Komitmen Kurangi Emisi tak Sejalan dengan Kelestarian Gambut
Kerusakan gambut terus-menerus menyebabkan emisi karbon. Keseriusan pemerintah mencapai target pengurangan emisi dipertanyakan.
Tempo
Senin, 8 November 2021
INFORIAL - Indonesia menyatakan komitmen mengatasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sejak Conference of the Parties (COP) ke-15 pada 2009. Berdasarkan kesepakatan Intended Nationally Determined Contributions (INDC) pengurangan emisi sebesar 26 persen. Adapun dengan bantuan internasional pemerintah akan mengurangi emisi sebesar 41 persen pada 2020.
Komitmen Indonesia sesuai Perjanjian Paris dilakukan melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016. Dalam beleid tersebut pemerintah memperbarui target dalam dokumen First NDC dengan masa berlaku hingga 2030. Dokumen pengesahan menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dukungan internasional.
Pada Juli 2021, pemerintah Indonesia mengirimkan dokumen NDC terbaru akibat pandemi Covid-19. Adapun target menurunkan emisi sebesar 834 ton metrik (Mt) karbondioksida (CO2) dengan usaha sendiri dan 1.081 Mt CO2 melalui dukungan internasional. Kontribusi NDC bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca, yaitu energi, limbah, industrial processes and production use (IPPU), pertanian dan kehutanan.
Demi mencapai target NDC, ekosistem gambut punya peran penting dalam mencapai target tersebut karena memiliki daya serap karbon. Makalah World Resources Institute (WRI) Indonesia berjudul How Can Indonesia Achieve its Climate Change Mitigation Goal? An Analysis of Potential Emissions Reductions from Energy and Land-use Policies (2017) menjelaskan, komitmen iklim Indonesia bisa tercapai jika dibarengi upaya pemulihan gambut dan perlindungan hutan alam. Artinya pemerintah harus menghentikan pemberian izin baru di hutan alam dan gambut. Pencapaian target juga terkait penguatan kebijakan untuk mewujudkan kegiatan pemulihan gambut.
Kebakaran lahan gambut 2019, Tanjung Jabung Timur, Jambi. Dok Foto: Feri Irawan/Pantau Gambut
Makalah itu merujuk pertimbangan Intergovernmental Panel on Climate Change yang menjelaskan, bahwa satu hektare lahan gambut melepaskan emisi 11 Mt CO2 setiap tahun. Adapun pemulihan gambut mampu menurunkan emisi sekitar 22 Mt CO2 per tahun pada 2030.
Apabila pemulihan gambut pada lahan 4,6 juta hektare selama 10 tahun sejak 2020, maka penurunan emisi bisa mencapai 73 Mt CO2 per tahun pada 2030. Sedangkan penguatan kebijakan moratorium dapat mengurangi emisi 437 Mt CO2 per tahun.
Pembiaran kerusakan gambut sama saja tak mencermati masalah emisi karbon. Karena gambut yang rusak akan melepaskan karbon ke udara. Jika kondisi ekosistem gambut rusak dan terbakar, emisi gas rumah kaca akan bervariasi dan bukan hanya karbon dioksida menyebabkan perubahan iklim.
Artikel ilmiah berjudul Land Cover Distribution in the Peatlands of Peninsular Malaysia, Sumatra and Borneo in 2015 with Changes Since 1990 (2016) dalam jurnal daring Science Direct menjelaskan, bahwa degradasi gambut paling besar di Kalimantan dan Sumatra. Kawasan gambut yang terdegradasi di Kalimantan pada lahan seluas sekitar dua juta hektare atau 42 persen dari 4,8 juta hektare. Di Sumatra degradasi gambut sekitar 956 ribu hektare atau 15 persen dari keseluruhan lahan seluas 6,4 juta hektare.
Pantau Gambut menemukan pelanggaran komitmen perlindungan gambut selama kurun 2019-2020. Pada area bukan konsesi tidak ada perawatan yang menyebabkan kerusakan infrastruktur pembasahan gambut seperti sekat kanal dan sumur bor.
Tidak berfungsinya infrastruktur menyebabkan kebakaran di lahan gambut. Selain rencana pembangunan beragam fasilitas belum semuanya dibangun. Seperti area pembangunan infrastruktur pembasahan yang tidak tepat, seperti di Desa Lukun, Riau. Lokasi itu bukan daerah rawan kebakaran melainkan dekat kawasan permukiman.
Adapun masalah di area konsesi cenderung soal upaya pemulihan gambut terdegradasi, karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pemegang izin konsesi tidak melakukan upaya pemulihan gambut. Salah satunya adalah kerusakan lahan akibat tata kelola yang tak mengikuti aturan hukum, seperti membuka lahan gambut lindung untuk persiapan tanaman sawit atau akasia.
Pantau Gambut menemukan infrastruktur pembasahan gambut rusak alias tak berfungsi, juga tanpa perawatan. Hal itu makin pelik, karena proses panjang penegakan hukum kasus karhutla di area korporasi tanpa kepastian kurun waktu tertentu.
Pada 2015, kebakaran menghanguskan 2,6 juta hektare hutan dan lahan. Dari keseluruhan kebakaran itu, 35 persen berada di area gambut. Emisi karbondioksida yang timbul dari karhutla sekitar 954 ribu ton. Angka ini berdasarkan data pemantauan SiPongi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Laporan terbaru Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mencatat pada 2015 emisi yang timbul dari kebakaran gambut sekitar 822 ribu ton karbondioksida.
Adapun kebakaran gambut pada 2019 melepaskan emisi sekitar 121 ribu ton karbondioksida. Berdasarkan laporan SiPongi, emisi yang timbul dari karhutla mencapai 624 ribu ton. Saat itu karhutla menghanguskan 1,6 juta hektare lahan dan 31 persen berada di area gambut.
Kerusakan gambut yang terjadi terus-menerus itu menimbulkan pertanyaan. Bagaimana keseriusan pemerintah mencapai target NDC?