Kado Buram Hari Anak

Data Simfoni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat tren kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap anak tiga tahun ini. Kebanyakan pelaku adalah orang dekat.

Tempo

Kamis, 25 Juli 2024

PERINGATAN Hari Anak Nasional setiap 23 Juli idealnya ditandai dengan hal-hal baik tentang generasi penerus ini. Yang terjadi tahun ini justru sebaliknya. Data menunjukkan bahwa angka kasus kekerasan terhadap anak dalam tiga tahun ini, dari kekerasan fisik sampai kekerasan seksual, cenderung naik.

Berdasarkan data yang masuk ke Sistem Informasi Online atau Simfoni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pada 2021 tercatat ada 14.517 kasus. Jumlahnya naik menjadi 21.241 kasus pada 2022. Tahun berikutnya, 2023, jumlahnya menjadi 24.158 kasus. Jumlah riilnya bisa lebih tinggi daripada yang dilaporkan. Secara global, menurut data organisasi World Vision, lebih dari 1 miliar anak terkena dampak kekerasan.

Potret kasus kekerasan terhadap anak dari Simfoni tersebut sangat merisaukan, mengingat dampaknya bagi anak dalam jangka panjang. Sejumlah studi menunjukkan bahwa kekerasan berdampak negatif pada masa depan anak. Produktivitas hingga kehidupan sosial mereka bisa terganggu.

Studi Bruce D. Perry dari Child Trauma Academy menunjukkan dampak dari pengabaian ekstrem terhadap anak bagi perkembangan otaknya. Dari hasil pemindaian tomografi terkomputasi (CT scan), diketahui bahwa otak pada anak yang diabaikan mengalami defisit sensorik yang parah dan ukuran otaknya pun lebih kecil dibandingkan dengan anak seusianya.

Dalam sebuah penelitiannya, UNICEF pernah mengembangkan model untuk memperkirakan kerugian langsung dan tidak langsung dari kekerasan terhadap anak di Asia Timur dan Asia-Pasifik. Studi itu menemukan bahwa beban ekonomi dan sosial akibat penganiayaan anak dalam satu tahun bagi seluruh kawasan tersebut ditaksir sekitar US$ 206 miliar pada 2016. Angka itu berasal dari peningkatan beban sistem perawatan kesehatan, tingkat kekerasan dan kejahatan yang lebih tinggi, serta kecacatan dan bahkan kematian yang ditimbulkan. Badan dunia yang khusus menangani anak ini menawarkan sejumlah solusi, yang bisa diadopsi pemerintah, khususnya Kementerian PPPA.

Pertama, memberikan dukungan kepada orang tua, pengasuh, dan keluarga. Berikutnya, membantu anak-anak dan remaja mengelola risiko dan tantangan. Lalu mengubah sikap dan norma sosial yang mendorong terjadinya kekerasan. Selanjutnya, memberikan layanan dukungan untuk anak-anak. Terakhir, menerapkan undang-undang dan kebijakan yang melindungi anak-anak.

Selain kelima hal tersebut, strategi penting yang disarankan UNICEF adalah pengumpulan data untuk kebutuhan penelitian. Mengetahui dengan detail kasus kekerasan—di mana kekerasan terjadi, bentuknya, hingga usia anak yang mengalaminya—sangat penting bagi perencanaan dan penyusunan strategi intervensi.

Data Simfoni pada 2024 juga menunjukkan bahwa sampai pertengahan tahun ini saja sudah tercatat ada 13.611 kasus. Sebagian besar, yaitu 6.280 kasus, berupa kekerasan seksual, yang diikuti kekerasan fisik 6.472 kasus dan kekerasan psikis 4.054 kasus. Mirisnya, data itu juga menunjukkan bahwa pelaku kekerasan terbanyak justru orang dekat, seperti pacar atau teman (2.383 kasus) dan orang tua (1.069 kasus), yang kebanyakan adalah keluarga pasangan muda.

Data ini semestinya bisa menjadi acuan untuk melakukan intervensi. Selain mengedukasi orang tua lewat berbagai medium bahwa hukuman lebih berat menanti orang dekat pelaku kekerasan, ada langkah preventif lain. Salah satunya, Kementerian PPPA bisa bekerja sama dengan Kementerian Agama untuk memberikan bimbingan kepada calon pasangan suami-istri mengenai kewajiban dan hak mereka terhadap anak. Selama ini pendampingan saat pranikah hanya memberi penjelasan tentang kewajiban dan hak suami ataupun istri, tanpa membicarakan kewajiban mereka dalam membesarkan anak.

Langkah konkret ini perlu segera dilaksanakan untuk mengerem kekerasan terhadap anak.

Berita Lainnya