Akal-akalan Memutihkan Kejahatan Soeharto

Ketua MPR menghapus nama Soeharto dari Tap MPR. Preseden buruk menghapus kejahatan penguasa.

Tempo

Senin, 30 September 2024

ADA-ada saja manuver politik di akhir kekuasaan Presiden Joko Widodo. Pada Sabtu pekan lalu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo menggelar Silaturahmi Kebangsaan dengan acara pokok menyerahkan surat penghapusan nama Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 kepada keluarga penguasa Orde Baru itu. Tap MPR ini mengatur penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, serta nepotisme. 

Dengan penghapusan itu, MPR telah mencuci nama Soeharto dari kejahatan KKN selama berkuasa. Bambang Soesatyo, politikus Golkar—partai yang menjadi mesin kekuasaan Orde Baru pada 1965-1998—menafikan gerakan reformasi 1998 yang menuntut pengadilan terhadap Soeharto atas kejahatan-kejahatannya itu. Dengan kata lain, Bambang meniadakan aspirasi publik dalam penggulingan Soeharto.

Alasan Bambang juga tak masuk akal. Menurut dia, penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR dilakukan karena presiden kedua itu sudah meninggal. Dalih lain yang menjadi referensi adalah pencabutan Tap MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno. Juga pencabutan ketetapan Nomor II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid.

Menyamakan Soeharto dengan Sukarno apalagi Gus Dur adalah kekeliruan cara berpikir, culas, serta menghina sejarah dan nilai-nilai demokrasi. Sukarno adalah proklamator kemerdekaan, perumus Pancasila, dan peletak dasar sistem politik Indonesia. Sementara itu, Gus Dur, dalam kekuasaannya yang sebentar, mereformasi Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian RI yang penting dalam demokrasi dan menghapus sekat-sekat identitas warga negara yang dipakai Soeharto melanggengkan kekuasaan. Tuduhan korupsi terhadap Gus Dur, yang membuatnya dilengserkan pada 2001, tak bisa dibuktikan hingga hari ini.

Adapun Soeharto, yang naik menjadi presiden lewat proses konstitusional yang berkabut, mempraktikkan kekuasaan tangan besi dengan dalih stabilitas dan pembangunan. Korupsi Soeharto bukan isapan jempol. Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015 menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang pengganti Rp 4,4 triliun kepada negara. Hingga kini putusan itu tak pernah ditindaklanjuti secara hukum. Artinya, penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR berpotensi merugikan negara.

Lagi pula ketetapan MPR untuk Sukarno dan Gus Dur telah dicabut oleh Tap MPR Nomor 1 Tahun 2003 karena perkaranya dianggap selesai. Sementara itu, Ketetapan MPR untuk Soeharto masih berlanjut karena menyangkut penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN sebagai amanat gerakan reformasi 1998. Pencabutan Ketetapan MPR tentang Soeharto, dengan begitu, mengkhianati cita-cita reformasi yang belum sepenuhnya terwujud. 

Pernyataan Bambang Soesatyo bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa pendendam berbahaya karena mengaburkan tanggung jawab warga dan penyelenggara negara. Ada perbedaan jelas antara relasi antarmanusia yang sudah semestinya saling memaafkan dan penyelenggara negara yang terikat mekanisme penghukuman jika menyelewengkan kekuasaan. Melembagakan hukuman bagi penguasa yang menyeleweng akan menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia ke depan.

Penghapusan nama Soeharto dari Tap MPR makin absurd karena diikuti dengan gagasan memberikan gelar pahlawan nasional. Dengan segala dampak kekuasaan yang membuat Indonesia sulit memberantas KKN setelah ia mundur, Soeharto tak layak menyandang gelar mulia itu. Keputusan MPR menghapus namanya merupakan contoh nyata bahwa watak Orde Baru yang permisif terhadap penyelewengan kekuasaan masih bercokol dalam ingatan kolektif para pengurus negara.

Pemutihan nama Soeharto menjelang pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia 2024-2029 pada 20 Oktober 2024 juga patut dicurigai sebagai cara pemerintahan baru memulihkan nama baik keluarga Cendana. Prabowo, jenderal tentara Orde Baru mantan menantu Soeharto, pernah mengusulkan pada 2014 agar bekas mertuanya itu mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan.

Lebih dari itu, pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR juga bisa menjadi preseden memberikan impunitas kepada kepala negara yang melanggar aturan. Keputusan Bambang pada pekan lalu bisa dipakai untuk memaafkan Presiden Jokowi yang kekuasaannya berlumur penyelewengan hukum. Dalam hal nepotisme, Soeharto mengangkat anaknya menjadi menteri, sementara Jokowi cawe-cawe memuluskan anaknya menjadi wakil presiden.

Kejahatan konstitusi semacam itu tidak bisa dihapus hanya dengan permintaan maaf.

Berita Lainnya