Celah Menunggangi Dewan Media Sosial
Dewan media sosial rawan menjadi alat penguasa mengontrol kebebasan. Bisa mencederai demokrasi.
Tempo
Selasa, 28 Mei 2024
RENCANA Kementerian Komunikasi dan Informatika membentuk dewan media sosial memantik kecurigaan sebagai cara baru kekuasaan mengontrol publik. Dengan watak otoritarianisme pemerintahan Presiden Joko Widodo, keberadaan dewan itu bisa menjadi celah penguasa membatasi kebebasan dan kreativitas masyarakat bersuara serta berpendapat.
Meski lembaga itu didesain berstatus independen, pemerintah leluasa mengontrolnya melalui pemilihan mereka yang akan duduk di dewan tersebut. Apalagi jika pembentukannya hanya melalui peraturan menteri atau peraturan pemerintah yang lemah secara kedudukan hukum dibanding undang-undang yang dibahas secara terbuka di Dewan Perwakilan Rakyat.
Gagasan dewan media sosial, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, akan mirip Dewan Pers. Selain berstatus independen, dewan media sosial bisa menengahi sengketa di media sosial. Beda keduanya, Dewan Pers merupakan mandat Undang-Undang Pers yang didirikan untuk melindungi kemerdekaan pers.
Celah kekuasaan menunggangi dewan media sosial adalah kewenangannya mengatur konten digital. Basisnya adalah Pasal 40A ayat 1 dan 6 yang merupakan pasal sisipan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang disahkan pada awal 2024. Ayat 1 memberikan wewenang kepada pemerintah mengatur ekosistem digital yang adil, aman, akuntabel, dan inovatif. Sementara itu, ayat 6 memandatkan pemerintah mengaturnya lewat peraturan pemerintah.
Di sini, penguasa bisa sewenang-wenang menentukan konten media sosial yang adil, aman, akuntabel, dan inovatif sesuai dengan tafsir pemerintah. Kecurigaan bahwa dewan media sosial akan dikooptasi untuk kepentingan penguasa ini menjadi beralasan, mengingat gagasan tersebut berbarengan dengan usaha DPR merevisi UU Penyiaran yang memberikan kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia menentukan pemidanaan pers ke pengadilan.
Syahdan, gagasan membentuk dewan media sosial merupakan rekomendasi organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) untuk mengurangi dampak negatif media sosial pada 2019. Usulan ini disambut beberapa organisasi masyarakat sipil, seperti SAFEnet dan Asosiasi Media Siber Indonesia. Pengaturannya melalui revisi UU ITE pada 2021.
Namun usulan itu gagal masuk UU ITE. Rupanya Kementerian Komunikasi, yang dulu menolak, kini membahas gagasan itu dan serius hendak mendirikannya. Dalam usulan organisasi masyarakat sipil, dewan media sosial berstatus independen dari pemerintah ataupun perusahaan platform media sosial, tempat perwakilan masyarakat yang bekerja untuk kepentingan umum, menyelesaikan sengketa di media sosial dengan menghindarkan pemidanaan.
Kajian UNESCO menekankan pada dampak buruk media sosial sebagai medium perundungan, kekerasan seksual, ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas, dan eksploitasi anak. Sebetulnya semua dampak buruk dan kejahatan itu bisa diselesaikan oleh teknologi serta regulasi perusahaan platform media sosial. Menurut UU ITE, pemerintah berwenang memerintahkan perusahaan media sosial agar menyaring konten-konten buruk dan pelanggaran hukum berikut sanksinya.
Kewenangan pemerintah tersebut bisa diperluas dengan mewajibkan perusahaan platform terbuka dan transparan dalam membuat aturan moderasi agar tetap tak mengekang kebebasan berpendapat seperti yang dilakukan negara-negara Eropa. Moderasi oleh perusahaan platform ini berbeda dengan peran dewan media sosial. Selain berada di bawah pemerintah, dewan ini akan mengatur pengguna media sosial yang bisa melahirkan ekses pengekangan sehingga mencederai demokrasi.