Sebab Subsidi BBM Tak Tepat Sasaran

Ditemukan penyelewengan penyaluran BBM bersubsidi yang terjadi dalam bentuk penimbunan. #Infotempo

Iklan

Rabu, 31 Agustus 2022

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan penyaluran subsidi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selama ini tidak tepat sasaran. Untuk BBM jenis solar saja 89 persen dinikmati dunia usaha, dan hanya 11 persennya dinikmati kalangan rumah tangga.

Namun, dari yang dinikmati rumah tangga itu ternyata 95 persennya dinikmati rumah tangga mampu dan hanya 5 persen yang dinikmati rumah tangga miskin seperti petani dan nelayan.

Adapun untuk BBM bersubsidi jenis Pertalite, 86 persennya digunakan kalangan rumah tangga, dan 14 persennya dinikmati kalangan dunia usaha. Tapi, dari porsi rumah tangga itu kata dia 80 persennya dinikmati oleh rumah tangga mampu dan hanya 20 persen dinikmati oleh rumah tangga miskin.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menemukan sejumlah masalah yang menyebabkan bahan bakar minyak bersubsidi atau BBM subsidi tak tepat sasaran atau dinikmati masyarakat mampu.

Direktur BBM BPH Migas, Patuan Alfon, mengatakan, dari hasil pemantauan BPH Migas selama ini, kebanyakan penyelewengan penyaluran BBM bersubsidi yang terjadi dalam bentuk penimbunan. "Ya memang kebanyakan itu ditimbun dan dilarikan ke konsumen-konsumen yang tidak berhak," kata Patuan, dalam acara diskusi Ngobrol @Tempo bertajuk 'Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran', pada Selasa, 30 Agustus 2022.

Menurutnya, permasalahan ini ditemukan selama BPH Migas menjalankan tugas pengawasan, baik secara langsung maupun melalui sistem digital verifikasi on desk terhadap volume penyaluran Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT). Permasalahan pun semakin marak ditemukan saat disparitas harga antara solar industri dengan solar subsidi jauh sekali besarannya.

Karena itu, pengawasan selalu diikuti dengan langkah pelaporan kepada aparat penegak hukum. Selain itu, dia melanjutkan, ada yang perlu dibenahi agar penyaluran BBM bersubsidi tidak terus salah sasaran, yakni landasan hukum yang mendetilkan jenis kendaraan apa saja yang benar-benar bisa menikmati BBM bersubsidi seperti jenis Pertalite dan Solar.

Landasan hukum yang dibenahi itu adalah Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. "Dalam lampiran itu tidak lengkap kendaraan yang dibatasi bisa menggunakan BBM bersubsidi," ujarnya.

Dia menjelaskan, Perpres itu hanya mengecualikan mobil barang untuk pengangkutan hasil kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari 6 (enam) buah sebagai kendaraan yang bisa mengkonsumsi BBM bersubsidi jenis Solar.

"Jadi kalau ditanya selama ini apakah aturan itu sudah tepat sasaran, tentu belum karena masih banyak yang grey area. Karenanya dalam usulan kami tentu bagaiaman konteks tentang lampiran konsumen penggunanya bisa jelas, itu yang kami usulkan dalam revisi," kata dia.

Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri, mengatakan penyebab kuota BBM subsidi selalu cepat habis dari tahun ke tahun, karena harga jual eceran BBM bersubsidi yang disalurkan PT Pertamina (Persero), seperti Pertalite dan Solar, selalu berada di bawah harga yang terbentuk akibat mekanisme pasar. Karena itu, siapapun ingin mengonsumsi BBM bersubsidi, termasuk golongan mampu.

Menurutnya, kondisi ini pada akhirnya menyebabkan penyaluran BBM bersubsidi dari dulu hingga saat ini tidak pernah tepat sasaran. Sebab, faktor pengendaliannya diserahkan pada mekanisme kuota.

"Hukumnya, kalau menjual di bawah ongkos, pasti langka. Mau tentara, Kopassus sekalipun diturunkan tidak bisa (melarang penjualan BBM subsidi). Malaikat pun akan membeli yang lebih murah kalau ada dua harga," kata Faisal.

Faisal pun menyarankan cara lain yang bisa diterapkan pemerintah untuk membendung dampak pergerakan harga minyak mentah dunia ke besaran subsidi adalah dengan memanfaatkan mekanisme fiskal. Mekanisme fiskal yang bisa digunakan, yakni dengan menyesuaikan pelaksanaan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap konsumsi BBM.

"Jika harga minyak sedang tinggi-tingginya, pemerintah bisa memungut PPN 11 persen. Tapi, jika harga minyak mentah turun, pungutan PPN ditiadakan," ujarnya.

Dengan begitu, ia yakin harga BBM akan otomatis turun ketika harga minyak dunia turun. Sebaliknya, harga BBM akan naik saat harga minyak mentah naik, tapi efeknya bisa diredam tanpa ada subsidi.

"Gak bakal ada lagi yang gak tepat sasaran. Karena mau kaya, mau miskin, kena harga BBM yang sama. Jadi semua jelas," kata Faisal.

Adapun, Anggota Komisi VII DPR RI, Adian Napitupulu, mengatakan jika harga BBM naik maka semua masyarakat akan terdampak. "Kalau dibilang terdampak, semua terdampak lah, petani terdampak nelayan terdampak, semua terdampak," kata dia.

Menurutnya, kenaikan harga BBM ini sudah ada sejak Republik Indonesia merdeka. "Sampai hari ini kalau tidak salah ada sekitar 37 kali (kenaikan) jadi setiap 2 tahun kita selalu ramai soal BBM," ujarnya. Karena itu, menurut Adian, jika tidak ada formulasi yang tepat maka dua tahun ke depan pasti ada lagi keributan soal BBM. (*)

#SubsuduTepatSasaran

Berita Lainnya