Sastra Cetak Belum Mati

Aneka ruang digital untuk publikasi karya sastra terus tumbuh. Namun buku cetak masih terus diproduksi.

Tempo

Minggu, 11 Agustus 2024

RUANG digital bagi karya sastra terus bermunculan, dari media sosial, buku digital, media online, blog pribadi, hingga platform penulisan. Tak hanya itu, sejumlah media cetak pun kini punya edisi digital. Bahkan, ada media yang sama sekali menghentikan versi cetaknya dan sepenuhnya ke format online. Berbeda dengan ruang digital lainnya, media cetak dan online punya sistem seleksi ketat.

Nah, soal seleksi ini kemudian menjadi persoalan. Ada anggapan dan kekhawatiran lemahnya sistem seleksi atau kurasi di ruang-ruang digital memunculkan karya-karya bermutu rendah. Bahkan sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda menyebut kebebasan ruang digital itu berpotensi menjadi anarkisme estetika. Siapa pun bisa semaunya mempublikasi karya tanpa perlu mengindahkan standar estetik.

Namun bukan berarti semua karya yang muncul tanpa seleksi yang cukup di ruang digital itu buruk. Ada pula karya-karya bagus, baik dari penulis baru maupun dari mereka yang telah punya banyak jam terbang menembus seleksi ketat editor sastra di ruang cetak, entah itu di media maupun di penerbit. 

Menariknya, makin terbukanya ruang publikasi karya sastra tak serta-merta mematikan sastra cetak. Buku sastra, misalnya, tetap terbit meskipun penjualannya menurun. Bahkan, para penerbit buku cetak memburu naskah-naskah fiksi (novel) yang populer atau memiliki banyak pembaca di ruang digital, seperti di platform-platform penulisan.  

Nah, Tempo meliput dan berbincang dengan pihak penerbit untuk mendapatkan gambaran bagaimana industri buku cetak tetap eksis di tengah maraknya ruang digital. Kami juga mengundang tiga sastrawan dan pengamat sastra untuk menulis, yakni Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S. Mahayana, serta Hasan Aspahani. Apa kata mereka tentang sastra digital dan sastra cetak?

Berita Lainnya