Jangan Pilih Politikus Jadi Anggota BPK

Beberapa anggota BPK yang berasal dari partai muncul pada perkara jual-beli hasil audit. Panitia seleksi anggota BPK harus memfilter calon yang berlatar belakang politikus.

Tempo

Selasa, 9 Juli 2024

INI sebenarnya pesan yang muskil digubris Dewan Perwakilan Rakyat: jangan memilih politikus sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Sejumlah kasus korupsi yang menyeret nama anggota BPK semestinya menjadi pelajaran bagi panitia seleksi dan anggota DPR untuk tak meloloskan mereka yang terafiliasi dengan partai politik.

Dari 76 pendaftar calon anggota BPK pada seleksi tahun ini, setidaknya sembilan di antaranya tercatat sebagai anggota partai. Para calon akan memperebutkan lima dari sembilan kursi anggota BPK yang lowong tahun ini. Jika kebanyakan yang terpilih politikus, mereka akan makin mendominasi BPK. Pada periode ini, lima dari sembilan anggota BPK merupakan bekas anggota DPR.

Keberadaan para politikus membuat BPK tak genah. Beberapa nama anggota BPK yang berasal dari partai, misalnya, muncul pada sejumlah perkara jual-beli hasil audit. Tak hanya menyebabkan BPK tercoreng, perilaku mereka turut menyebabkan kepercayaan terhadap lembaga auditor ini longsor. Hasil audit BPK tak bisa dipercaya sepenuhnya.

Contoh terbaru adalah dugaan keterlibatan Pius Lustrilanang, anggota BPK yang berasal dari Gerindra, dalam suap rekayasa hasil audit di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Pius diduga meminta kepala perwakilan BPK di daerah yang berada di bawah kewenangannya menyetorkan Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar sampai akhir Desember 2023. Pius berstatus saksi dalam kasus yang tengah disidangkan tersebut.

Rekan Pius pada periode jabatan yang sama, Achsanul Qosasi, lebih dulu berurusan dengan hukum. Dalam perkara korupsi pembangunan menara pemancar atau BTS, Achsanul, dari Partai Demokrat, divonis 2,5 tahun penjara. Pada 2020, anggota BPK dari Partai Amanat Nasional, Rizal Djalil, terbukti menerima suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum dan dihukum 4 tahun bui. 

Disebutnya nama anggota BPK, Haerul Saleh, dalam sidang korupsi bekas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, menambah buruk reputasi BPK. Komisi Pemberantasan Korupsi sedang mengusut keterlibatan politikus Gerindra itu dalam suap pemberian predikat opini wajar tanpa pengecualian bagi Kementerian Pertanian. KPK juga sedang menyelidiki keterlibatan seorang anggota BPK yang berasal dari partai politik dalam rekayasa audit sebuah bank daerah.

Itu baru masalah yang telah terbongkar ke publik. Risiko lain dari representasi partai di BPK adalah timbulnya konflik kepentingan. Para politikus tersebut bisa menggunakan kewenangan mereka untuk menutupi borok kementerian, lembaga, ataupun pemerintah daerah yang dipimpin kolega politik mereka.

Sebaliknya, mereka juga bisa memanfaatkan audit untuk menjatuhkan lawan politik. Karena itu, dalih sebagian orang bahwa anggota BPK yang berasal dari partai politik akan independen karena melepaskan keanggotaannya di partai begitu terpilih hanyalah omong kosong. 

Sejak awal, persyaratan dan metode seleksi anggota BPK memberikan peluang besar bagi politikus. Tak adanya masa jeda sebagai anggota partai sebelum mendaftar seleksi, misalnya selama lima tahun, menguntungkan mereka. Para politikus tersebut mengikuti seleksi dengan dukungan kolega di tangan. Maka jangan heran jika sejumlah anggota BPK adalah politikus yang gagal melaju lagi ke Senayan. Bermula dari masuknya para pencari pekerjaan itulah BPK kian terpuruk.

Anggota BPK yang bukan berasal dari partai politik memang tak otomatis menjamin BPK akan lebih baik. Tapi setidaknya kita melihat setitik cahaya di ujung lorong.

Berita Lainnya