Jerat Rentenir di Kampus Biru
Skema pinjaman online untuk membiayai kuliah di universitas negeri rawan menjebak mahasiswa dalam lingkaran pemerasan.
Tempo
Senin, 29 Januari 2024
ATURAN terbaru di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menawarkan skema pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) melalui platform pinjaman online rawan menjebak mahasiswa dalam lilitan utang. Negara tak boleh membiarkan perguruan tinggi mengumpankan mahasiswanya yang kurang mampu secara ekonomi ke tangan-tangan rentenir.
Kabar ITB menerapkan skema pembayaran UKT melalui “pinjol” awalnya beredar melalui akun @ITBFess di media sosial X—sebelumnya Twitter. Ramai diperbincangkan tabir "Teater Utang" di kampus negeri tertua di Kota Bandung itu pun terbuka.
Di samping tak etis, skema pinjol ala perguruan tinggi berbahaya, terutama ketika mereka bekerja sama dengan platform fintech yang mematok bunga tinggi. Situs web Danacita, platform pinjaman online yang bekerja sama dengan ITB, misalnya, membuat aturan: pinjaman dengan cicilan 12 bulan dikenai biaya bulanan yang lumayan besar, yakni 1,75 persen, dan biaya persetujuan 3 persen. Sedangkan cicilan enam bulan dikenai biaya bulanan 1,6 persen dan biaya persetujuan 3 persen.
Bayangkan, mahasiswa yang meminjam Rp 15 juta dalam enam bulan harus membayar cicilan dan bunganya sebesar Rp 16,9 juta. Dalam 12 bulan, total cicilan utang dan bunganya bisa mencapai Rp 18,6 juta. Jika sampai gagal bayar, mahasiswa tersebut akan berhadapan dengan tukang tagih yang sering kali mirip penjahat jalanan. Para debt collector itu bisa menggunakan cara-cara intimidatif bahkan kekerasan agar mahasiswa membayar utangnya.
Sebelum berkelindan dengan ancaman rentenir, mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri sudah sering menjadi sumber masalah. Survei terbaru oleh Project Multatuli di Daerah Istimewa Yogyakarta menemukan 74,22 persen responden merasa biaya kuliah yang memberatkan memiliki dampak besar pada kondisi fisik dan mental mereka. Ironisnya, dari responden yang mencoba memohon keringanan biaya kuliah, hanya 2,44 persen yang mendapat persetujuan.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa perguruan tinggi—termasuk yang berstatus negeri—tak bisa menjadi batu loncatan bagi masyarakat di lapisan terbawah. Di atas perguruan tinggi, tentu saja, pemerintah juga abai menyediakan tangga bantuan bagi mahasiswa dari keluarga miskin untuk naik kelas.
Pangkal masalahnya terletak pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Undang-undang ini harus direvisi karena memberi keleluasaan kepada pimpinan perguruan tinggi, terutama yang berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum, untuk mengkomersialkan pendidikan.
Undang-undang tersebut juga menyamarkan jebakan yang berbahaya bagi mahasiswa dari keluarga miskin. Jebakan itu, misalnya, ada pada Pasal 76 ayat 2. Poin terakhir pasal ini seolah-olah memberi ruang kepada mahasiswa yang kurang mampu untuk membiayai kuliah dengan pinjaman dana tanpa bunga—yang wajib dilunasi setelah lulus atau memperoleh pekerjaan. Padahal, kita tahu, mana ada platform pinjaman online yang memberi skema pinjaman tanpa bunga.
Bila benar mau membantu, sebetulnya banyak cara bagi perguruan tinggi untuk menolong mahasiswa kurang mampu. Selain memanfaatkan dana corporate social responsibility dari perusahaan, rektor perguruan tinggi sekelas ITB bisa menggalang dana dari para alumni yang telah sukses. Jadi, jangan malah menyerahkan leher mahasiswa kepada para rentenir online.