Buruk Kinerja, Dapat Penghargaan Pula

DPR memberikan penghargaan bagi lembaganya sendiri. Ironi di tengah buruknya kinerja legislasi dan kegagalan menjalankan tugas wakil rakyat.

 

Tempo

Selasa, 24 September 2024

DEWAN Perwakilan Rakyat periode 2019-2024 mengakhiri masa tugas dengan membuat lelucon besar: memberikan penghargaan kepada diri sendiri. Padahal, selama lima tahun masa kerjanya, kinerja DPR sangat buruk dan banyak melahirkan undang-undang yang merugikan masyarakat.

Pemberian penghargaan berupa piagam dan pin ditetapkan dalam rapat paripurna DPR yang terakhir pada 19 September 2024. Tidak jelas kriteria yang dipakai untuk pemberian penghargaan tersebut, di tengah buruknya kinerja legislasi dan anjloknya citra lembaga dalam sejumlah survei kepuasan publik. 

Saat mereka mulai bekerja pada 2019, ada 264 rancangan undang-undang yang disepakati masuk Program Legislasi Nasional. Artinya, dalam setahun, mereka menargetkan bisa menyelesaikan 52 undang-undang atau empat per bulan. Hingga akhir masa jabatan mereka, hanya 26 yang dihasilkan atau 10 persen saja dari yang direncanakan.

Secara kuantitas payah, kualitasnya juga buruk. Sejumlah regulasi yang dihasilkan diprotes publik hingga digugat ke Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Cipta Kerja, yang disahkan pada 2020, adalah contohnya. Undang-undang ini dibahas dengan cepat dan sangat minim partisipasi publik sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Tanpa perubahan substansial, pemerintah dan DPR kemudian bahu-membahu meloloskannya pada 2021. 

Model pembahasan ala Undang-Undang Cipta Kerja itu kemudian menjadi ciri khas pemerintahan Joko Widodo dengan DPR: dibahas cepat, cenderung tertutup, dan segera disahkan. Selama ini, kalaupun ada upaya meminta masukan publik melalui rapat dengar pendapat, terlihat lebih banyak sebatas formalitas. 

Praktik lancung seperti ini berjalan dengan baik berkat dukungan penuh dari 550 anggota DPR di Senayan. Kuatnya koalisi partai politik pendukung Jokowi di DPR membuat hampir setiap agenda pemerintah selalu lolos dan diamini DPR, tak peduli seberapa keras penolakan atau kritik publik terhadap proses dan substansi pasalnya.

Pola yang mirip terlihat dalam pembahasan dan pengesahan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada 2020, Undang-Undang Ibu Kota Negara (2022 dan 2023), Undang-Undang tentang Dewan Pertimbangan Presiden (2024), serta Undang-Undang tentang Kementerian Negara (2024). 

DPR dan pemerintah sangat terang mengabaikan pesan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan pembentukan undang-undang harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna.

Selain cepat, tertutup, dan minim partisipasi, ciri penting lainnya adalah wataknya yang sangat sarat kepentingan politik Jokowi serta para juragan partai. Undang-Undang Cipta Kerja dikebut untuk memenuhi ambisi pemerintah guna menciptakan lapangan pekerjaan, meski faktanya menunjukkan sebaliknya: penganggur makin banyak. Undang-Undang Kementerian Negara diubah secepat kilat agar presiden baru bisa memperbanyak kursi kabinet dari 33 menjadi 44 untuk menampung kawan-kawan koalisi besar presiden terpilih Prabowo Subianto.

Perilaku memalukan DPR terbaru terjadi pada Agustus lalu saat mereka berusaha secepat kilat merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang akan memberi jalan bagi putra Jokowi, Kaesang Pangarep, bisa maju menjadi calon kepala daerah. Revisi itu sangat jelas motifnya untuk membegal putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, yang menetapkan ketentuan soal batas usia calon.

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mencatat, proses legislasi era Jokowi dan DPR periode ini dilakukan secara kilat dan ugal-ugalan serta nir-partisipasi. Model seperti ini layak dikategorikan sebagai praktik penyalahgunaan dalam pembuatan undang-undang atau abusive law making.

Lolosnya regulasi sesuai dengan hasrat pemerintah itu terjadi karena anggukan tanda setuju dari para politikus Senayan. Dengan pelbagai fakta tersebut, DPR sekarang tak lebih baik dari kolega mereka pada masa Orde Baru, yang kerap disebut sebagai “tukang stempel” semua keinginan pemerintahan Soeharto.

Pada saat yang sama, DPR ogah-ogahan kalau diminta mengebut pembahasan undang-undang yang sudah lama diinginkan publik, seperti Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga atau Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Kita tahu pasti bahwa para politikus Senayan dan pemerintah tak melihat ada manfaat dari dua regulasi itu, selain bisa mengganggu kolega mereka. 

Kekecewaan publik terhadap DPR setidaknya tecermin dalam hasil survei kepuasan publik terhadap lembaga negara selama lima tahun ini. Menurut survei Indikator Politik Indonesia terhadap sembilan lembaga dari 2019 hingga 2024, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR selalu di bawah 70 persen dan berada di nomor dua atau tiga dari bawah. 

Perilaku DPR seperti ini jauh dari ekspektasi publik dan tentu tak sejalan dengan mandat undang-undang yang meminta lembaga legislatif menjadi lembaga kontrol bagi eksekutif. Tak mengherankan jika hasil riset Frank Feulner, "The Indonesian House Representatives and Its Role During Democratic Regression", menyebutkan DPR periode 2019-2024 justru turut membantu menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia, yang memang sudah menjadi keprihatinan para peneliti politik jauh sebelumnya. 

Walhasil, piagam yang pantas bagi wakil rakyat yang tengah menjabat adalah periode DPR terburuk sepanjang sejarah reformasi. 

Berita Lainnya