Salah Arah Program Penyediaan Rumah

Program Tapera kembali memantik polemik. Akibat pemerintah salah langkah dalam menangani defisit perumahan.

Tempo

Jumat, 31 Mei 2024

Pemerintah harus mengkaji ulang secara menyeluruh penyelenggaraan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Program ini sejak awal salah arah. Alih-alih efektif mendorong penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, Tapera malah berpotensi menjadi bumerang bagi perekonomian. 

Sepanjang dua pekan terakhir, program Tapera kembali menjadi perbincangan. Presiden Joko Widodo baru saja meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Peraturan ini mengubah regulasi terdahulu, PP Nomor 25 Tahun 2020, sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. 

Hal yang memantik kontroversi kali ini masih sama dengan polemik serupa, lima tahun lalu. Pemerintah mewajibkan peserta Tapera dari kelompok pekerja dengan penghasilan sama atau lebih dari upah minimum untuk membayar iuran bulanan sebesar 3 persen dari pendapatan mereka. Buruh dipaksa memangkas kebutuhannya demi penyediaan rumah bagi masyarakat—yang seharusnya tugas negara. 

Yang menolak ketentuan ini bukan hanya kelompok buruh, tapi juga pengusaha. Sebab, mereka harus ikut menanggung iuran sebesar 0,5 persen. Aturan ini berlaku penuh pada 2027—batas akhir masa pendaftaran peserta Tapera untuk kelompok pekerja swasta dan pekerja mandiri. 

Besaran iuran sebenarnya hanya masalah turunan. Pangkal kekisruhan Tapera justru ada pada konsep dan skema penyelenggaraannya yang sejak awal bermasalah. 

Sembilan tahun lalu, pemerintah menggulirkan Tapera untuk mengatasi backlog perumahan alias defisit ketersediaan rumah milik dan layak huni, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Anggaran negara selama ini telah digelontorkan lewat berbagai fasilitas pembiayaan perumahan bersubsidi.

Kenyataannya, angka backlog perumahan tak cepat turun. Defisit ketersediaan rumah per 2023 diperkirakan masih sekitar 9,9 juta unit. Iuran peserta Tapera, yang dikumpulkan dalam bentuk simpanan, diharapkan bisa ikut menambal kebutuhan biaya untuk menggeber penyediaan rumah.

Konsep “gotong-royong” dalam bentuk Tapera sepintas masuk di akal. Namun ketersediaan pembiayaan bukanlah solusi utama mengatasi defisit perumahan. Nyatanya, ratusan triliun rupiah yang telah digelontorkan negara dalam beragam bentuk anggaran subsidi pembiayaan perumahan selama ini tak cukup efektif menekan backlog perumahan.   

Defisit perumahan juga dipengaruhi oleh rendahnya permintaan, tak meratanya pembangunan wilayah, hingga inflasi di sektor konstruksi. Beragam permasalahan tersebut perlu ditangani dengan peningkatan daya beli kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, perencanaan pengembangan permukiman yang terintegrasi, serta stabilitas perekonomian. 

Itu sebabnya skema yang mewajibkan pekerja membayar iuran Tapera justru berpotensi menjadi langkah kontradiktif untuk mengatasi backlog. Meski dikemas dalam bentuk simpanan Tapera, iuran sebesar 3 persen akan memperkecil duit di kantong pekerja, yang gajinya lebih dulu dipotong untuk program Jaminan Kesehatan Nasional dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Kondisi ini berpotensi menurunkan tingkat konsumsi masyarakat, yang selama ini menopang pertumbuhan.

Risiko serupa dialami pebisnis. Beban pengusaha akan bertambah karena harus ikut menanggung sebagian iuran Tapera. Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Kebijakan Fiskal pernah menghitung kontribusi pengusaha selama ini mencapai 11 persen dalam beragam iuran program pekerjanya. Tambahan beban iuran Tapera bakal menurunkan daya saing industri, mengurangi lapangan kerja, mendorong peralihan pekerja formal ke informal, serta ujungnya meningkatkan angka kemiskinan. 

Persoalan lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah tata kelola dana oleh Badan Pengelola (BP) Tapera. Meski iuran yang dibayarkan pekerja berjudul tabungan, pengelolaannya tak ubahnya investasi berbalut asuransi. BP Tapera dapat menempatkan simpanan pekerja ke manajer investasi yang kemudian memutarnya ke sejumlah portofolio. Tanpa penilaian risiko dan pengawasan yang ketat, penyelewengan dana rentan terjadi, mengulang cerita seperti yang terjadi dalam kasus Jiwasraya dan Asabri.

Hingga akhir 2022, BP Tapera mengelola dana senilai Rp 8,12 triliun. Dana kelolaan itu kelak akan menggelembung jika pemerintah tetap mengharuskan semua pekerja swasta dan mandiri membayar iuran. Tak terbayangkan dampaknya jika sampai duit itu diselewengkan. Angan-angan mengatasi defisit perumahan melalui program Tapera pun akan sia-sia.

Berita Lainnya