Akal-akalan Merombak Dewan Pertimbangan Presiden

Usulan DPR merevisi Undang-Undang Wantimpres sarat motif bagi-bagi kekuasaan. Lebih baik dibubarkan sekalian. 

Tempo

Jumat, 12 Juli 2024

BUANG-BUANG waktu saja Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Selain tidak penting bagi publik, usulan revisi tersebut lebih didorong oleh motif bagi-bagi kekuasaan ketimbang niatan memperbaiki struktur ketatanegaraan.

Usulan revisi itu bergulir melalui keputusan Badan Legislasi DPR pada Selasa, 9 Juli 2024. Prosesnya berlangsung sangat cepat, hanya dalam hitungan hari, tanpa ada perdebatan dari sembilan fraksi di DPR yang menyetujui inisiatif ini. Selanjutnya, nasib usulan tersebut berada di tangan presiden. Bila gayung bersambut, presiden akan menerbitkan surat untuk menentukan wakil pemerintah selama proses pembahasan.

Revisi kali ini tidak banyak mengubah hal substantif selain urusan penamaan dan struktur personalia. Wantimpres nantinya berganti nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Namun dewan tersebut tidak sama dengan konsep DPA pada masa Orde Baru, yang kedudukannya setara dengan lembaga tinggi negara. Nomenklatur DPA tak ubahnya Wantimpres yang dibentuk sebagai organ pendukung kerja presiden.

Draf revisi hanya mengubah ketentuan jumlah anggota yang sebelumnya dibatasi delapan orang. DPR mengusulkan agar jumlah anggota DPA edisi revisi diserahkan sepenuhnya kepada presiden. Adapun tugas dan kewenangan lama mereka tetap dipertahankan. Orang-orang yang ditunjuk presiden menduduki posisi tersebut diberi ruang untuk memberikan saran kebijakan kepada presiden.

Selama masa pemerintahan Joko Widodo, Wantimpres lebih sering berperan sebagai jalan pintas bagi para pihak berkepentingan untuk "berbisik" kepada Presiden. Tampaknya, untuk tujuan itulah Jokowi menempatkan orang-orang kepercayaannya dari berbagai kalangan, seperti tentara, pengusaha, bahkan alim ulama, buat mengisi posisi di dewan pertimbangan tersebut.

Manuver DPR menggulirkan usulan revisi ini juga sulit dilepaskan dari motif mempertahankan kekuasaan di lingkaran elite politik. Sinyal itu terlihat dari usulan sejumlah anggota DPR yang menyebutkan agar DPA tidak hanya diisi orang-orang kepercayaan presiden, tapi juga mantan presiden seperti Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Ibaratnya, sekali mendayung, barisan mantan presiden dan pendukungnya yang berpotensi menjadi oposisi bisa terkendali.

Organ sejenis DPA memang ditemukan di berbagai negara yang menganut sistem presidensial. Namun pelembagaan badan pertimbangan semacam ini menuai banyak kritik. Sebab, kehadiran dewan tersebut menunjukkan ketidakmampuan para pembantu dekat presiden—menteri dan ketua lembaga—dalam memberi rekomendasi kebijakan sesuai dengan visi presiden terpilih. Apalagi, dalam konteks Indonesia, di luar kabinet, presiden juga sudah dikelilingi berbagai komisi yang membidangi urusan spesifik, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.

Daripada memboroskan waktu dan anggaran hanya untuk mengutak-atik Wantimpres menjadi DPA, membubarkan badan pertimbangan itu akan lebih berfaedah. DPR ataupun presiden tidak perlu membikin-bikin wadah untuk menampung barisan “tim sukses” yang tidak mendapat jatah kursi di kabinet. Lagi pula, barisan para penyokong itu tak pantas menyandang status orang-orang “agung” yang mempunyai privilese untuk didengarkan suaranya oleh presiden. Mendengarkan suara rakyat jauh lebih penting dalam negara demokrasi. 

Berita Lainnya