Komisi Pemeras Koruptor
Muruah KPK yang sudah hancur ini seharusnya menjadi program pasangan calon yang bertarung dalam pilpres 2024.
Putu Setia
Minggu, 21 Januari 2024
Lupakan sejenak hiruk-pikuk soal pemilihan presiden (pilpres), meskipun malam ini akan ada debat. Apalagi kebanyakan orang bingung soal manuver yang makin tak sehat di tengah-tengah pertarungan itu. Ada isu pemakzulan, ada rumor menteri bakal mundur, ada klaim pilpres hanya satu putaran, dan berbagai macam lagi. Orang-orang perdesaan tak paham juntrungan itu.
Mari bicara soal dapur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang secara kasatmata muruahnya sudah hancur lebur. Tiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden sudah diundang ke kantor KPK untuk ditanya apa konsep mereka. Siapa tahu konsep itu bisa membantu pemberantasan korupsi.
Semua paslon bicara normatif dan basa-basi. Hanya Anies Baswedan yang menyinggung akan dikembalikannya Undang-Undang KPK yang lama. Undang-undang yang membuat KPK kembali independen dan bukan di bawah eksekutif. Itu kalau Anies memenangi pemilihan presiden ini.
Dengan undang-undang yang baru, KPK yang pegawainya dimasukkan ke rumpun aparatur sipil negara (ASN) rentan dijadikan alat kekuasaan. Berseliweran kabar burung bagaimana para elite partai tersandera oleh kasus hukum sehingga ada pengaruhnya terhadap hajatan pemilu dan pilpres ini. Dalam bahasa preman (atau bahasa buzzer?) bisa begini: “Berani lo berseberangan dengan kehendak penguasa, gua bongkar kasusnya lewat KPK.” Serem, kan?
Karyawan KPK dari kelas paling rendah ketularan juga sifat ASN yang buruk. Melakukan berbagai kejahatan dengan memanfaatkan peluang yang ada. Misalnya memeras koruptor yang sedang berada di Rumah Tahanan KPK. Kini Dewan Pengawas KPK sedang memeriksa 169 saksi dalam kasus pungutan liar itu. Diduga ada lebih dari 93 pegawai KPK yang terlibat dalam kasus pemerasan terhadap koruptor yang sedang ditahan. Kalau dijumlahkan, pungutan liar itu mencapai Rp 6,1 miliar. Pembagian punglinya bergantung pada jabatan. Jabatan terendah cuma dapat Rp 1 juta dan yang lebih tinggi bisa dapat Rp 540 juta. Ini diungkapkan anggota Dewan Pengawas, Albertina Ho.
Koruptor yang ditahan KPK tentu banyak duit. Dan mereka terbiasa hidup dalam kemewahan. Jadi, kalau perlu makanan yang enak, tinggal dipesan, lalu bayar sesuai dengan harga dan punglinya. Untuk bisa membawa ponsel ke rumah tahanan, dipungli antara Rp 10 juta dan Rp 20 juta. Ini jatah penjaga tahanan kelas atas, semacam komandan regu. Untuk jatah kelas bawah, jika ponsel koruptor perlu di-charge, punglinya Rp 200-300 ribu. Banyak lagi contoh yang disebutkan Albertina.
Tidak adakah yang mengawasi ASN KPK yang melakukan pungli di rumah tahanan itu? Kalaupun ada, pastilah pengawasannya kendur. Adapun Dewan Pengawas KPK hanya memproses perkara pelanggaran etiknya. Artinya, jika kasus itu sudah terjadi dan ada unsur pelanggaran etik. Contohnya, Ketua KPK Firli Bahuri. Tak ada yang mengawasi dan mengingatkan ketika Firli bertemu dengan calon tersangka, mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, di lapangan bulu tangkis. Ketika pertemuan itu bocor, baru heboh.
Dewan Pengawas KPK sempat memeriksa etiknya meski tersendat, dan kepolisian akhirnya menjadikan Firli tersangka. Kasus ini sedang diproses dan Firli sudah empat kali diperiksa di Bareskrim Polri sampai Jumat lalu. Tapi belum juga dilakukan penahanan. Hebat dia.
Muruah KPK yang sudah hancur ini seharusnya menjadi program paslon yang bertarung dalam pilpres 2024. Bagaimana caranya selain upaya mengembalikan Undang-Undang KPK yang lama, yang diubrak-abrik penguasa. Barangkali pembenahan lembaga lain juga dipikirkan, seperti Mahkamah Konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan. Minimal bagaimana memilih pemimpin yang betul-betul punya integritas tinggi dan negarawan sejati.
Koruptor perlu dimiskinkan, tapi bukan dengan memeras hartanya untuk kepentingan pribadi. Program pembenahan ini barangkali lebih baik dibanding paslon bicara soal susu dan telur.