Kisah Mirip Raja Telanjang di IKN

Presiden Joko Widodo memboyong para pesohor ke Ibu Kota Nusantara. Mencoba memoles citra buruk IKN.

Tempo

Rabu, 31 Juli 2024

PRESIDEN Joko Widodo kembali memakai jurus andalan ketika ada kebijakannya yang bermasalah: mengerahkan pemengaruh, pendengung (buzzer), dan pesohor. Sejak Ahad, 28 Juli 2024, Jokowi memboyong mereka untuk menunjukkan Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur sudah layak ditinggali dan menjadi tempat kerja.

Bersama para pesohor itu, Jokowi memacu sepeda motor rakitan lengkap dengan jaket bertulisan “Nusantara” menyusuri jalan tol IKN hingga jembatan Pulau Balang, yang menghubungkan Kabupaten Penajam Paser Utara dengan Kota Balikpapan. Raffi Ahmad dan istrinya, Nagita Slavina, yang punya pengikut 76,1 juta di Instagram, memamerkan jalan tol itu di akun mereka. Gading Marten juga memamerkan fotonya bersama Jokowi kepada 24,7 juta pengikutnya di Instagram.

Pamer IKN ala Jokowi itu efektif menunjukkan kemajuan pembangunan IKN. Para pesohor yang punya pengikut banyak di media sosial beramai-ramai mengunggah konten kunjungan tersebut di akun media sosial mereka. Namun cara usang ini tak memupus penilaian publik terhadap proyek IKN yang sarat masalah. Para pengikut kedua pesohor itu menuliskan komentar negatif di pos mereka tentang kunjungan ke IKN.

Jokowi memang pernah menyatakan ingin mulai berkantor di IKN pada Juli ini agar bisa bersiap menggelar upacara peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Maka, seperti mengejar tenggat kehilangan muka, Jokowi menginap di sana sebelum Juli berakhir. Toh, ia mengaku tak bisa tidur nyenyak pada hari pertama tinggal di IKN. Menurut pelaksana tugas Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, mesin penyejuk udara di kamar tidur Presiden bermasalah.

Terganggunya tidur Presiden sekaligus memukul pamer Jokowi akan kenyamanan IKN. Keberadaan mesin penyejuk mengkonfirmasi suhu IKN yang panas, bertolak belakang dengan klaimnya selama ini bahwa udara IKN sejuk karena ibu kota ini dibangun dengan konsep kota hutan. Jika semua bangunan di IKN memakai mesin penyejuk udara, kota ini tak layak disebut ibu kota ramah lingkungan.

Mesin penyejuk udara menghasilkan freon, gas tak berbau yang menjadi bagian kelompok klorofluorokarbon (CFC). Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi perubahan iklim, UNFCC, menyebutkan potensi pemanasan global gas ini 23.900 kali dibanding karbon dioksida—tertinggi dibanding lima gas rumah kaca lain. Artinya, setiap 1 gram CFC sama dengan 23.900 gram CO2 dalam memicu pemanasan global. Setiap tahun, mesin penyejuk udara menyumbang 1,9 miliar ton emisi atau 3,49 persen produksi gas rumah kaca global.

Masalah IKN bukan semata soal klaim hiperbolis Jokowi tentang ibu kota ramah lingkungan. Problem IKN jauh lebih pelik karena berpotensi membebani anggaran pemerintahan baru setelah 20 Oktober 2024. Total anggaran IKN mencapai Rp 466 triliun, yang 20 persennya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sisanya, seperti keinginan Jokowi, berasal dari investor. 

Namun belum ada satu pun investasi yang masuk ke IKN, kecuali para pengusaha lokal yang “terpaksa” menanamkan uangnya di sana karena telah mendapat keuntungan dari kebijakan-kebijakan Jokowi yang berpihak kepada mereka selama dua periode pemerintahannya. Investasi murni dengan kalkulasi bisnis yang menguntungkan belum satu pun masuk ke sana.

Jokowi tak patut menggiring opini publik dengan mengerahkan pesohor yang punya banyak pengikut di media sosial untuk menunjukkan IKN sesuai dengan keinginannya. Sebentar lagi, pada 20 Oktober 2024, ia tak lagi menjadi presiden. Tidak patut bagi seorang kepala negara mewariskan beban proyek yang akan menyedot anggaran negara.

Apa yang dilakukan Jokowi, yakni memboyong para pesohor ke IKN, mengingatkan kembali pada dongeng Hans Christian Andersen tentang raja telanjang. Syahdan, raja yang otoriter meminta dayang-dayangnya memuji busana yang ia kenakan setiap hari, yang berganti setiap jam. Sampai datanglah dua penipu yang mengklaim bisa membuat jubah ajaib. Hanya orang bijak, kata mereka, yang bisa melihatnya. 

Raja pun berlenggak-lenggok di atas permadani tanpa sehelai benang. Para dayang mengelu-elukan raja memakai jubah terindah yang pernah ada. Sementara itu, rakyat yang tak pernah diurus dan para penggawa yang diperlakukan tidak adil oleh raja menertawakan serta menyebutnya sebagai raja yang haus pujian. Sampai kekuasaannya hampir berakhir, Jokowi masih saja memakai jurus raja telanjang untuk memoles citra dan kebijakannya yang bermasalah.

Berita Lainnya