Otonomi Khusus Kampung Papua
Implementasi undang-undang harus mengedepankan kesejahteraan masyarakat lokal.
Iklan
Senin, 28 Maret 2022
Pengesahan revisi Undang-undang tentang Papua bisa menjadi pintu masuk untuk perbaikan pembangunan provinsi paling timur di Indonesia tersebut. Aturan baru ini diharapkan mampu mengakselerasi pembangunan secara keseluruhan melalui program Papua dari kampung.
Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah perlu menunjukkan keseriusan menjalankan program membangun Kampung Papua. "Terkait ini, saya ingin mengusulkan program membangun Kampung Papua yang membutuhkan Inovasi dengan penekanan pada terciptanya smart people, smart economy, smart governance, smart living/environment dan smart heritage" ujar Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), R. Siti Zuhro, Sabtu, 26 Februari 2022
Siti Zuhro optimistis bila pemerintah serius menjalankan program ini, sejumlah terobosan penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sana dan pembangunan Papua akan berjalan dengan baik. Menurut dia, masalah Papua harus diselesaikan dengan solusi yang komprehensif, tidak bisa lagi secara parsial. "Perlu ada political will, political commitment dan law enforcement dalam menjalankan otonomi khusus jilid II,” ucapnya.
Progres pembangunan Bandar Udara UPBU Mozes Kilangan.
Pada 15 Juli 2021, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sedikitnya 20 poin perubahan pada Undang-Undang Otonomi Khusus Papua hasil revisi.
Perubahan ini menyakut 18 pasal dan penambahan dua pasal baru. Revisi diharapkan mampu mengakomodasi perlunya pengaturan kekhususan orang asli Papua dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perekonomian, serta memberi dukungan bagi masyarakat adat.
Siti Zuhro mengatakan secara umum otonomi khusus jilid dua yang tertuang dalam undang-undang hasil revisi tersebut masih membutuhkan waktu untuk diuji efektivitasnya sehingga belum bisa dievaluasi secara utuh. Namun, dia menegaskan, undang-undang yang baru ini memiliki tantangan dalam pelaksanaannya kelak karena belum menampung sejumlah hal yang menjadi tuntutan masyarakat Papua. "Khususnya berkaitan dengan kewenangan keuangan.”
PLTU Holtekamp Jayapura.
Oleh karena itu, Siti Zuhro berharap pendekatannya tak melulu menggunakan perangkat hukum, tapi juga harus mempertimbangkan aspek adat atau budaya. Tuntutan lain yang tak kalah penting, ujar dia, adalah sinergi antara pemerintah pusat dan daerah Papua sehingga tujuan pembangunan bisa terwujud dengan pencapaian yang konkret.
"Pembangunan Papua tidak bisa dilakukan secara top down atau elitis, tapi perlu pula secara bottom up dengan melibatkan masyarakat lokal," ujar Siti.
Menurut dia, pelibatan masyarakat lokal seperti pembangunan Kampung Papua adalah salah satu upaya yang diarahkan untuk menjawab permasalahan krusial di provinsi tersebut.
Siti menilai otonomi khusus jilid baru ini harus memupus kekecewaan dan ketidakadilan di Papua. Tujuannya besarnya adalah untuk kesinambungan negara Republik Indonesia, memupuk kesatuan nasional dan rasa nasionalisme, serta menciptakan hubungan pusat-daerah yang harmonis. "Untuk itu, otonomi khusus harus dilaksanakan secara benar dan berhasil," ujarnya.
Guna mencapai tujuan tersebut, Siti Zuhro menekankan para elit dan pemangku kepentingan berhenti mengeksploitasi kekayaan di Bumi Cendrawasih untuk kepentingan diri, golongan, maupun partai. "Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu membangun pola relasi yang harmonis dan sinergis. Karena esensi otonomi khusus adalah untuk menyejahterakan rakyat," kata dia.
Pendiri Yayasan Kitong Bisa, Billy Mambrasar, mengatakan perlu persepsi yang sama dari pemerintah pusat untuk mewujudkan otonomi khusus Papua yang berkeadilan. Apalagi, menurut orang asli Papua ini, komitmen Presiden Joko Widodo terhadap Papua sudah sangat jelas. "Seluruh kementerian atau lembaga terkait harus memiliki persepsi yang sama bahwa Papua dan Papua Barat merupakan daerah otonomi khusus, sehingga penanganannya juga memerlukan kekhususan, serta meminimalisir ego sektoral dari masing-masing kementerian dan lembaga terkait," ujarnya.
Menurut Billy, seluruh kementerian dan lembaga terkait harus secara aktif harus melakukan pendampingan dan asistensi pada semua aspek penyelenggaraan kebijakan otonomi khusus Papua. "Sinkronisasi, kolaborasi dan harmonisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan hal mutlak yang harus dikedepankan,” tuturnya.
Venue Lapangan Futsal dan Bola Tangan.
Billy mengapresiasi upaya pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi dan juga orang asli Papua, yang terlibat dalam pembahasan hingga pengesahan Undang-undang Otonomi Khusus Papua hasil revisi. "Perspektif saya melihat semangat kolaborasi dan perbaikan tata kelola pemerintahan, keuangan, dan pembagian kewenangan dalam undang-undang ini dan aturan turunannya. Saya optimis ke depan pelaksanaan otonomi khusus akan memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan orang asli Papua (OAP)," ucap dia.
Billy tak menampik adanya penolakan sejumlah masyarakat adat Papua terhadap undang-undang hasil revisi tersebut. Tapi, menurut dia, terbitnya sebuah kebijakan tak bisa memuaskan semua kalangan.
Bagi Billy, yang terpenting adalah produk kebijakan dan regulasi yang dihasilkan memberikan dampak positif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak negatifnya. " Menurut saya, mayoritas masyarakat adat mendukung undang-undang hasil revisi tersebut," ujarnya.
Adanya penolakan sejumlah masyarakat adat terhadap Undang-undang Otonomi Khusus Papua hasil revisi ini, ujar Billy, harus dijadikan pengingat. Khususnya, menurut dia, bagi pemerintah daerah sebagai implementator di lapangan dan kepanjangan tangan pemerintah pusat agar bisa mengimplementasikan amanat undang-undang ini secara akuntabel, transparan, dan tepat sasaran.
"Sehingga diperlukan akselerasi pemahaman pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai paket regulasi kebijakan otonomi khusus Papua yang telah ditetapkan," kata Billy.
Adapun menurut Duta Besar Senior Pamong Papua Michael Menufandu, Undang-undnag Nomor 2 tahun 2021 adalah bentuk ketegasan pemerintah bahwa aturan otonomi khusus Papua tetap berlaku. Menurut dia, ada beberapa penambahan redaksional pada pasal 1 (ayat 1), pasal 24 dan pasal 76 serta ditambah 19 pasal baru. "Untuk menjawab dinamika yang berkembang dalam masyarakat orang asli Papua (OAP) kemudian diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 106 tentang Kewenangan dan Kelembagaan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 107 tentang Penerimaan, Pengelolaan, dan Pengawasan," kata Manufandu pada 24 Februari 2022.
Menurut Manufandu, ada hal penting yang harus digarisbawahi, yakni undang-undang ini mengamanatkan pembentukan suatu badan pengarah percepatan pembangunan yang dipimpin oleh wakil presiden. "Memang tanggapan masyarakat adat belum terdengar secara luas karena belum disosialisasikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah," ujarnya.
Dia meyakini jika undang-undang hasil revisi ini disosialisasikan dengan baik, masyarakat Papua akan menerimanya. Manufandu mengingatkan tujuan otonomi khusus Papua adalah rekonsiliasi, berdamai dengan masa lalu dan menuju kesejahteraan lebih baik. "Dasar dan manfaat pelaksanaannya yaitu keberpihakan, perlindungan, peran serta, dan pemberdayaan terhadap org asli Papua supaya maju dan sederajat dengan saudara-saudara yang lain di Indonesia," katanya.