Pada awal Agustus ini, seharusnya grup musik beraliran punk-hardcore asal Bandung, Turtles Jr., terbang ke Inggris untuk menggelar pentas di Rebellion Music Festival. Seperti dikutip dari pengumuman penyelenggara festival pada Januari lalu, Turtles Jr. merupakan band pertama asal Indonesia yang manggung di acara musik bawah tanah yang digelar di Winter Gardens, Blackpool, Inggris, itu.
Bagi para anggota Turtles Jr., undangan dari Rebellion itu juga seharusnya jadi pengalaman pertama mereka menginjak tanah Eropa. “Kami satu-satunya wakil dari Asia,” kata gitaris Turtles Jr., Heri Suherman alias Buux, kepada Tempo, Kamis lalu.
Personel band Turtles Jr. Boodfuck (vokalis), Boentar (drummer), Dohem (bass), dan Buux (gitaris). Dok. Turtles Jr.
Di Rebellion Festival, Turtles Jr. dijadwalkan mengisi panggung bersama sejumlah band keras dari negara lainnya, seperti Broken Cuffs dari Amerika Serikat, Criminal State dari Rusia, dan Go Go Ponies dari Italia. Mendapatkan kesempatan emas seperti ini, band yang beranggotakan Buux, Dohem (bas), Boentar (drum), dan Boodfuck (vokal) itu pun membuat rencana untuk sekalian menggelar tur ke beberapa kota di Negeri Ratu Elizabeth tersebut seusai acara.
Sayangnya, pada Mei lalu, panitia Rebellion Festival mengumumkan pembatalan acara musik yang diisi 350 band di tujuh lokasi panggung itu. Penyebabnya, apalagi kalau bukan pandemi Covid-19 yang belum juga mereda. Untungnya, panitia tak membatalkan begitu saja acara musik tersebut. Mereka memutuskan menunda Rebellion Festival hingga tahun depan. “Namun, gara-gara pembatalan itu, rencana kami untuk tur di Inggris tahun ini juga batal,” ujar Buux.
Gagal tampil di Inggris juga bukan satu-satunya rencana Turtles Jr. yang berantakan. Buux bercerita, seharusnya, sejak awal 2020, band yang dibentuk pada 1992 itu berkeliling ke berbagai daerah untuk mengadakan konser. Agenda mereka cukup padat, bisa 2-3 kali manggung setiap bulan. Hasil dari acara itu ditabung untuk membiayai bekal mereka ke Inggris. Agenda tur konser itu hanya berhasil dijalankan hingga Maret lalu karena dihadang virus corona.
Sempat vakum bermusik beberapa saat, Buux dan kawan-kawan mengisi acara musik daring bertema sosial, yakni untuk mendukung para kru dan teknisi acara musik yang turut kehilangan pemasukan akibat terhentinya acara-acara konser. Konser daring bernama Ripple The Show, Tribute to Crew itu digelar pada 29 Juli lalu dan disiarkan langsung lewat kanal YouTube.
Dalam acara tersebut, sembari manggung, Turtles Jr. menjual aneka merchandise kepada para penonton. Hasilnya, terkumpul duit sekitar Rp 3 juta. Di luar itu, mereka juga membuka rekening untuk donasi dari penonton. Total pemasukan dari acara itu dibagikan kepada empat kru dan teknisi band.
Meski Turtles Jr. sendiri kehilangan pemasukan, Buux mengaku rekan-rekannya tak terlalu merasakan dampak pandemi. “Karena kami tidak mengandalkan hidup dari band. Musik hanya sebagai hobi dan kesenangan,” kata dia.
Para anggota Turtles Jr. punya pekerjaan utama, seperti wiraswata, dari berjualan kaus hingga jual-beli mobil yang masih berjalan dan mengepulkan asap di dapur. Sedangkan keinginan untuk tampil bermusik di atas panggung digantikan dengan konser-konser secara live streaming di Internet. Tapi, karena acara-acara itu disiarkan gratis dan tidak bertiket, Turtles Jr. hanya memperoleh bayaran dari panitia yang jumlahnya tak sebesar jika tampil langsung di acara musik.
Turtles Jr. pun memanfaatkan Internet untuk merilis album baru mereka. Pada 27 Juli lalu, Turtles Jr. merilis album melalui kanal YouTube mereka. Album berjudul “Spread the Noise” itu berisi campuran 13 lagu baru dan lama yang diaransemen ulang. Rencananya, album ini juga akan dikemas dalam bentuk cakram padat yang dijual seharga Rp 50 ribu dan diproduksi seribu keping. “Nanti mau dibuat dalam bentuk kaset dan vinil dengan jumlah terbatas.”
Personel Noxa, Ade Himernio (gitar), Dipa Biomantara (bass), Alvin Eka Putra (drum) dan Diegoshefa (vokal). Dok. Noxa
Gagal manggung di luar negeri gara-gara pandemi juga dialami grup musik beraliran grindcore asal Jakarta, Noxa. Jika tak ada virus corona, saat ini Noxa sudah harus bersiap-siap terbang ke Eropa pada September mendatang. “Seharusnya kami tur di 12 kota di Inggris dan beberapa kota di Eropa,” kata gitaris Noxa, Himernio Adnis, kepada Tempo, kemarin. Tur Eropa itu mereka lakukan berbarengan dengan datangnya undangan untuk manggung di festival musik. “Nama festivalnya Slamfest di Inggris. Tapi, ya, akhirnya ditunda.”
Selain berencana tur di Eropa, Noxa punya beberapa agenda besar pada tahun ini. Apalagi Noxa baru saja mendapatkan vokalis baru, Diego Shefa, yang menggatikan vokalis terdahulu mereka, Tony Pangemanan, yang mengundurkan diri pada Desember lalu. “Tahun ini kami mau merilis album baru dan tur di dalam negeri. Tapi, karena pandemi, mungkin ikut ditunda.” Noxa seharusnya menggelar agenda tahunan Noxa Festival yang biasa mendatangkan band-band cadas lain dari luar negeri. “Tapi mungkin nanti dijadikan festival musik online.”
Aktivitas grup musik yang terdiri atas Ade, Diego Shefa (vokal), Dipa Biomantara (bas), dan Alvin Eka Putra (drum) ini memang terhenti. Tapi mereka tidak diam karena masing-masing personel punya kesibukan dan pekerjaan. Noxa juga tak punya beban biaya operasional, seperti menggaji kru. Maka, ketika undangan untuk manggung berkurang, mereka tak terlalu pusing mencari pemasukan. Kini pendapatan band, kata Ade, otomatis hanya berasal dari royalti aplikasi streaming musik.
Untuk menjaga eksistensi, mereka tetap mendekatkan diri dengan penggemar dengan merilis aneka merchandise, seperti jaket, hoodie, kaus, dan sepatu. “Alhamdulillah laku keras dan bisa jadi pemasukan tambahan.” Noxa juga sempat berkolaborasi dengan grup-grup musik bawah tanah lain merilis produk merchandise yang hasil penjualannya didonasikan kepada para tenaga kesehatan yang menangani Covid-19. Gerakan yang diberi nama “Spreading The Grindcore Not The Virus” itu berjalan di sejumlah daerah, seperti Riau, Bandung, dan Bali. Hasil penjualan merchandise secara kolektif ini digunakan untuk membeli paket bahan pokok yang dibagikan kepada masyarakat.
Namun mereka mengaku belum siap tampil bermusik secara online alias live-streaming seperti band-band lain. “Masih kami bahas teknisnya dengan tim produksi.” Pasalnya, Ade menilai, tampil bermusik secara online kurang cocok dengan aliran musik mereka. “Nantinya malah rusuh dan berisik sendiri,” ujar dia. Kesibukan masing-masing personel dengan pekerjaan juga membuat mereka belum tergerak untuk membuat konten video main musik online seperti para musikus lainnya.
Bagi musikus, kehilangan kesempatan manggung dan tur karena digilas pandemi tak membuat mereka menyerah. Mereka terus melawannya dengan tetap berkarya, bahkan lebih getol. Grup musik heavy metal asal Bandung, Komunal, misalnya, kini ngebut menyelesaikan album musik terbaru mereka. “Masa pandemi ini jadi momen untuk menyelesaikan album,” kata vokalis Komunal, Doddy Hamson.
Sebetulnya, pengerjaan album ini hendak mereka tuntaskan pada awal tahun lalu. Pada Januari hingga Februari lalu, Doddy dan personel lainnya, seperti Muhammad Anwar Sadath (gitar), Harry Reza (drum), dan Arief Khomani (bas), sudah berkumpul. “Tapi Maret kembali terpencar gara-gara pandemi.”
Barulah pada Juni lalu mereka kembali bertemu untuk meneruskan penggarapan album keempat yang proses kreatifnya dimulai sejak 2016 itu. “Mulai Juni lalu kami kembali rutin berlatih dan bermain musik bersama sambil merekam materi di sebuah studio di Bandung,” tuturnya.
Band heavy metal asal Bandung, Komunal saat live performance. Foto: Dok. KOMUNAL/Hermanto
Menurut Doddy, sekitar 70 persen materi album mereka buat bersama di studio. Sedangkan aroma baru yang dimainkan Komunal adalah bunyi musik aliran heavy metal era 1980-an, seperti Motley Crue. Terutama pada suara drum dan gitar. “Tidak terlalu, terasa tipis-tipis saja,” katanya. Menurut rencana, album itu akan diluncurkan pada 2021.
Soal urusan manggung, mereka tidak terlalu terpengaruh oleh pandemi. Soalnya, Komunal tergolong sangat jarang manggung. “Paling setahun cuma 2-3 kali,” kata Doddy. “Bermain musik itu sebenarnya hobi saja buat kami.” Doddy sendiri punya usaha konfeksi dan sablon. Untuk menambah pemasukan, Komunal tetap menjual produk, seperti CD album dan merchandise. “Justru pemasukan kami paling besar, sekitar 70 persen, berasal dari pendengar. Lumayan untuk menghidupi band.”
Walau rindu manggung pada masa pandemi ini, Komunal belum tertarik untuk menggelar pentas seperti live streaming. Ia merasa cara itu kurang gereget karena Komunal lebih senang tampil di depan penontonnya langsung. “Tapi kalau ada yang menawari, kami mau coba untuk tahu rasanya seperti apa,” ujarnya.
Pengamat musik underground, Herry Sutresna, yang juga dikenal sebagai Ucok Homicide, menilai pandemi Covid-19 sebetulnya tak terlalu mempengaruhi para anggota band bawah tanah. “Karena rata-rata mereka punya pekerjaan. Enggak sepenuhnya menggantungkan diri dari musik.” Tapi, memang, Ucok menambahkan, saat ini terjadi penurunan pada jumlah karya musik ataupun album baru yang dirilis para musikus. Yang masih tampak normal, menurut Ucok, adalah penjualan merchandise kelompok musik ataupun produk keluaran label rekaman berupa kaus, topi, dan sweater.
PRAGA UTAMA | ANWAR SISWADI (BANDUNG)
11
