kedua, cuaca ekstrem. Dulu kita jarang mengalami putting beliung, temperatur tinggi. Tapi tahun lalu sudah mengalami itu,” kata dia.
Nur kemudian melihat Paris Agreement. Awalnya targetnya menjaga kenaikan temperatur bumi tidak melebihi 2 derajat. “Setelah berjalan sekian tahun dari Paris Agreement diadopsi, kita harus menuju 1,5 derajat kalau tidak ingin dampak yang serius.”
Komitmen yang dinyatakan oleh semua negara sampai sekarang, lanjut Nur, baru bisa mengamankan antara suhu 2 dan 3. “Berarti kita jauh dari aman.”
Nur mengatakan, semua negara pada akhirnya dituntut untuk menaikkan kontribusinya dalam penurunan emisi global (meningkatkan ambisi mitigasi). Secara kolektif semua negara juga harus menurunkan emisi global sebesar 43 persen dari tingkat emisi tahun 2019 pada tahun 2030.
“Semua negara diharapkan submit New Nationally Determined Contribution (NDC) paling lambat Februari 2025 dengan target mitigasi dan adaptasi yang lebih ambisius, Indonesia saat ini dalam proses menyiapkan Second NDC.” Dan nilai ekonomi karbon (NEK) didesain untuk mendukung pencapaian target NDC,” ujar dia.
Peneliti BRIN Virni Budi Arifianti mengatakan, mangrove memiliki kemampuan untuk menyerap karbon namun apabila terganggu maka mangrove ini memiliki kemampuan untuk melepas karbon ke atmosfer dalam bentuk emisi gas rumah kaca yang sangat tinggi pula. “Kita harus hati-hati dengan ekosistem mangrove dan juga ekositem lahan basah lainnya misalnya gambut.”
Hasil penelitian di Delta Mahakam, lanjut dia, bagaimana mangrove yang bagus dikonversi menjadi tambak dan berapa efek rumah kaca (ERK) yang dihasilkan. “Ternyata sangat besar,” ucapnya. Hampir 50 persen dari cadangan karbon mangrove yang masih bagus ini akan hilang apabila mangrove ini dikonversi menjadi tambak.
Biasanya, lanjut dia, rata-rata tambak yang beroperasi di Delta Mahakam sekitar 16 tahun, setelah itu produksi menurun. Virni lalu menghitung apabila mangrove ini dikonversi menjadi tambak kemudian tambak ini produksi optimumnya selama 16 tahun maka kalau kita mau memulihkan kembali kondisi cadangan karbon di tanah, maka kita butuh 226 tahun. “Jadi sangat lama.”
Namun, jika mangrove tersebut sudah terdegradasi maka mau tidak mau harus direstorasi dengan penanaman kembali. “Dalam waktu 10 tahun berdasarkan bio massa di atas dan bawah tanah, sudah mulai hampir sama antara mangrove yang masih alami dengan yang direstotasi. Ini dalam kondisi mangrove tersebut dulu tambak kemudian direstorasi.”
Sejumlah petani menanam mangrove di kawasan mangrove Desa Simandulang, Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, Kamis 14 Desember 2023. ANTARA FOTO/Yudi
Di Delta Mahakam, lanjut dia, banyak mangrove yang dikeruk kemudian ditelantarkan. “Makanya upaya untuk memulihkan tambak-tambak yang sudah ditelantarkan ini jauh lebih sulit dibandingkan tambak-tambak yang masih beroperasi.”
Virni kemudian meminta untuk tidak berfokus pada nilai karbon yang ada di mangrove.Menurut dia, nilai non karbon dari mangrove juga tidak kalah penting terutama untuk adaptasi perubahan iklim. “Kalau dari hasil penelitian World Bank, sudah dinominasikan berapa nilainya. Secara rata-rata berkisar US$ 15-50 ribu per hektare pertahun. “Sangat tinggi,” ucapnya.
Menurut studi Profesor Taufan, kata Virni, nilai itu akan lebih tinggi lagi apabila mangrove terdeforestasi. Maka cost dari nilai karbon yang hilang secara sosial berkisar sekitar US$107 ribu per hektare. “Kalau nilai karbon kita dinilai US$5 dolar per ton CO2, maka masih sangat rendah dibandingkan dengan nilai jasa lingkungan dari mangrove yang tinggi.”
Virni kemudian memberikan hasil penelitian BRIN dengan YKAN terkait potensi kontribusi dari ekosistem mangrove apabila melakukan konservasi saja, restorasi atau penanaman saja, dan keduanya. “Hasilnya kalau menanam saja nilai kontribusi mitigasi dari ekosistem mangrove 4 kali lebih rendah daripada mengkonservasi mangrove yang sudah ada.”
Dia pun mengapresiasi pemerintah yang sudah berupaya merestorasi mangrove yang sudah terdegradasi. “Itu sudah sangat baik namun kita tidak boleh lupa apabila kita melakukan konservasi mangrove yang tersisa jauh lebih tinggi nilainya kontribusi mitigasinya terhadap perubahan iklim.” oleh karena itu, lanjut dia, yang perlu dilakukan mengkombinasikan upaya restorasi dengan konservasi ekosistem mangrove.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian LHK Laksmi Dhewanthi menekankan komitmen Indonesia kepada perubahan iklim. “Kalau kita bicara nilai ekonomi karbon maka tidak bisa terlepas dari komitmen kita terhadap agenda pengendalian perubahan iklim terutama avgnda mitigasi perubahan iklim. Ini adalah target yang perlu kita capai di 2030,” tutur dia.
Indonesia, kata dia, sedang menyiapkan komitmen kedua atau SNDC yang komitmennya jauh berubah. Nilai ekonomi karbon diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
“Tujuannya tidak semata untuk ekonomi. Bahwa ada manfaat ekonomi iya, akan ada insentif bagi yang melakukan upaya mitigasi iya, tapi tidak bisa dibalik jadi nilai ekonomi karbon, perdagangan karbon, perdagangan emisi atau pembayaran berbasis kinerja, itu hanya bisa terjadi kalau kita melakukan upaya mitigasi,” ujar dia.
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, Hartono sebagai tuan rumah dalam Dialog Publik Mangrove for Future, menegaskan pentingnya kolaborasi dari berbagai sektor menjadi kunci keberhasilan rehabilitasi mangrove.
“Kolaborasi antar stakeholders, menjadi kunci keberhasilan rehabilitasi mangrove dari sektor kelembagaan hingga upaya pelestarian ditingkat tapak. Saat ini, BRGM bersama KLHK sudah mendorong penerbitan RPP untuk Perlindungan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. “Kita harapkan bisa diterbitkan pada tahun ini sehingga pelaksanaannya bisa kita implementasikan mulai tahun depan,” ucap Hartono